Minggu, 11 April 2010

Job Fair, Joker Fair dan Koneksi Sukses Anda

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Buang Surat Lamaran Anda ! Acara Career Days yang pertama kali saya ikuti berlangsung tanggal 14-16 Februari 1989. Tempatnya di Balai Mahasiswa Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Penyelenggaranya, kalau tak salah, Senat Mahasiswa FEUI dan AISEC. Saya datang tidak untuk mencari pekerjaan. Tetapi untuk membuka wawasan. Mencari peluang kerja sama.

Tahun-tahun itu, sebagai infojunkie saya banyak membeli buku-buku, majalah, termasuk majalah bekas terbitan luar negeri, sampai print out pelbagai bank data komersial (belum ada Internet saat itu) di manca negara. Topiknya : strategi berburu pekerjaan.

Minat itu terpicu antara lain oleh sebuah buku koleksi perpustakaan PDII-LIPI. Lembaga ini saya tak tahu apa namanya sekarang, tetapi saat itu bernama PDIN-LIPI. Buku tersebut merupakan karya Warren J. Rosaluk, judulnya Throw Away Your Resume and Get That Job (1983). Buang saja surat-surat lamaran (juga CV Anda) dan dapatkan pekerjaan.

Bagi saya, buku ini revolusioner. Sayangnya, tidak banyak diketahui oleh jutaan pencari kerja kita yang sebagian besar menggantungkan masa depannya dengan cara-cara konvensional dalam berburu pekerjaan. Cara-cara lama ini senyatanya melelahkan, yang mudah menimbulkan rasa putus asa dan perasaan tidak berharga, dan bahkan juga mampu membinasakan dirinya itu pula.

Pengalaman kerja nol. Kembali ke acara di kampus UI tersebut. Pembicaranya antara lain Abdulgani (Bank Duta, “masih ada yang ingat bank satu ini ?”), Hamizar (Bakrie Brothers, “Aburizal Bakrie saat itu belum terkenal”) dan Fahmi Idris (KODEL Group). Pertanyaan yang muncul dari kalangan mahasiswa, yang klasik itu, menyangkut persyaratan pengalaman kerja. “Kami baru saja lulus, kok dimintai informasi seputar pengalaman kerja ?,” kira-kira begitulah protes mereka.

Terkait keluhan tipikal di atas, saya pernah menulis di kolom surat pembaca di Kompas Jawa Tengah, dengan judul “Pengalaman Kerja, Perlakuan Tak Adil ?” (23/11/2004). Saya tuliskan : “Yang dimaksud pengalaman kerja itu sebenarnya bukan hanya terbatas kepada pengalaman kerja yang memperoleh bayaran. Selama kuliah, dengan terjun dalam pelbagai aktivitas kemahasiswaan, baik kesenian, olahraga, sosial atau politik, mahasiswa bersangkutan juga telah memperoleh pengalaman kerja yang berguna.

Merancang isu demo, menggalang barisan peserta, membagi tugas, membuat spanduk baik isi sampai desain, menyebarkan siaran pers sampai melakukan demonya itu sendiri, adalah juga pengalaman kerja.

Problemnya adalah, tidak banyak mahasiswa kita yang selama kuliah sengaja melakukan aktivitas non-kuliah demi memperoleh pengalaman kerja yang kelak ia butuhkan. Tidak banyak pula yang mau terjun bekerja sebagai relawan tanpa bayaran.

Beda misalnya dengan mahasiswa di luar negeri, di mana misalnya pada masa kampanye pemilu mereka ramai-ramai bergabung sebagai relawan dalam tim sukses calon presiden. Mereka menjelajahi beragam pekerjaan yang memang terbuka saat itu guna memperoleh pengalaman, keterampilan, wawasan dan jaringan koneksi.”

Koneksi itu penting. Kalau kata ini terkesan berkonotasi KKN, bisalah Anda ganti dengan networking, menggalang jejaring. Dan itulah yang tidak nampak ketika acara seminar dalam Career Days itu berakhir. Tak ada gerombolan mahasiswa yang antusias datang menyalami para pembicara, bertanya atau berbincang, apalagi sambil bertukar kartu nama. Koneksi pun menjadi terputus. Momen langka dan berharga ini menjadi sia-sia,mubazir, bagi para mahasiswa yang suatu saat kelak akan terjun dalam aktivitas berburu pekerjaan.

Momen mubazir serupa terlihat pula ketika saya mengikuti audisi API-4 (26/1/2008) dan audisi Piala Dunia Tawa (2/4/2010) di Gedung Wanitatama, Yogyakarta. Mungkin karena atmosfirnya sarat persaingan di antara peserta, membuat mereka terkondisikan untuk cenderung “kurang ramah” satu terhadap yang lainnya.

Begitu acara bubar, mereka-mereka itu nyaris tidak dapat dilacak lagi domisili masing-masing. Termasuk potensi yang mereka miliki. Isian dalam formulir pendaftaran memang tidak membuka peluang tersajinya keistimewaan masing-masing peserta audisi. Apalagi TPI, demi alasan bisnis, memang wajar bila nampak berkepentingan hanya dengan peserta yang lolos saja. Sisanya, data yang lebih banyak dari peserta audisi yang gagal itu, mungkin dinilai tak berguna lagi oleh fihak TPI.

Akibatnya, menurut saya, komunitas komedi kita kehilangan direktori yang mampu mengikat simpul-simpul sumber daya kreatif itu. Karena mungkin saja bila mereka memperoleh sentuhan secara berbeda (bukan audisi), dengan diberi bimbingan dan dibukakan wawasannya, boleh jadi akan menunjukkan sisi-sisi cemerlangnya.

“Delapan puluh persen rahasia sukses adalah mejeng,” demikian kata komedian, penulis dan sutradara pemenang Oscar, Woody Allen. Tetapi kalau peserta audisi itu sendiri eksistensinya, misalnya, tidak dapat terdeteksi di Internet, bagaimana bisa membuka peluang dirinya untuk sukses ? Ah, maaf, mungkinkah saya lagi mabuk dan melebih-lebihkan kedigdayaan Internet ?

Yang saya tahu, media Internet itu membuka terjadinya interaksi. Juga diskusi. Alangkah betapa semakin bergunanya Internet itu bila dalam acara semacam job fair, career days, sampai audisi a la TPI yang boleh kita beri label sebagai joker fair atau comedy fair, juga memperoleh pendampingan dengan diluncurkannya situs web atau blog tersendiri. Atau akun Facebook pula. Semuanya tersedia secara gratis, bukan ? Acara memang sudah selesai, tetapi diskusi bisa berjalan terus. Khasanah ilmu pengetahuan tentang komedi juga dapat terakumulasikan dari momen itu, dari waktu ke waktu.

Berdasarkan pola pikir atau mindset serupa, saya telah meluncurkan blog Komedikus Erektus : The Book ini. Blog ini saya luncurkan untuk mendampingi penerbitan buku kumpulan cerita humor dan bimbingan berkomedi, dengan judul yang sama. Insya Allah, Mei 2010 sudah terbit.

Saya berdoa semoga Faried Wijdan dan kawan-kawan di Etera Imania, sehat-sehat dan selalu bersemangat untuk merampungkan proyek kami bersama ini.

Melalui blog tersebut, saya ingin bisa mengobrol dengan sesama pencinta komedi. Menampung kritik dan saran atas buku saya itu. Siapa tahu, lewat diskusi pula, kita bisa meluncurkan acara komedi televisi yang baru ? Buku baru ? Sekolah komedi baru ? Hanya imajinasi saja yang dapat membatasi pelbagai kemungkinan itu.

Anda setuju ?


Wonogiri, 11 April 2010





2 komentar:

  1. Ntah kenapa, setiap huruf sangat rugi tertinggal utk dibaca. Sajiannya renyah. Salam kenal

    BalasHapus
  2. Sear "Riankurus," terima kasih telah sudi mampir dan menuliskan komentar. Salam humor. Salam kenal kembali.Sukses selalu untuk Anda !

    BalasHapus