Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
"Comedy is tragedy
that happens to other people."
-Angela Carter (1940-1992),
novelis Inggris.
Warkop nampaknya tidak mengenal ucapan itu.
Semoga dugaan di atas itu salah adanya.
Untuk membuktikannya, publik humor Indonesia dapat melongokinya dalam buku tentang Warkop yang terbit bulan ini. Diluncurkan di Jakarta, 10 November 2010, dengan judul Main-main Jadi Bukan Main, yang ditulis mantan wartawan Kompas, Rudy Badil, yang juga pendiri kelompok lawak bersama Indro Warkop.
Seperti dilansir Kompas.com, Indro Warkop menuturkan di tengah peluncuran buku tersebut bahwa komedi itu harus mencerdaskan dan juga berkonsep. Tidak cuma sekadar mengundang tawa dengan hanya mengolok-olok sesama rekan pelawak. Komedi juga, kata dia, adalah sesuatu yang serius, bukan main-main.
"Buat kami komedi itu adalah hal yang serius. Tanpa keseriusan tak akan lahir yang namanya komedi," ujarnya. Dikatakan oleh satu-satunya pelawak Warkop yang masih hidup itu-setelah dua rekannya Dono dan Kasino wafat beberapa waktu lalu, komedi bukan sekadar lucu-lucuan, melainkan juga harus punya muatan yang mencerdaskan. Keseriusan untuk menularkan kecerdasan itulah yang kemudian mendorong dibuatnya buku tersebut.
Buku setebal 300 halaman itu melibatkan delapan penulis yang mencoba menghadirkan perspektif dari masing-masing penulis terhadap grup lawak legendaris ini. Mereka di antaranya Rudy Badil, mantan wartawan Kompas yang juga pendiri grup lawak Warkop, pengamat politik Budiarto Shambazy ("Mas Bas ini telah menulis endorsement untuk buku saya, Komedikus Erektus"), pengamat musik Denny Sakrie, budayawan Mohamad Sobary, Johannes Soerjoko, Frans Sartono, dan Dahono Fitrianto.
Apakah tidak ada nama Effendi Gazali di sana ? Kalau benar, pantas disayangkan karena dirinya ("yang telah pula menulis endorsement untuk buku saya, Komedikus Erektus"), sangat mengenal Wahyu "Dono Warkop" Sardono. Tidak hanya sebagai sesama akademisi di FSIP-UI tetapi juga pernah terlibat dalam diskusi kritis mengenai arah lawakan Warkop saat itu.
Saya sendiri tidak mengenal Dono secara pribadi. Akhir tahun 70-an di gedung bioskop Fajar di Solo, ketika terbius oleh promosi koran untuk menonton film perdananya, judulnya lupa, saya menontonnya.Sesudah itu, saya merasakan betapa mudah ketika menahan diri untuk tidak lagi tergoda menonton ketika membaca iklan-iklan dan promosi film-film Warkop berikutnya.
Tahun 1980 ketika berkuliah di UI, sesekali saya melihat Dono, juga Imam Prasojo sampai Yusril Ihza Mahendra, lagi nongkrong di warungnya Tuti, di kompleks Asrama UI Daksinapati, Rawamangun.
Effendi Gazali seperti tertuang dalam artikelnya berjudul "Dono dan Tolak Politisi Busuk" di Kompas, 30/12/2003, menceritakan betapa Dono memimpikan hadirnya lawakan cerdas, tetapi saat itu belum mungkin. Hal ini, menurutnya, terjadi akibat tekanan kebijakan TVRI saat itu. Juga tekanan politik dan ekonomi di era Orde Baru yang represif.
Effendi Gazali yang di tahun 1983 ketika duduk di SMA adalah juara melawak se-Propinsi Sumatera Barat, kemudian mengutip pertanyaan Dono : "Mungkinkah bikin lawakan a la Jay Leno atau David Letterman Show ?" Effendi pun membalas : "Kalau rakyat kita selalu dianggap tidak mampu mengerti lawakan cerdas, cita-cita itu pun akan menjadi in your dreams."
Proklamasi klise. Promosi Indro di atas bahwa komedi itu serius, tentu saja bukan hal baru. Proklamasi lama. Malah klise. Kurang kredibel. Karena publik humor Indonesia lebih mengenal tokoh-tokoh seperti almarhum Gus Dur, almarhum Arwah Setiawan sampai Jaya Suprana yang belum almarhum sampai saat ini, bahkan di saat Warkop masih merajalela dengan film-film komedinya yang terkenal "tidak cerdas" itu, mereka sudah pula tak jemu-jemu mengatakannya.
Bahkan, seperti ditunjukkan dalam sejarah hidup seorang Arwah Setiawan, dirinya telah bekerja keras dalam menyebarkan pemahaman yang luhur tersebut.
Walau pun demikian, terima kasih untuk Indro Warkop, yang telah sudi kembali mengingatkan hal penting itu. Merujuk penekanan itu kiranya publik humor Indonesia berharap sumbangan dari delapan penulis yang terkenal dan memiliki kapasitas yang terpercaya itu akan mampu mengelaborasi apa yang dikatakan Indro tersebut. Misalnya dalam bentuk memberikan tonggak-tonggak pemikiran yang cerdas demi menunjang perkembangan komedi Indonesia di masa datang.
