Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Calon pelawak itu kebanyakan orang miskin.
George Burns (1896-1996), contohnya.
“Kami tahu, ayah berasal dari keluarga yang sangat miskin. Dia memiliki saudara lelaki dan perempuan sebanyak sebelas orang, semuanya tidur pada karpet yang sama pada apartemen satu kamar. Tetapi ayah tidak menceritakan semua itu dengan cara biasa. Semua itu tidak menyenangkan. Semua itu tidaklah lucu.”
Sebaliknya, demikian cerita putranya, Ronnie Burns, ayahnya “membuat semua kisah penderitaan itu sebagai cerita-cerita yang lucu. Sebagai tukang cerita ia menyajikan cerita-cerita ringan yang bersumberkan dari realitas hidupnya.”
Sebagaimana dikutip oleh Martin Gottfried dalam buku biografi berjudul George Burns And The Hundred Year Dash (1996), George Burns mengatakan : “Bagi saya, kehidupan nyata adalah bisnis pertunjukan.”
Cerita serupa, atau yang kurang lebih sama, boleh jadi juga akan kita temui pada pelbagai buku biografi untuk pelawak-pelawak kita. Tetapi ketika menerjuni arena audisi Piala Dunia Tawa-nya TPI di Yogyakarta (2/4/2009), dan momen sesudahnya, saya merasakan adanya “kemiskinan” jenis lain pada calon-calon penghibur, termasuk calon pelawak-pelawak kita.
Hal yang sama mungkin sekaligus diderita para pemangku kepentingan terhadap dunia tarik tawa kita selama ini. Tegasnya adalah : kemiskinan dalam budaya literasi.
Bukan pesta intelektual. Stasiun televisi swasta TPI telah menyelenggaraan 5 kali audisi untuk merekrut bibit-bibit baru pelawak Indonesia. Yang bertajuk Audisi Pelawak TPI (API) sudah berlangsung 4 kali (2004, 2005, 2006, 2008) dan yang kelima dengan tajuk Piala Dunia Tawa (2010) sekarang ini.
Kesan yang saya peroleh, semua acara ini kemasannya zakelijk kegiatan audisi semata. Anda datang, mendaftar, melakukan audisi, dan lalu menunggu keputusan tentang lolos atau tidak. Selesai.
Padahal dalam waktu-waktu kosong, baik saat menunggu audisi atau menunggu saat pengumuman, dapat diadakan beragam kegiatan yang bersifat informasional dan edukasional. Katakanlah, pengelola televisi yang membidang dunia lawak-melawak itu membuka isi jeroan-nya kepada masyarakat luas.
Misalnya dengan mengadakan pemutaran film-film pendek komedi, pameran skrip-skrip komedi di televisi, film dokumentasi dibalik layar tentang penyiapan tayangan komedi, pameran bahan-bahan pustaka komedi, sampai pengenalan terhadap situs-situs bimbingan komedi di Internet.
Diramaikan misalnya dengan acara open mic bagi peserta untuk bisa saling mengenalkan diri atau membuang stres, sesi diskusi dengan penulis komedi sampai sutradara acara komedi, sampai arena penjualan pelbagai benda kenangan acara bersangkutan.
Dengan hadirnya beragam kegiatan ini, yang hadir diharapkan bukan hanya para calon-calon komedian, tetapi juga beragam pemangku kepentingan terhadap perkembangan dunia komedi kita. Sebaiknya pada acara pengumuman tentang siapa-siapa saja yang lolos bisa dibuatkan panggung tersendiri, dengan seremoni tertentu pula.
Syukur-syukur pula bila bisa diadakan lomba menulis catatan di Facebook, baik bagi peserta audisi tentang kesan dan pesan mereka, atau pun yang melibatkan audiens, sehingga secara tidak langsung akan menjadi publikasi yang meluas untuk acara bersangkutan.
Merujuk hal-hal di atas, saya agak heran juga : mengapa para penerbit/penulis buku-buku humor dan komedi, sampai buku seputar panduan berkarier sebagai komedian, tidak membuat lapak dalam acara seperti ini ? Bahkan ada lembaga yang berambisi sebagai pusat dokumentasi komedi, tetapi mengapa mereka juga tidak memiliki perhatian terhadap hajatan sebesar ini pula ?
