Selasa, 20 April 2010

Dibalik Lelucon Seks Prof. Sarlito

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


"Cantik-cantik mana, mahasiswi Fakultas Psikologi UI atau Fakultas Sastra UI ?"

Pertanyaan sulit itu diajukan oleh Suprantyo "Yoyok" Jarot. Ia adalah adiknya aktor kawakan Slamet Raharjo Jarot. Juga adik dari seniman/pencipta lagu/aktivis dan politisi Eros Jarot.

Yoyok mengajukannya kepada saya di tengah-tengah syuting film yang dibintangi Frans Tumbuan, di kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun, tahun 1983-an.

Sungguh suatu kejutan bisa ketemu Yoyok di Jakarta ini. Sebelumnya kami ketemu di desa Sawahan Bantul, tahun 1978. Saat itu berlangsung syuting film November 1828-nya Teguh Karya. Ia jadi kru penata artistik, dan saya sekitar 2 minggu ngekos di desa Sawahan semata ingin menonton pembuatan film bersangkutan. Kerennya, ingin belajar sinematografi. Juga banyak ngobrol sama Labbes Widar, dosen film IKJ saat itu.

Tetapi sebelumnya lagi, di tahun 1975, walau saat itu kami belum saling kenal, Yoyok pernah manggung bersama kelompok teater Jakarta di Sasonomulyo, Baluwarti, Solo. Bintangnya antara lain Deddy Mizwar. Dari rombongan Jakarta itu yang saya kenal hanya Sri Husin. Seusai pertunjukan, ditemani pula Victoria Monk, cewek bule yang artistik dan bermata biru asal Australia yang tetangga saya di Baluwarti, Solo, kami mengobrol sampai larut malam.

Pertanyaan Yoyok tadi sulit saya jawab. Sambil nongkrong di kupel Taman Sastra UI , ia saya persilakan cuci mata melihat-lihat kaum "WTS" yang berkeliaran saat itu. Dan saya biarkan ia yang memutuskannya sendiri. Benarkah kaum WTS berkeliaran di kampus UI, pada siang hari ? WTS adalah singkatan dari Wanita Taman Sastra.

Saat itu kalau Yoyok bertanya, lebih lucuan mana dosen Fakultas Sastra atau dosen Fakultas Psikologi, saya mungkin agak sok tahu jawabnya. Saya akan menjawab : dosen Fakultas Psikologi. Namanya : Prof. Sarlito Wirawan Sarwono. Kadang-kadang di sms atau email, saya memanggil dengan sebutan Prof atau julukan populernya yang mencitrakan semangat tetap awet muda : Mas Ito.

mandom resolution award 2004,bambang haryanto,sarlito wirawan sarwono

Kenangan 2004. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (paling kanan) di Hotel Borobudur, Jakarta (2004) bersama 10 Pemenang Mandom Resolution Award 2004. Beliau sebagai ketua juri, didampingi Maria Hartiningsih (wartawan senior Kompas) dan artis/psikolog Tika Bisono.

Para pemenangnya adalah : Hariyadi (Yogyakarta, nomor 3 dari kiri), Dian Safitri (Jakarta), Bagyo Anggono (Wonogiri), Hisyam Zamroni (Karimunjawa), Dr. Slamet Sudarmadji (Yogyakarta), Deny Wibisono (Blitar), Ilham Prayudi (Jakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri), Soleman Betawai (Jakarta) dan Tarjum Samad (Subang).

Saya saat itu mencita-citakan resolusi meluncurkan 100 blog untuk komunitas epistoholik, kaum pencandu penulisan surat-surat pembaca di Indonesia.

Humor seks. Walau kampus kami jaraknya hanya sepelemparan batu ("kalau melemparnya melenceng bisa mengenai genting gedung FISIP, FH, IKIP Jakarta atau Pusat Bahasa"), saat itu jelas Mas Ito tak mengenal saya. Saya yang mengenal beliau, karena beliau sering menulis di koran-koran, dengan topik hot saat itu. Pendidikan seks. Ia memang dikenal luas sebagai guru besar yang ahli main sex. Maksud saya, ahli main sax. Saxophone.

"Kalau organ seks pria, penampilannya lebih sederhana," begitu tutur Mas Ito. Terdengar seisi aula FSUI tergelak. Bergemuruh. Potongan menggelitik dari ceramah pendidikan seks itu hanya saya dengar melalui kaset, yang saya temukan di Lab Bahasa FSUI.

Saat itu saya sebagai asisten dosen JIP-FSUI melakukan rekaman suara untuk pembuatan program pandang-dengar berupa sound slide untuk promosi perpustakaan. Saya yang menulis skrip, juga pengisi suara, dibantu mahasiswi Sastra Indonesia yang pernah menjadi penyiar radio, Mien Lindim Pongoh. Teman cantiknya, Gustinia Farida, di mana saat itu saya bersama Hartadi Wibowo menjulukinya sebagai "Lady Diana," yang sayang, konon kabarnya ("info dari mBak Yayi") pindah ke Australia.

Ditilik dari kacamata kajian humor, tuturan ilmiah dari Prof. Sarlito itu sebenarnya "tidak bergerigi" dan "tidak menjurus" untuk mengundang tawa. Tetapi mengapa justru mampu mengundang ledakan tawa ?

Gene Perret dalam bukunya Comedy Writing Step-By-Step : How to Write and Sell Your Sense of Humor (1982), menulis bahwa sense of humor itu menyangkut tiga keterampilan. Pertama, to see things as they are, melihat sesuatu apa adanya. Kedua, to recognize things as they are, memahami/mengerti sesuatu apa adanya. Dan ketiga, to accept things as they are, menerima sesuatu apa adanya.

Ujaran Mas Ito tentang konfigurasi organ seks pria di depan mahasiswa- mahasiswi FSUI tadi mencocoki ketiga rumusan Perret tentang sense of humor tersebut. Harap Anda catat bahwa saat itu Mas Ito sedang tidak melucu.

Beliau yang pernah berkuliah di Universitas Edinburgh, Skotlandia, hingga saya curiga berat kegemaran Mas Ito melawak itu gara-gara ketemplokan virus pelawak-pelawak dalam acara tahunan Festival Lawak Antarbangsa di Edinburgh yang terkenal itu, semata-mata mengemukakan suatu realitas. Tetapi karena realitas tersebut dilihat, difahami dan diterima oleh banyak orang, mereka pun serempak meledak dalam tawa.

Prof. Liek Wilardjo dalam artikelnya berjudul "Logika Samin" (Kompas, 20/3/2010 : hal.7) juga mengamini rumusan di atas. Beliau mengambil contoh logika orang Samin yang menurutnya harafiah, denotatif dan apa adanya. Beliau memberi ilustrasi tentang sekelompok orang Samin yang protes kepada pemilik toko yang menimbun pupuk. Tetapi juragan itu ingkar.

Kelompok orang Samin tersebut kemudian ramai-ramai membongkar gudang milik sang juragan. Mengambil pupuk-pupuk yang ada, sambil mereka tidak merasa bersalah. Logika denotatif mereka, sambil merujuk kilah sang juragan yang mengaku tidak menimbun pupuk membuat orang Samin berkesimpulan bahwa pupuk-pupuk di gudang tadi memang bukan milik sang juragan tamak tersebut. Mereka pun lalu bebas mengambilnya.

Sayangnya, fondamen lawakan tersebut belum banyak difahami oleh banyak pelawak-pelawak kita. Lelucon mereka tentang hantu-hantuan, banci-bancian sampai gubrak-gubrakan yang cenderung merendahkan kecerdasan, sekaligus makin menjauh dari premis-premis kebenaran.

Hal konyol itu merupakan bukti ketidakmampuan mereka membuat lawakan yang mampu memiliki kaitan dengan apa yang dilihat, difahami dan diterima oleh banyak orang, atau penonton. Karena lelucon mereka yang semacam itu semata perwujudan sifat egosentris, yang sebenarnya hanya lucu bagi dirinya sendiri belaka.

Dihibur Orang Mati dan Stres. Harian Jawapos (11/4/2010) ketika menulis laporan tentang acara lawak Opera Van Java, menunjukkan bukti menarik. Sebetulnya menyedihkan. Koran itu telah mengutip Bremoro Kunto, asisten produser OVJ, yang mengatakan bahwa para pelaku utama acara itu dengan penilaian : "Kalau saya bilang, mereka bukan kategori orang lucu lagi, melainkan orang stres."

Kalau dalam film-film Indonesia mutakhir yang ramai dengan genre hantu dan pocong, sehingga Ketua LSF Mukhlis PaEni di Kompas (28/3/2010) menyatakan hal itu sebagai "kekonyolan budaya kita karena orang yang hidup sudah tidak bisa memberikan hiburan sehingga hiburan itu diserahkan kepada hantu-hantu," maka dalam komedi hiburan itu kini diserahkan kepada orang-orang yang stres.

Tayangan Piala Duniatawa TPI yang akan meluncur 2 Mei 2010, saya duga kuat ("sori, Momon") hanya akan menambah panjang daftar tayangan lawakan di televisi kita yang semata bermodalkan komedian-komedian yang stres pula.

Staf ahli Mendagri. Lawakan-lawakan stres itu kini kita kuatirkan semakin menular. Memengaruhi psike masyarakat Indonesia dalam pelbagai faset kehidupan. Aksi tindak kekerasan yang meruyak di negeri ini, boleh jadi, juga ikut dipengaruhi oleh tayangan komedi-komedi yang tidak mengajarkan keluhuran itu.

Bisakah insan-insan komedi Indonesia diajak kembali ke khittah, bahwa nilai melawak yang luhur akan muncul bila kita berani menertawai diri sendiri ? Bukan menertawai hantu, kaum banci atau pocongan. Sehingga dengan sikap jujur dan rendah hati itu mungkin mereka akan lebih mudah tergerak menyetrum diri dengan energi-energi kreatif baru yang bukan berlandaskan kekonyolan demi kekonyolan.

Mungkinkah Prof. Sarlito memiliki saran dan kritik sebagai solusi atas dekadensi tayangan komedi Indonesia dewasa ini ? Tentu saja, beliau pasti punya. Dan dipastikan manjur. Tetapi sayang, nampaknya pemangku kepentingan dunia komedi Indonesia tidak memiliki kepekaan sampai kesadaran diri betapa arah langkah mereka kini sudah memasuki ranah kekonyolan dan kebodohan yang luar biasa.

Semoga suatu saat Mas Ito akan ikut memberikan saran. Tetapi saya tak akan memintanya untuk saat ini. Mungkin nanti sesudah permohonan saya agar beliau sudi menulis endorsement untuk buku saya, Komedikus Erektus, paripurna beliau penuhi. Kini penerbit saya berusaha segera mengirimkan dummy buku tersebut kepada beliau. Hari-hari mendatang saya akan rada merasa deg-degan menunggu, karena buru-buru ingin meresapi apa saja yang hendak Mas Ito nanti tuliskan.

Tetapi saya tidak kuatir. Karena, mungkin ia termasuk dalam mazhab psikologi kebahagiaan dengan pentolan Martin Seligman dari Universitas Pennsylvania (AS), maka masukannya senantiasa mencerahkan dan menumbuhkan optimisme. Itu terbukti dalam email terakhir beliau, saat kami mengobrolkan pola kepemimpinan Joko Widodo sebagai walikota Solo yang melakukan pendekatan secara menang-menang, win-win, dalam mengatasi masalah kemasyarakatan di Solo.

Bandingkan dengan pendekatan model gubrak-gubrak atau lose-win dan lose-lose yang meledak dalam aksi tindak kekerasan aparat sehingga jatuh korban tewas dan luka-luka di Tanjung Priuk, Jakarta Utara, baru-baru ini.

Merujuk prestasi walikota Solo itu, beliau rada menyayangkan mengapa Joko Widodo hari ini "hanya" sebagai walikota saja. Kemudian terkait cerita saya bahwa di tahun 1998 saya bersama Mayor Haristanto mendirikan Forum Bisnis Solo/Forbis dan mengadakan seminar dengan mengundang Dr. Sri Mulyani Indrawati, sementara Joko Widodo sebagai sponsor acara, Mas Ito mencita-citakan Joko Widodo sebagai Menteri Dalam Negeri.

Lalu imbuhnya, "Bambang Haryanto kemudian sebagai staf ahlinya."

Memperoleh endorsement seorang maha guru ternama dari Universitas Indonesia itu, langsung saja, impian saya tiba-tiba melambung warna-warni. Terbius keinginan menjadi staf ahli Menteri Dalam Negeri. Tetapi, lupakanlah, karena pada akhir email Mas Ito itu masih ada tambahannya : "ha-ha-ha-ha."


Wonogiri, 20 April 2010

UP-DATE : 24 April 2010 : Artikel ini juga saya pajang di Facebook. Berikut di bawah ini terdapat beberapa komentar dan sambutan dari teman-teman saya, dan juga tanggapan saya terhadap isi komentar mereka. Semoga makin memperkaya obrolan yang ada. Terima kasih.


Hartadi Wibowo : "Ketika dulu saya (pernah) 4 tahun nongkrong di FSUI, saya merasa (dan tentu saja mata saya melihat ), mahasiswi Fak. Psikologi UI lebih cantik-cantik dibanding mahasiswi Sastra. Mungkin karena yang di Sastra sudah sering lihat, sedangkan yang di Psikologi jarang ketemu. Atau berlaku hukum "rumput tetangga lebih hijau" ? Bagaimana Oom BH ?"

Sunu Wasono : Mas, ditunggu lho buku tentang humor itu. Kabari kalau sudah terbit. Omong-omong soal humor, saya jadi teringat pelawak Bagyo. Dia bilang bahwa humor itu serius. Benar kiranya diperlukan kecerdasan untuk menampilkan humor. Moga-moga segera muncul humoris-humoris yang mau dan mampu mentertawakan diri sehingga setiap hari kita tidak disuguhi adegan orang stres melulu. Makasih Mas. Tulisan njenengan memberikan pencerahan.

Bambang Haryanto : @ Hartadi Wibowo : Thanks, Ted. Kayaknya kau sudah menjawab pertanyaanmu itu. Aku setuju bila sindrom rumput di seberang pagar, yang tak hanya rumput hijau tetapi juga rumput hitam, juga sering memengaruhi kita. C’est la vie. Itulah kehidupan

Bambang Haryanto : @Sunu Wasono : Thanks, Mas Sunu. Bila kelar, Anda akan segera memperoleh kabar. Tentang kajian humor secara serius, Sastra Indonesia UI apa tidak ada minat ya ? Suara dari FSUI yang ada dalam kliping saya adalah pendapat (kolega Anda ?), I. Yoedhi Soenarto, tentang Ketoprak Humor di Gatra, Desember 2001 yang lama lewat.

Literatur serius tentang humor justru pertama kali saya pergoki di perpustakaannya mBak Yayi/FSUI, tahun 1982-an. Pada bukunya Arthur Koestler, The Act of Creation (1964). Ia yang idolanya Sting dari The Police itu bilang, bahwa kebudayaan terbagi tiga ranah : agama, ilmu pengetahuan dan humor.

Sayang, saya tak sempat menfotokopi bab tentang humor dari buku ini, yang antara lain bilang : bila komedian terampil mengolah gagasan ia akan mampu mendekati peran sebagai seorang pemikir atau filsuf, tetapi bila terampil mengolah bahasa, maka komedian bersangkutan mampu hadir sebagai seorang penyair. Ini saya kutip dari almarhum George Carlin, komedian solo legendaris AS, tentang bukunya Koestler itu. Salam.


Harris Cinnamon : “....hanya akan menambah panjang daftar tayangan lawakan di televisi kita yang semata bermodalkan komedian-komedian yang stres pula....”

Sangat benar itu, mBang. tapi alhamdulillahnya, kita tim "penggodoknya" yang ada di balik layar, sesungguhnya sangat tidak ingin hal itu terjadi, sampai detik ini, kita sangat berharap bahwa yang akan kita tampilkan sevisi dengan kita. tapi kalau kenyataannya nanti melenceng, walahualam, berarti: kita tetap akan terus belajar, tapi nggak nemu ilmu kanuragarannya humor (kalo gitu) ha ha...tq

Hari Juniar : Seorang teman bertanya kpd saya, mengapa di pantai itu udaranya panas sekali dibandingkan udara di pegunungan yang sejuk... saya hanya menjawab ringan... Tuhan menciptakan pantai dengan udaranya yg panas, penuh sinar matahari, penuh kegembiraan dan keceriaan.. karena Tuhan menciptakan 'BIKINI'.....
Ugh.. alih2 mo melawak.. teman saya men'cap' saya..sebagai melawan 'Tuhan'.. SARA.. dan predikat2 lain yg menenmpatkan saya sebagai orang yg melecehkan' Tuhan'.. finally saya harus jelaskan panjang lebar dimana letak lucunya... dan dia tetap ga tertawa... ha3...

Mungkin itu yg menyebabkan 'lawakan komedian stress' yg 'laku'.. pemirsa nya males mikir.... dan menurut mas BH kan lawakan itu menjadi ngga lucu lagi ketika sebuah 'punch' yg diharapkan langsung meledakkan tawa, tetapi pemirsa nya 'bengong-bengong'... dan komediannya jadi salah tingkah karena punch nya ngga bikin 'gerrr' dan akhirnya dia harus menjelaskan punch nya panjang lebar dan... pemirsanya tetap tidak tertawa... ha3... tetap semangat mas.. smoga selalu bisa berbagi pemikiran... amiin

Bambang Haryanto : @ Harris Cinnamon. Thanks untuk komentarmu. Komedi itu ibarat gedung dengan “lawang sewu,” di mana setiap orang bisa memasukinya dari pintu yang mana saja. Mungkin kau dan kawan-kawan di TPI dalam menggarap Piala Duniatawa masuk dari pintu 600, dan saya dari pintu 346, teman lain dari pintu 875, semuanya sah-sah saja.

Tetapi menurutku tetap harus ada satu pegangan, meminjam kata Gene Perret : “All comedy must be relevant” dan “The best humor is based on truth.” Dalam pemahaman saya, ya kira-kira begitu itulah inti ilmu kanuragan dalam komedi. Artinya, di dalam tayangan komedi itu kita bisa melihat diri-diri kita di sana dan ketika komedi itu semakin mendekati kasunyatan, kebenaran, realitas, atau kejujuran, akan semakin berpeluang jenaka pula sajian komedi bersangkutan. Sukses selalu.


Bambang Haryanto : @ Hari Juniar : komedian itu, menurutku, harus rendah hati. Kalau sesuatu lelucon tidak meledak [bombed], cepat-cepat ganti yang lain, dan jangan sesekali menyalahkan audiens. Kata Mas Jaya Suprana, sesuatu lelucon akan mendapat sambutan memadai [killing], bila antara komedian dan audiens berada dalam “satu gelombang” yang sama. Repotnya, meraba “gelombang” merupakan skill tersendiri, sehingga komedian top di manca negara perlu survei detil dulu tentang calon audiensnya sebelum ia tampil.

Tetapi tetap ada resep dan solusi manjur untuk itu : carilah KEKURANGAN yang menonjol yang ada pada dirimu sendiri, lalu jadikanlah kekurangan itu sebagai bahan lawakan ! Ingat kata wasiat ibu mentor komedian, Judy Carter, tentang misi luhur komedian dalam peradaban :

“Kita para jenakawan sejati itu makhluk yang bener-bener aneh. Kalau sebagian besar orang berusaha sekuat mungkin menyembunyikan cacat dan celanya, tetapi kita para jenakawan sejati sengaja mempertontonkan semua cacat dan cela kita itu ke muka dunia !”

[PS: beranikah para pemuka agama, birokrat dan politisi melakukan hal yang sama ?].

Harris Cinnamon : "Insya Allah, Bang, karena sesungguhnya itulah yang ingin kita tetapkan, kita ingin mendakati realnya. Terima kasih atas segala masukannya, yang sulit tergantikan dengan apapun."

Minggu, 11 April 2010

Job Fair, Joker Fair dan Koneksi Sukses Anda

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Buang Surat Lamaran Anda ! Acara Career Days yang pertama kali saya ikuti berlangsung tanggal 14-16 Februari 1989. Tempatnya di Balai Mahasiswa Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Penyelenggaranya, kalau tak salah, Senat Mahasiswa FEUI dan AISEC. Saya datang tidak untuk mencari pekerjaan. Tetapi untuk membuka wawasan. Mencari peluang kerja sama.

Tahun-tahun itu, sebagai infojunkie saya banyak membeli buku-buku, majalah, termasuk majalah bekas terbitan luar negeri, sampai print out pelbagai bank data komersial (belum ada Internet saat itu) di manca negara. Topiknya : strategi berburu pekerjaan.

Minat itu terpicu antara lain oleh sebuah buku koleksi perpustakaan PDII-LIPI. Lembaga ini saya tak tahu apa namanya sekarang, tetapi saat itu bernama PDIN-LIPI. Buku tersebut merupakan karya Warren J. Rosaluk, judulnya Throw Away Your Resume and Get That Job (1983). Buang saja surat-surat lamaran (juga CV Anda) dan dapatkan pekerjaan.

Bagi saya, buku ini revolusioner. Sayangnya, tidak banyak diketahui oleh jutaan pencari kerja kita yang sebagian besar menggantungkan masa depannya dengan cara-cara konvensional dalam berburu pekerjaan. Cara-cara lama ini senyatanya melelahkan, yang mudah menimbulkan rasa putus asa dan perasaan tidak berharga, dan bahkan juga mampu membinasakan dirinya itu pula.

Pengalaman kerja nol. Kembali ke acara di kampus UI tersebut. Pembicaranya antara lain Abdulgani (Bank Duta, “masih ada yang ingat bank satu ini ?”), Hamizar (Bakrie Brothers, “Aburizal Bakrie saat itu belum terkenal”) dan Fahmi Idris (KODEL Group). Pertanyaan yang muncul dari kalangan mahasiswa, yang klasik itu, menyangkut persyaratan pengalaman kerja. “Kami baru saja lulus, kok dimintai informasi seputar pengalaman kerja ?,” kira-kira begitulah protes mereka.

Terkait keluhan tipikal di atas, saya pernah menulis di kolom surat pembaca di Kompas Jawa Tengah, dengan judul “Pengalaman Kerja, Perlakuan Tak Adil ?” (23/11/2004). Saya tuliskan : “Yang dimaksud pengalaman kerja itu sebenarnya bukan hanya terbatas kepada pengalaman kerja yang memperoleh bayaran. Selama kuliah, dengan terjun dalam pelbagai aktivitas kemahasiswaan, baik kesenian, olahraga, sosial atau politik, mahasiswa bersangkutan juga telah memperoleh pengalaman kerja yang berguna.

Merancang isu demo, menggalang barisan peserta, membagi tugas, membuat spanduk baik isi sampai desain, menyebarkan siaran pers sampai melakukan demonya itu sendiri, adalah juga pengalaman kerja.

Problemnya adalah, tidak banyak mahasiswa kita yang selama kuliah sengaja melakukan aktivitas non-kuliah demi memperoleh pengalaman kerja yang kelak ia butuhkan. Tidak banyak pula yang mau terjun bekerja sebagai relawan tanpa bayaran.

Beda misalnya dengan mahasiswa di luar negeri, di mana misalnya pada masa kampanye pemilu mereka ramai-ramai bergabung sebagai relawan dalam tim sukses calon presiden. Mereka menjelajahi beragam pekerjaan yang memang terbuka saat itu guna memperoleh pengalaman, keterampilan, wawasan dan jaringan koneksi.”

Koneksi itu penting. Kalau kata ini terkesan berkonotasi KKN, bisalah Anda ganti dengan networking, menggalang jejaring. Dan itulah yang tidak nampak ketika acara seminar dalam Career Days itu berakhir. Tak ada gerombolan mahasiswa yang antusias datang menyalami para pembicara, bertanya atau berbincang, apalagi sambil bertukar kartu nama. Koneksi pun menjadi terputus. Momen langka dan berharga ini menjadi sia-sia,mubazir, bagi para mahasiswa yang suatu saat kelak akan terjun dalam aktivitas berburu pekerjaan.

Momen mubazir serupa terlihat pula ketika saya mengikuti audisi API-4 (26/1/2008) dan audisi Piala Dunia Tawa (2/4/2010) di Gedung Wanitatama, Yogyakarta. Mungkin karena atmosfirnya sarat persaingan di antara peserta, membuat mereka terkondisikan untuk cenderung “kurang ramah” satu terhadap yang lainnya.

Begitu acara bubar, mereka-mereka itu nyaris tidak dapat dilacak lagi domisili masing-masing. Termasuk potensi yang mereka miliki. Isian dalam formulir pendaftaran memang tidak membuka peluang tersajinya keistimewaan masing-masing peserta audisi. Apalagi TPI, demi alasan bisnis, memang wajar bila nampak berkepentingan hanya dengan peserta yang lolos saja. Sisanya, data yang lebih banyak dari peserta audisi yang gagal itu, mungkin dinilai tak berguna lagi oleh fihak TPI.

Akibatnya, menurut saya, komunitas komedi kita kehilangan direktori yang mampu mengikat simpul-simpul sumber daya kreatif itu. Karena mungkin saja bila mereka memperoleh sentuhan secara berbeda (bukan audisi), dengan diberi bimbingan dan dibukakan wawasannya, boleh jadi akan menunjukkan sisi-sisi cemerlangnya.

“Delapan puluh persen rahasia sukses adalah mejeng,” demikian kata komedian, penulis dan sutradara pemenang Oscar, Woody Allen. Tetapi kalau peserta audisi itu sendiri eksistensinya, misalnya, tidak dapat terdeteksi di Internet, bagaimana bisa membuka peluang dirinya untuk sukses ? Ah, maaf, mungkinkah saya lagi mabuk dan melebih-lebihkan kedigdayaan Internet ?

Yang saya tahu, media Internet itu membuka terjadinya interaksi. Juga diskusi. Alangkah betapa semakin bergunanya Internet itu bila dalam acara semacam job fair, career days, sampai audisi a la TPI yang boleh kita beri label sebagai joker fair atau comedy fair, juga memperoleh pendampingan dengan diluncurkannya situs web atau blog tersendiri. Atau akun Facebook pula. Semuanya tersedia secara gratis, bukan ? Acara memang sudah selesai, tetapi diskusi bisa berjalan terus. Khasanah ilmu pengetahuan tentang komedi juga dapat terakumulasikan dari momen itu, dari waktu ke waktu.

Berdasarkan pola pikir atau mindset serupa, saya telah meluncurkan blog Komedikus Erektus : The Book ini. Blog ini saya luncurkan untuk mendampingi penerbitan buku kumpulan cerita humor dan bimbingan berkomedi, dengan judul yang sama. Insya Allah, Mei 2010 sudah terbit.

Saya berdoa semoga Faried Wijdan dan kawan-kawan di Etera Imania, sehat-sehat dan selalu bersemangat untuk merampungkan proyek kami bersama ini.

Melalui blog tersebut, saya ingin bisa mengobrol dengan sesama pencinta komedi. Menampung kritik dan saran atas buku saya itu. Siapa tahu, lewat diskusi pula, kita bisa meluncurkan acara komedi televisi yang baru ? Buku baru ? Sekolah komedi baru ? Hanya imajinasi saja yang dapat membatasi pelbagai kemungkinan itu.

Anda setuju ?


Wonogiri, 11 April 2010





Jumat, 09 April 2010

Budaya Literasi dan Dunia Komedi Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Calon pelawak itu kebanyakan orang miskin.
George Burns (1896-1996), contohnya.

“Kami tahu, ayah berasal dari keluarga yang sangat miskin. Dia memiliki saudara lelaki dan perempuan sebanyak sebelas orang, semuanya tidur pada karpet yang sama pada apartemen satu kamar. Tetapi ayah tidak menceritakan semua itu dengan cara biasa. Semua itu tidak menyenangkan. Semua itu tidaklah lucu.”

Sebaliknya, demikian cerita putranya, Ronnie Burns, ayahnya “membuat semua kisah penderitaan itu sebagai cerita-cerita yang lucu. Sebagai tukang cerita ia menyajikan cerita-cerita ringan yang bersumberkan dari realitas hidupnya.”

Sebagaimana dikutip oleh Martin Gottfried dalam buku biografi berjudul George Burns And The Hundred Year Dash (1996), George Burns mengatakan : “Bagi saya, kehidupan nyata adalah bisnis pertunjukan.”

Cerita serupa, atau yang kurang lebih sama, boleh jadi juga akan kita temui pada pelbagai buku biografi untuk pelawak-pelawak kita. Tetapi ketika menerjuni arena audisi Piala Dunia Tawa-nya TPI di Yogyakarta (2/4/2009), dan momen sesudahnya, saya merasakan adanya “kemiskinan” jenis lain pada calon-calon penghibur, termasuk calon pelawak-pelawak kita.

Hal yang sama mungkin sekaligus diderita para pemangku kepentingan terhadap dunia tarik tawa kita selama ini. Tegasnya adalah : kemiskinan dalam budaya literasi.

Bukan pesta intelektual. Stasiun televisi swasta TPI telah menyelenggaraan 5 kali audisi untuk merekrut bibit-bibit baru pelawak Indonesia. Yang bertajuk Audisi Pelawak TPI (API) sudah berlangsung 4 kali (2004, 2005, 2006, 2008) dan yang kelima dengan tajuk Piala Dunia Tawa (2010) sekarang ini.

Kesan yang saya peroleh, semua acara ini kemasannya zakelijk kegiatan audisi semata. Anda datang, mendaftar, melakukan audisi, dan lalu menunggu keputusan tentang lolos atau tidak. Selesai.

Padahal dalam waktu-waktu kosong, baik saat menunggu audisi atau menunggu saat pengumuman, dapat diadakan beragam kegiatan yang bersifat informasional dan edukasional. Katakanlah, pengelola televisi yang membidang dunia lawak-melawak itu membuka isi jeroan-nya kepada masyarakat luas.

Misalnya dengan mengadakan pemutaran film-film pendek komedi, pameran skrip-skrip komedi di televisi, film dokumentasi dibalik layar tentang penyiapan tayangan komedi, pameran bahan-bahan pustaka komedi, sampai pengenalan terhadap situs-situs bimbingan komedi di Internet.

Diramaikan misalnya dengan acara open mic bagi peserta untuk bisa saling mengenalkan diri atau membuang stres, sesi diskusi dengan penulis komedi sampai sutradara acara komedi, sampai arena penjualan pelbagai benda kenangan acara bersangkutan.

Dengan hadirnya beragam kegiatan ini, yang hadir diharapkan bukan hanya para calon-calon komedian, tetapi juga beragam pemangku kepentingan terhadap perkembangan dunia komedi kita. Sebaiknya pada acara pengumuman tentang siapa-siapa saja yang lolos bisa dibuatkan panggung tersendiri, dengan seremoni tertentu pula.

Syukur-syukur pula bila bisa diadakan lomba menulis catatan di Facebook, baik bagi peserta audisi tentang kesan dan pesan mereka, atau pun yang melibatkan audiens, sehingga secara tidak langsung akan menjadi publikasi yang meluas untuk acara bersangkutan.

Merujuk hal-hal di atas, saya agak heran juga : mengapa para penerbit/penulis buku-buku humor dan komedi, sampai buku seputar panduan berkarier sebagai komedian, tidak membuat lapak dalam acara seperti ini ? Bahkan ada lembaga yang berambisi sebagai pusat dokumentasi komedi, tetapi mengapa mereka juga tidak memiliki perhatian terhadap hajatan sebesar ini pula ?

Apakah justru para calon komedian itu bukan dianggap sebagai pasar bagi produk-produk mereka ?

Saya tidak tahu. Kalau saja buku humor/komedi saya Komedikus Erektus saya sudah terbit, saya akan membuka lapak. Kalau di dalam arena tidak boleh atau tidak bisa, di trotoar pun jadi.

Indonesia butuh komedian. Seusai mengikuti audisi Piala Dunia Tawa di Gedung Wanitatama Yogya sore itu, saya memutuskan berjalan kaki sampai Janti. Saya melihat pusat pertokoan, kantor perusahaan swasta dan pemerintah, sampai restoran, kafe dan hotel. Hemat saya, semua lembaga itu memerlukan kehadiran para komedian.

Bahkan di era demokrasi ini, Indonesia sebenarnya semakin banyak membutuhkan jasa komedian. Utamanya komedian yang pemarah a la Lewis Black, untuk garang melucukan, menghardik dan sekaligus melecehkan para pejabat negara dan juga penegak hukum yang melakukan tindak korupsi yang membuat kita terkejut-kejut akhir-akhir ini. Semua tindakan culas sampai sikap munafik mereka itu pantas diberi hukuman secara sosial.Mereka harus menjadi bahan tertawaan. Agar nurani bangsa ini tetaplah waras.

Kata Jay Sankey dalam bukunya Zen and The Art of Stand-Up Comedy (1998), bahwa setiap lelucon yang dahsyat haruslah mampu menimbulkan korban bergelimpangan. Semakin jelas korban yang dimaksud, semakin menggigit pula lawakan bersangkutan.

Tetapi untuk mampu mencapai taraf itu, bukan hal yang mudah. Utamanya bagi pelawak kita. Karena lawakan yang mampu menggigit ulah pejabat-pejabat culas itu, merujuk kaidah piramid komedi dari Steve Ray, merupakan puncak dari pencapaian komedi itu sendiri. Ia telah menggolongkan komedi dalam tujuh tingkat, yaitu komedi fisik, komedi porno, storyline, bahasa, imitasi, kontradiksi karakter dan yang paling puncak adalah satir.

Agar mampu meraih keandalan dalam menyajikan satir, bahkan juga pada enam tingkat komedi di bawahnya, fondamennya kurang lebih tetaplah sama : dibutuhkan topangan budaya literasi, budaya baca-tulis yang kuat. Kevin Kelly, seorang maverick dari majalah gaya hidup digital Wired mengatakan dalam salah satu artikelnya betapa orang yang tumbuh dalam lingkungan teknologi baca dan tulis berfikir dengan cara berbeda.

“Saya tidak bermaksud mengatakakan bahwa orang berfikir berbeda ketika membaca. Membaca dan menulis merupakan sarana kognitif yang begitu kita kuasai akan merubah cara otak dalam mengingat fakta dan mengkonseptualisasikan gagasan, dan pelbagai perubahan tersebut akan merangsang kinerja pemikiran secara abstraks.”

Terima kasih, Kevin.
Sebagai orang yang berusaha menumbuh-numbuhkan embrio lawakan berdasarkan gagasan, idea-driven jokes, pendapat Kevin Kelly itu semakin membuat saya percaya diri. Saya rupanya, mudah-mudahan, telah menempuh arah yang benar.

Belajar dari CSI. Beberapa hari kemudian, saya memperoleh sms. Rupanya dari peserta audisi di Yogya yang gagal, tetapi nampaknya ia ingin mengikuti lagi di Bandung. Semangat yang pantas dihargai.

Ia bertanya apakah saya memiliki konsep lawakan. Maksudnya mungkin set, naskah lawakan. Saya bilang, saya tidak punya. Lalu saya usulkan : silakan baca koran dan lihat TV. Di sana banyak materi untuk bisa dijadikan bahan lawakan. Setiap berita headline berpeluang ditekuk sana-sini menjadi materi komedi !

Sekadar contoh, koran Kompas Minggu (4/4/2010) memajang laporan tentang kisah-kisah di balik pembuatan film seri terkenal, CSI, di Amerika Serikat. Yang menonjol antara lain cerita bahwa, begitu muncul berita tentang tindakan kriminal tertentu, di media massa, para awak kreatif dan penulis naskah dari film seri itu segera mendiskusikannya sebagai bahan cerita serial film itu berikutnya.

Usul saya itu mungkin membuatnya patah hati. Tetapi, itulah realitanya. Jalan untuk menjadi komedian memang seringkali juga bukan jalan yang mudah. Utamanya bagi mereka yang miskin. Tentu saja tidak hanya menyangkut masalah miskin dalam harta, tetapi terutama yang miskin wawasan, miskin semangat untuk teguh dan kukuh, miskin untuk terus dan terus belajar memperkaya isi kepala mereka dengan wawasan-wawasan baru pula.

Pesan singkat yang lain, kemudian juga saya terima. Dari nomor berbeda. Balasan dari sebuah kelompok yang berhasil lolos ke Jakarta, yang sebelumnya saya usulkan agar memiliki akun Facebook dan blog untuk menulis kisahnya di sana. Sebagai sarana promosi mereka sejak dini. Pimpinan kelompok itu hanya menjawab dengan “ha-ha-ha.” Sembari mengaku dirinya sebagai gaptek, apa adanya.

Masih muda kok mistek.Miskin teknologi.
Apa kata dunia ?


Wonogiri, 9/4/2010