Tetapi kita juga boleh ragu untuk mengharap terlalu banyak. Karena Rudy Badil sudah wanti-wanti, dengan berkata : "Pesan dari buku ini adalah pertemanan bagaimana mereka harus saling mengisi. Ini bisa dijadikan cerminan buat grup-grup lawak yang ada sekarang ini," kata Rudy Badil. Lanjutnya, "Buku ini lebih berisi suka duka dan fase kecil Warung Kopi. Ini bukan buku panduan bagaimana bisa melawak, tapi lebih pada proses kreativitas dan pertemanan."
Buku ini nampaknya memang tentang masa lalu.
Juga cocok untuk masa lalu.
Bahkan Indro Warkop menyebutnya sebagai buku kenangan. "Terus terang, obsesi saya hanya buku ini. Karena mungkin ini pelaku sejarahnya masih ada. Saya sudah kehilangan tiga sahabat. Kalau kemudian kehilangan lagi pelaku sejarahnya, mungkin saya nggak akan bikin buku," ujarnya lebih lanjut.
Buku ini nampaknya memang sebuah nyanyian angsa. Buku perpisahan. Karena publik Indonesia, bila mau jeli mencatat dan melihat aksi-aksi Indro sendiri dalam bermain komedi di televisi jauh sesudah dua rekannya tiada, nampaknya memang tidak banyak warisan berharga yang bisa kita harapkan lagi dari dirinya.
Buku itu kiranya menjadi warisan terakhirnya. Tentu saja berharga, dengan catatan : kalau isinya mampu membuat pembaca yang cerdas menjadi tertawa. Terutama mereka yang tidak bisa tertawa, apalagi muak, melihat suguhan komedi-komedi bodoh dari film-filmnya selama ini. Bila itu yang terjadi, maka buku ini bakal menjadi buku kenangan yang istimewa.
Terlebih lagi bila kita nanti disuguhi rentetan cerita-cerita true story yang kaya mengenai tragedi demi tragedi (dua personilnya meninggal karena kanker, antara lain karena ignoransi), juga paparan yang menghumori kekonyolan atau kebodohan, self-deprecating, dari personil Warkop yang selama ini mungkin melulu tersembunyi di balik layar. Paparan kisah semacam yang diogahi para pemimpin kita yang mengagung-agungkan pencitraan ini, jelas akan membuat kita sebagai manusia menjadi percaya bahwa Warkop juga mengenal inti ajaran luhur Angela Carter di atas.
Karena inilah saat terakhirnya, menurut hemat saya, melalui buku itu, sejarah hidup Warkop dibuka dan dipanggungkan dengan total untuk menjadi bulan-bulanan tawa audien pembacanya. Untuk menguak kesejatian darah humor dalam nadinya, sebagaimana seorang Bert Williams pernah menyabdakan bahwa "the man with the real sense of humor is the man who can put himself in the spectator's place and laugh at his own misfortune."
Karena hanya dengan sikap rendah hati itu, dengan selera humor yang sejati itu, maka akan semakin lengkap potret misi keberadaan mereka. Selain di panggung hiburan dan terutama di panggung kehidupan sebagai manusia, di mana kisah-kisah hidup mereka berpeluang mampu untuk merasuki kalbu-kalbu pembacanya.
Junk memory. Kalau tidak, boleh jadi kita akan hanya mampu mengenang saat film-film Warkop selalu diputar di televisi. Utamanya di saat-saat kita merayakan hari lebaran. Di saat kita dengan tulus saling bermaaf-maafan dengan sesama.
Tetapi tidak ada maaf untuk produsen film-film Warkop. Karena cakar merekalah yang membuat tiga atau empat insan kocak Warkop itu hanya menjadi ikon yang ndesel-ndesel, yang bersikeras memaksa masuk, tetapi akhirnya hanya sebagai junk memory dari khasanah kenangan budaya populer kita.
Tidak ada maaf pula karena mereka telah rela menjadi tahanan jeruji besi industri tontonan komersial yang mencekik nalar sehat, yang tidak seperti diangankan oleh Indro Warkop saat ini, nyatanya memang jauh dari selera cerdas dan cendekia.
Sehingga buku ini, dengan memohon maaf, menurut saya sepertinya cocok bila kita anggap sebagai upaya Warkop untuk melakukan upacara ruwatan atau penebusan dosa. Walau sebenarnya akan lebih menyentuh lagi bila Indrojoyo Kusumonegoro pribadi, sebagai the last Mohican, yang menulisnya sendiri.
Tetapi sepertinya, sebagai hal kronis yang menyerimpung otak komedian-komedian lainnya di Indonesia, ia tidak mampu melakukannya. Nampaknya sosok Wahyu "Dono Warkop" Sardono merupakan tokoh dominan, termasuk sebagai penulis naskah dan otak terbaik dari sukses Warkop selama ini. Tetapi kita tahu, pada tanggal 30 Desember 2001, Dono telah mendahului kita semua.
Indro Warkop kini melakukannya dengan meminjam tangan-tangan orang lain. Bukan keputusan yang buruk. Sebelum semuanya menjadi sangat terlambat.
Semoga saja mereka-mereka itu mampu mengambil peran bukan sebagai tukang-tukang sepuh emas untuk mempercantik kaleng yang berkarat. Bila harapan itu terpenuhi, maka kehadiran buku langka ini pantas kita sambut hangat.
Wonogiri, 13 November 2010
Jumat, 12 November 2010
Warkop dan Buku Penebusan Dosa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar