Minggu, 04 Desember 2011

Buku "Komedikus Erektus" Dikoleksi Perpustakaan Universitas Ohio Amerika Serikat

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


The SBY Effect.
The Manmohan Singh Effect.
Dan The Komedikus Erektus Effect.

Nama pertama, SBY, adalah singkatan nama untuk presiden kita. Manmohan Singh adalah nama perdana menteri India. Komedikus Erektus, adalah judul buku humor politik saya.

Ketiganya bisa dimirip-miripkan memiliki kesamaan. Yaitu, ketiganya tidak begitu memperoleh apresiasi secara optimal di dalam negeri walau dihargai di manca negara.

Mungkin analogi itu berlebihan.

Tetapi untuk nasib buku Komedikus Erektus, semoga efek di atas itu menjadi kabar yang cukup bagus bagi para pencinta buku humor di Indonesia. Juga komunitas komedi di Indonesia.

Pasalnya, buku humor politik tersebut yang lengkapnya berjudul Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Imania,2010), rupanya kini telah terbang jauh. Bahkan menyeberangi samudera, untuk sampai ke kota Ohio, di Amerika Serikat.

Nampak dalam foto momen saat peluncuran buku itu dalam acara reuni trah saya, Trah Martowirono XXVI di Polokarto, Sukoharjo, bulan September 2011 yang lalu.

Di bawah label subjek "Indonesian wit and humor," "Indonesia -- Social conditions -- Humor" dan "Indonesia -- Politics and government -- Humor", syukurlah buku bersampul warna biru telah ikut bisa mengisi rak Perpustakaan Universitas Ohio, 30 Park Place, Athens, Ohio, Amerika Serikat.

Di antara ratusan atau ribuan buku berbahasa Indonesia yang mereka akuisisi, sungguh suatu kehormatan pula bahwa gambar sampul, data buku dan salinan resensi yang ditulis Badhui A. Suban, Sarjana Sastra Indonesia dari Universitas Padjajaran Bandung, telah ikut ditampilkan di blog perpustakaan tersebut.

Informasi tentang buku tersebut detilnya bisa Anda klik disini. Sementara informasi mengenai lokasi penempatannya di Perpustakaan Vernon R. Alden Library, 30 Park Place, Athens, Ohio, Amerika Serikat, bisa Anda klik disini.

Sebelumnya, juga diketahui bahwa buku yang sama telah pula menjadi koleksi perpustakaan terbesar di dunia, Library of Congress di Amerika Serikat dan Perpustakaan Nasional Australia di Melbourne.

Itulah secuplik cerita tentang upaya pencinta humor Indonesia dalam upaya ikut menyumbangkan khasanah ilmu pengetahuan dan tawa untuk dunia. Siapa menyusul ?



Wonogiri, 5/12/2011

Jumat, 28 Oktober 2011

Komedikus Erektus, Cerita 2 Toko Buku di Jakarta

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Diminati maling. Buku-buku humor tampil “menyedihkan” di pelbagai toko buku. Di Solo, di sebuah toko buku terkenal, di dekat rak buku-buku humor itu terpasang tulisan peringatan bila ada yang tertangkap mencuri buku akan diproses menurut hukum.

Apakah buku-buku humor memang menjadi sasaran “cerdas” bagi para pencinta humor yang tak punya uang ? Boleh jadi. Tetapi dalam kunjungan terakhir, rak-rak buku humor menjadi lebih menjauh dari tempat pengumuman itu.

Jadi buku-buku humor kiranya tak lagi menjadi sasaran pencurian ? Menyedihkan. Mungkin ini cerminan perekonomian yang buruk, di mana pedagang yang sering ngemplang pun tidak lagi memesan barang bersangkutan.

Dalam kesempatan dolan-dolan di dua toko buku di Jakarta, posisi rak untuk buku-buku humor tidaklah eye catching. Bahasa Jawanya, njlepit, alias sulit terakses oleh lalu lalang pengunjung.

Di Toko Buku Gunung Agung, Kwitang (22/10/2011), saya mencoba mencari tahu nasib buku humor politik saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010). Sebelumnya saya membeli majalah Bloomberg Businews Week edisi 20-26 Oktober 2011. Edisi yang menyentuh hati saya, karena semua tulisannya tentang kenangan terhadap Steve Jobs (1955-2011).

Mengetikkan judul buku saya di komputer toko buku warisan Mas` Agung itu, memang muncul lemanya. Tetapi persediaan yang ada : 0. Nol. Apakah ini pertanda betapa stok buku saya itu habis, laris manis ? Atau sebaliknya, sehingga toko buku bersangkutan “tidak sudi” memajangnya lagi ?

Sehari sebelumnya (21/10/2011), di Toko Buku Gramedia, Matraman Raya (“toko buku favorit saya sejak 1980 ketika saya belajar di Kampus UI Rawamangun”), muncul fenomena berbeda. Sebelum utak-utik komputer di toko buku besar itu, saat keliling-keliling saya memergoki bukunya Thomas L. Friedman,Hot, Flat and Crowded : Why We Need Green Revolution (2009). Diiringi lagunya Spice Girls, “2 Become 1” saya memutuskan membeli buku setebal 500 halaman lebih itu.

Kini saatnya menguber posisi buku saya. Ketika mengetikkan lema judul buku saya, tersaji info bahwa di toko buku itu terdapat stok sejumlah 27 eksemplar. Tetapi juga tersaji keterangan aneh dan memicu penasaran. Karena tidak ada data lokasi buku bersangkutan.

Ketika pun menelisik ke rak buku-buku humor, dan harus bertanya kepada petugas dua kali karena njlepit letaknya, saya tidak berhasil memotret bagaimana buku saya itu terpajang pada sebuah toko buku besar ini.

Saya hanya bisa memotret tampilan data di komputernya.
Dan terus terbelit oleh tanda tanya, bagaimana semua itu bisa terjadi.


Kramat Jaya Baru, Jakarta, 29/10/2011
Selamat ulang tahun untuk Anissa Astrid Alifta

Rabu, 13 Juli 2011

Buku “Komedikus Erektus” Mau Mejeng Di KompasTV ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Pengarang buku, sebaiknya semi famous.

Maksudnya, agak-agak terkenal, kira-kira begitulah. Karena keterkenalan membawa berkah. Bagi penulis dan juga bagi buku karyanya.

Bagaimana caranya menjadi agak-agak terkenal itu ? Menurut Burke Allen, apabila Anda mampu membuat proposisi yang unik dan menarik sehingga mampu menyentuh emosi, orang-orang akan antri untuk berbicara kepada Anda ketika tampil di televisi, radio, Internet dan di media cetak.

Hal yang menarik, lanjut Burke Allen, semua hal itu seringkali tidak terkait dengan buku Anda karena media tertarik mewawancarai Anda, bukan hendak membahas buku Anda. Tetapi semua media itu akan mengijinkan Anda untuk memamerkan buku Anda, sehingga buku Anda tersebut berkesempatan tampil dalami liputan yang menguntungkan.

Hari Selasa (12/7/2011) saya mengalami persis hal di atas. Saat itu saya mengikuti audisi Stand-Up Comedy Indonesia yang diselenggarakan oleh KompasTV. Lokasi audisi di Liquid Café, Jl. Magelang, Yogyakarta. Dalam foto saya bersama Imot a.k.a. Sigit Hariyo Seno, anak muda Yogya yang sengaja mau jatuh-bangun merintis karier sebagai komedian tunggal, dan akhirnya sering mengisi pagelaran di Kafe Jendelo, Yogya. Ia lolos audisi di Yogya itu.

Dari rumah Wonogiri saya berangkat jam 5 pagi. Di dalam tas saya berisi buku biografi Warkop, Main-Main Menjadi Bukan Main (2010) dan enam buku saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010).

Buku pertama itu akan saya mintakan tanda tangan kepada penulisnya, pelawak Indro Warkop, yang menjadi juri audisi. Sedang buku saya, rencananya akan saya berikan kepada Indro Warkop, Butet Kertarajasa (juri kedua), artis Astrid Tiar, dan host acara itu, Panji Pragiwaksono dan Raditya Dika.

Hal tak terduga kemudian terjadi. Sebelum audisi berlangsung, saya diwawancarai mBak Dossy dari Kompas TV. Ia bertanya mengenai minat saya mengenai dunia komedi dan apa saja yang telah saya kerjakan selama ini. Singkat cerita, saya juga menunjukkan buku saya ini.

Sejurus kemudian ia melakukan koordinasi dengan sutradara lapangan dan kameraman. Selanjutnya meminta saya keluar ruangan untuk syuting pembuatan videoklip yang menggambarkan profil diri saya.

Begitulah kejadiannya, berkat bawa-bawa buku, saya hari itu rupanya telah menjadi semi terkenal. Sebagian peserta audisi lainnya, yang baru pertama kali bertemu, malah ada yang bertanya tentang buku saya berikutnya.

Di bawah todongan kameranya Mas Oman, disutradai mas Arif, saya diminta akting menyeberang jalan, lalu berhenti menatap papan nama kafe, disusul menceritakan niat ikut audisi, dan juga membuat sampul buku saya nampak di-close-up habis-habisan.

Audisi saya hari itu memang tidak berhasil. Tetapi rencana-rencana saya terkait buku, berhasil saya laksanakan.

Saya bisa meminta tanda tangan, sekaligus berkenalan secara akrab, dengan Indro Warkop dan Butet Kertarejasa, yang walau baru saja “membantai” saya sehingga tidak lolos audisi. Kepada mereka, saya berikan pula buku saya, dan gentian Indro Warkop yang meminta tanda tangan saya.

Keluar dari panggung audisi, kejutan lain menunggu. Saat itu saya langsung diajak mengobrol dengan mBak Argalaras, associate producer dari KompasTV. Kami saling bertukar kartu nama. Dalam keremangan kafe (walau siang hari), saya sebut namanya indah. Ia juga cantik sekali.

Kita kemudian bertukar visi mengenai apa yang bisa kami kerjakan kelak untuk menunjang keberhasilan audisi komedian tunggal ini. Kepada dirinya, juga saya berikan buku saya. Konon, klip itu akan ditayangkan pada bulan September 2011 mendatang.

Pengalaman yang unik.

Berkat buku, ketika sebuah pintu tertutup, ternyata masih ada jendela-jendela peluang lain yang kemudian terbuka. Apakah Anda pernah mengalami hal yang sama dengan buku-buku Anda ? Saya menantikan cerita Anda.


Wonogiri, 13/7/2011

Sabtu, 02 April 2011

Buku "Komedikus Erektus" di Library of Congress

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Anda kenal Perpustakaan Konggres, perpustakaan terbesar di dunia ?

Misi keberadaannya adalah untuk memenuhi tugas konstitusional untuk mendorong kemajuan pengetahuan dan kreativitas bagi kemaslahatan bangsa Amerika.

Misi yang hebat dan mulia.

Ketika saya berselancar di situsnya,dan pada katalog onlinenya iseng-iseng saya ketikkan nama saya, Amerika pun membalas. Ternyata buku humor politik saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010), telah menjadi koleksi mereka. Menggembirakan.

Ringkasan yang mereka buat untuk buku tersebut adalah : Aspek humor tentang kondisi sosial dan politik di Indonesia

Klasifikasinya : LC Classification: MLCSE 2010/02873 (H)
\Alamat data bibliografisnya di : http://lccn.loc.gov/2010441503
No kontrol : LC Control No.: 2010441503
Lokasi : Asian Reading Room (Jefferson, LJ150).

Di Perpustakaan Nasional Australia, rincian subjeknya lebih kaya :

Political satire, Indonesian,
Indonesian wit and humor,
Indonesia-Politics and government-Humor.

Nomor induk : Bib ID 5017471. Lokasi : YY 2011-105 Main Reading Room (Overseas Monograph Collection).
URL : http://catalogue.nla.gov.au/Record/5017471.

Tergerak oleh penemuan ini, saya melakukan hal yang sama di situs Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Hasilnya silakan Anda klik disini. Kejutan ?

Dari Salemba, saya lanjutkan ke Depok, ke Perpustakaan Universitas Indonesia. Alma mater saya.

Ternyata ditemukan 45 bahan pustaka yang relevan dengan kata kunci "haryanto,"tetapi tak satu pun yang cocok dengan nama saya.

Silakan mengambil hikmah dan kesimpulan sendiri atas realitas ini.

Kalau Anda pernah menulis buku, silakan kunjungi situs Library of Congress dan The National Library of Australia itu. Siapa tahu katalog onlinenya memberikan kejutan kecil kepada Anda.

Nikmati impuls yang manusiawi ketika karya kita dihargai.
Dilestarikan.Diapresiasi.
Silakan mencobanya !



Wonogiri,3/4/2011

Selasa, 08 Maret 2011

Panduan Menikmati Buku Komedikus Erektus

Oleh : Isman H.Suryaman
Blog : http://bertanyaataumati.blogspot.com
Twitter : @ismanhs


Bambang Haryanto adalah pengamat dan praktisi komedi yang menulis berbagai hal tentang humor di blognya,Komedikus Erektus.

Bukunya yang berisi esai humor ala Arwah Setiawan sudah terbit, dengan nama sama seperti blog humornya.

Saat diminta menuliskan Sekapur Sirih untuk naskah tersebut, saya membuatkannya dalam bentuk panduan, seperti di bawah ini.

[Isman H. Suryaman]
______________________________________________


Langkah pertama: bayar dulu bukunya. Tertawa sambil baca DAN kabur dari kejaran petugas toko buku itu menyusahkan.

Langkah kedua: kalau sulit tertawa, ingatlah bahwa barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan. Minimal Anda bisa tertawa miris.

Kembali serius, sampul buku ini sebaiknya memuat Peringatan Pemerintah: tidak menggunakan efek suara tertawa berlebihan (“HUAHAHAHEHEHE WKWKWKWKW”) , pelesetan jorok, atau tanda baca berlebihan (!!!!!?????!!!????) yang sering diobral di buku humor lain.

Justru sebaliknya, humor di buku ini disampaikan dengan tata bahasa serius nan taat asas. Saking taatnya, saya curiga kata-kata dalam buku ini tidak langsung diketik, melainkan disuruh berbaris rapi dulu, sambil menaikkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Bambang Haryanto juga memadukan dua hal dalam bukunya: lelucon dan membahas lelucon. Ini perjudian yang berbahaya bagi penulis humor.

Mengapa? Bayangkan seorang koki menghidangkan ayam panggang di meja kita. Wanginya memancing air liur kita. Saat kita potong dan masukkan ke mulut, terasa dagingnya yang empuk dan gurih... Saat itulah koki tersebut mengeluarkan seekor ayam hidup lantas menjelaskan cara memasak makanan tersebut, mulai dari penyembelihan.

Kalau masih cuek makan dengan lahap, bisa jadi Anda memang bekerja di pejagalan. Atau kantor pajak.

Itulah bahaya menyajikan lelucon SEKALIGUS membahasnya dalam satu buku. Namun, memang harus ada yang melakukannya. Karena dari situlah kita belajar: mengapa suatu hal dianggap lucu? Mengapa kita tertawa? Mengapa Ayu Azhari bisa kalah dalam pemilihan Bupati Sukabumi?

Oke, mungkin yang terakhir sih nggak meskipun materi lelucon dalam buku ini tidak jauh dari sosial dan politik (termasuk pemerintah). Hal ini wajar saja. Kolomnis Will Rogers pernah berkata bahwa menulis humor sangatlah mudah karena pemerintah akan membantu dengan bertindak konyol. Dan kita tinggal mencatat.

Sebagai contoh, Anda mungkin ingat pada tahun 2007 ada perbedaan hasil survei tingkat kemiskinan Indonesia. Berdasarkan World Bank, 49% penduduk kita berada di bawah garis kemiskinan. Sementara menurut BPS, hanya 16,5%. Walaupun ada perbedaan metoda dan tolok ukur, kok bedanya bisa mencolok sampai 32,5%?

Jangan-jangan pemerintah bingung sendiri karena form survei yang digunakan memiliki pertanyaan sebagai berikut:

Apakah Anda miskin? (Silangi jawaban yang paling Anda anggap sesuai. Kosong berarti "Tidak".)

a. Tidak.
b. Tidak sama sekali.
c. Sangat tidak sama sekali.
d. Miskin itu apa?
e. Saya hanya mampu beli makan sekali seminggu.
f. Maaf, saya tidak bisa baca.

Kalau memang begitu, bisa kita maklumi. Tentunya sampai sekarang pun para pengujinya masih memperdebatkan, "Makan sekali seminggu itu miskin!"

"Lho, bisa saja diet," tentang penguji lain.

Contoh lain pada tahun yang sama: kota Indramayu (Jawa Barat) geger akibat ulah sepasang anak SMA yang membuat video porno. Walikota Indramayu begitu geram sampai mengeluarkan instruksi agar setiap siswi sekolah di kotanya harus melalui uji keperawanan.

Sudah hampir tiga tahun berlalu dan saya masih belum mengerti juga kemajuan pendidikan macam apa yang walikota tersebut ingin capai dengan menyusun daftar nama para perawan. Jangan-jangan tadinya mau ia jadikan soal ujian nasional: “Tandai nama-nama di bawah ini yang masih perawan. Jawaban bisa lebih dari satu. Berikan alasan.”

Inilah salah satu fungsi humor. Membuat hal-hal absurd di kehidupan jadi lebih mudah diterima... dengan menertawakannya. Seperti yang dilakukan Bambang Haryanto dalam buku ini. Belum tentu karena ingin menyampaikan kritik dalam bentuk yang menghibur. Atau karena ingin mengajak para pembaca untuk berpikir kritis. Bisa jadi, sebagaimana diakui banyak komedian atau penulis humor, karena inilah cara paling efektif agar tetap waras.

Kecuali kalau jawaban Anda pada soal di atas adalah (f): Maaf, saya tidak bisa membaca. Sudah terlambat.


Bandung, 6 April 2010

[Sumber : http://bertanyaataumati.blogspot.com/2011/03/panduan-menikmati-buku-komedikus.html]

Senin, 03 Januari 2011

Lelucon di Balik Peristiwa Politik

Oleh : Badui U. Subhan*
Facebook:www.facebook.com/kirimerah
Blog : www.subhanisme.blogspot.com


Judul : Komedikus Erektus; Dagelan Republik Kacau Balau
Penulis : Bambang Haryanto
Penerbit : Imania, Depok
Cetakan : Pertama - November 2010
Tebal : xxxii+205 halaman
Format : 13 x 20,5 cm – Soft Cover
ISBN : 978-602-96413-7-0


Kita kerap mendengar ungkapan bahwa tertawa itu baik atau sehat. Namun realitas yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, langsung maupun tidak, seperti ramai-ramai sedang mengingkari ungkapan tersebut. Di mana-mana, banyak orang lebih suka marah, menghardik, mengeluh, dan mengumpat tinimbang memberi solusi atau sekadar merespons masalahnya dengan seulas senyum.

Keadaan tersebut mungkin memiliki logikanya sendiri. Jika tak lucu maka tak ada tawa. Ya, secara kasat mata dan pikiran awam memang banyak peristiwa yang tak sedap untuk dipandang dan dirasa, sehingga sulit menimbulkan tawa.

Misal, bagaimana bisa tertawa kala institusi kepolisian dan penegak hukum lainnya masih gemar korupsi, perseteruan yang kian absurd antara “cicak” dan “buaya”, dahsyatnya ancaman flu burung dan flu babi, berlarut-larutnya kasus Bank Century, para anggota DPR yang masih kekanak-kanakan, pilpres yang tak pernah luber dan judil, petaka abadi lumpur Lapindo, dan masih banyak lagi. Kita mungkin diam-diam pula mengumpat dalam hati, sungguh sial hidup di sini!

Bagi masyarakat awam dan cenderung emosional, kebanyakan peristiwa yang telah disinggung di atas mungkin tak bisa dipahami sebagai kelucuan, terlebih dibuat lelucon. Apalagi jika narasi informasi yang diterimanya lebih bergaya ilmiah dan serius. Sebaliknya, dan ini tak banyak, bagi orang-orang yang memiliki sense of humor tinggi, peristiwa-peristiwa apapun yang mengiris hati akan selalu ditemukan celah komedinya. Lelucon ironis.

Salah seorang macam ini ialah Bambang Haryanto, sang pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli, yang kembali menorehkan kecerdasan ‘analisis’ komedinya terhadap beberapa peristiwa politik dalam sebuah buku bertajuk Komedikus Erektus. Buku pertamanya Bom Tawa dari Afrika sampai dengan Rusia (USA, 1987), buku keduanya Ledakan Tawa dari Dunia Satwa (Andi, 1987).

Buku Komedikus Erektus menghimpun beberapa tulisan lelucon politik dengan cerdas, lugas, lucu, sekaligus membuat gemas pembaca. Kecerdasan yang dimaksud bukan karena gaya tulisannya mirip dengan cara analisa pada karya-karya ilmiah yang kerap berujung pada kesimpulan kaku.

Kecerdasan ini lebih terasa karena kepandaian sang penulis dalam menemukan lelucon-lelucon ironis di balik peristiwa-peristiwa politik nyata sehari-hari, yang anehnya kerap dianggap sebagai tindakan sakral, mulia, dan heroik bagi penggagas dan pendukung fanatiknya.

Kecerdasan lelucon-lelucon itu diperkuat pula oleh gaya penulisannya yang lugas dan tak terjebak pada stereotip komedi ‘kacangan’. Pun terasa aktual di setiap ruang dan waktu. Alhasil, lelucon-lelucon yang ditampilkan tak sekadar membuat pembaca tersenyum simpul atau bahkan tergelak, melainkan mampu mengusik sudut pandang berpikir kita (sang pembaca) yang masih terbiasa sempit atau mapan (jika tak ingin dikatakan bebal).

Salah satu contoh dapat dibaca pada Bab VI dengan subjudul “SBY: 9 Desember 2009 dan Singa” (hal: 47-48).Tanggal tersebut mengacu pada gerakan moral peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia. Saat itu Andi Mallarangeng, orang dekat Presiden SBY, meluncurkan ‘mantra’ tentang ancaman penumpang gelap yang hendak memicu huru-hara di negeri ini. ‘Mantra’ itu tentu memiliki tendensi agar publik lebih percaya kepada kekuasaan dan kepemimpinan SBY yang baru terpilih lagi sebagai presiden.

Ironisnya, menurut ‘analisis’ komedi Bambang, kata-kata ‘mantra’ Mallarangeng yang mestinya bernilai tinggi itu akhirnya kempis tak bertuah (tak seperti mantra-mantra Soeharto yang selalu bertuah karena sukses mencap komunis kepada setiap lawan politiknya) mengingat masyarakat terlanjur dikecewakan oleh pernyataan-pernyataan SBY sebelumnya yang nihil bukti.

Masyarakat masih ingat, pada saat bom Kuningan meledak (17/7/2009), SBY buru-buru tampil dengan seting dramatik dan menyatakan bahwa gerakan tersebut untuk mengganjal dirinya dilantik jadi presiden. Nyatanya, peristiwa tersebut tak ada kaitan sama sekali. Ia juga meyakinkan bahwa akan ada gerakan massa yang hendak menduduki kantor KPU. Faktanya, tak pula berbukti! Satu-satunya bukti yang dapat dipercaya adalah semua itu hanya dagelan politik!

Isi macam demikian menghiasi semua tulisan dalam buku yang terbagi dalam 28 bab ini. Setiap bab-nya menyajikan ‘analisis’ serta lelucon yang segar dan variatif. Tak begitu jelas, memang, alasan pembagian atau dasar perbedaan tema dalam setiap bab-nya, namun pembaca tak perlu khawatir akan terusik kenikmatannya pada lelucon-lelucon politik yang terhimpun pada buku yang dipuji oleh berbagai tokoh yang masih “waras” macam Jaya Suprana, Wimar Witoelar, Effendi Ghazali, dan Budiarto Shambazy ini.

Kesegaran lainnya, tak semua bahan lelucon yang diracik Bambang ini lahir dari peristiwa politik di dalam negeri. Di samping itu, lelucon-lelucon politik dalam negerinya juga dikemas baik oleh Bambang dengan ‘metode’ komparasi yang apik terhadap peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh populer di luar negeri baik yang murni beraroma politik maupun tidak.

Misalnya, seperti tertuang pada tulisan bertajuk “Bir Obama, Polisi Korup, dan Ketegasan SBY Kita”, “Naisbitt and It’s A Comedy, Stupid!”, “Pilpres 2009: The Good, The Bad, and The Ugly”, “Lagu Michael Jackson dan Inspirasi Pilpres 2009”, dan “General Election 2009’s Guffaw”. Masih banyak yang lainnya.

Lelucon-lelucon yang diracik oleh lelaki yang pernah gagal ikut lomba Audisi Pelawak TPI-4 ini memang memiliki kekhasan tersendiri, khususnya di ranah komedi Indonesia. Pada semua tulisan Bambang ini tak akan ditemukan sedikit pun lelucon umum yang kerap (kecanduan) mengeksploitasi ‘laku’ kekerasan atau cemoohan fisik tokoh-tokohnya seperti pada lawakan-lawakan yang ditayangkan oleh stasiun televisi swasta kita.

Isi tulisan dalam buku ini pun tak lahir dari kekosongan budaya. Racikan lelucon Bambang betul-betul terinspirasi dari peristiwa politik yang faktual dan diksi bahasanya tak lantas jatuh pada narasi sarkastik seperti yang kerap ‘muncrat’ dari mulut para komentator politik pada umumnya.

Kiranya, masyarakat yang terlanjur ‘alergi’ pada wacana politik pun, ketika membaca buku ini, akan dapat menikmatinya dengan tetap sentosa. Nilai plus lainnya, pada setiap tulisan disertakan pula ilustrasi kartun yang dapat memudahkan pembaca mengikat inti pesan yang hendak disampaikan sang penulis.

Pada akhirnya, buku ini tak hanya mengungkap lelucon-lelucon yang (kerap samar) hadir di balik setiap peristiwa politik, melainkan pula menguji dan menambah sense of critic setiap pembacanya agar selalu ‘waspada’ terhadap wacana-wacana indah, manis, dan tak jarang bombastis yang kerap dilontarkan, dipajang, atau ditayangkan para ‘politikus’ (apapun level dan sebutannya) melalui beragam media yang ada.

Menjaga kesadaran atau kewarasan diri tak harus selalu didapat dengan cara mengkonsumsi bacaan-bacaan yang analitis-ilmiah. Seperti kata Gus Dur, daya humor dapat membuat hati bahagia dan menyehatkan pikiran.


*) Alumnus Sastra Indonesia,Universitas Padjadjaran, Bandung.