Apakah justru para calon komedian itu bukan dianggap sebagai pasar bagi produk-produk mereka ?
Saya tidak tahu. Kalau saja buku humor/komedi saya Komedikus Erektus saya sudah terbit, saya akan membuka lapak. Kalau di dalam arena tidak boleh atau tidak bisa, di trotoar pun jadi.
Indonesia butuh komedian. Seusai mengikuti audisi Piala Dunia Tawa di Gedung Wanitatama Yogya sore itu, saya memutuskan berjalan kaki sampai Janti. Saya melihat pusat pertokoan, kantor perusahaan swasta dan pemerintah, sampai restoran, kafe dan hotel. Hemat saya, semua lembaga itu memerlukan kehadiran para komedian.
Bahkan di era demokrasi ini, Indonesia sebenarnya semakin banyak membutuhkan jasa komedian. Utamanya komedian yang pemarah a la Lewis Black, untuk garang melucukan, menghardik dan sekaligus melecehkan para pejabat negara dan juga penegak hukum yang melakukan tindak korupsi yang membuat kita terkejut-kejut akhir-akhir ini. Semua tindakan culas sampai sikap munafik mereka itu pantas diberi hukuman secara sosial.Mereka harus menjadi bahan tertawaan. Agar nurani bangsa ini tetaplah waras.
Kata Jay Sankey dalam bukunya Zen and The Art of Stand-Up Comedy (1998), bahwa setiap lelucon yang dahsyat haruslah mampu menimbulkan korban bergelimpangan. Semakin jelas korban yang dimaksud, semakin menggigit pula lawakan bersangkutan.
Tetapi untuk mampu mencapai taraf itu, bukan hal yang mudah. Utamanya bagi pelawak kita. Karena lawakan yang mampu menggigit ulah pejabat-pejabat culas itu, merujuk kaidah piramid komedi dari Steve Ray, merupakan puncak dari pencapaian komedi itu sendiri. Ia telah menggolongkan komedi dalam tujuh tingkat, yaitu komedi fisik, komedi porno, storyline, bahasa, imitasi, kontradiksi karakter dan yang paling puncak adalah satir.
Agar mampu meraih keandalan dalam menyajikan satir, bahkan juga pada enam tingkat komedi di bawahnya, fondamennya kurang lebih tetaplah sama : dibutuhkan topangan budaya literasi, budaya baca-tulis yang kuat. Kevin Kelly, seorang maverick dari majalah gaya hidup digital Wired mengatakan dalam salah satu artikelnya betapa orang yang tumbuh dalam lingkungan teknologi baca dan tulis berfikir dengan cara berbeda.
“Saya tidak bermaksud mengatakakan bahwa orang berfikir berbeda ketika membaca. Membaca dan menulis merupakan sarana kognitif yang begitu kita kuasai akan merubah cara otak dalam mengingat fakta dan mengkonseptualisasikan gagasan, dan pelbagai perubahan tersebut akan merangsang kinerja pemikiran secara abstraks.”
Terima kasih, Kevin.
Sebagai orang yang berusaha menumbuh-numbuhkan embrio lawakan berdasarkan gagasan, idea-driven jokes, pendapat Kevin Kelly itu semakin membuat saya percaya diri. Saya rupanya, mudah-mudahan, telah menempuh arah yang benar.
Belajar dari CSI. Beberapa hari kemudian, saya memperoleh sms. Rupanya dari peserta audisi di Yogya yang gagal, tetapi nampaknya ia ingin mengikuti lagi di Bandung. Semangat yang pantas dihargai.
Ia bertanya apakah saya memiliki konsep lawakan. Maksudnya mungkin set, naskah lawakan. Saya bilang, saya tidak punya. Lalu saya usulkan : silakan baca koran dan lihat TV. Di sana banyak materi untuk bisa dijadikan bahan lawakan. Setiap berita headline berpeluang ditekuk sana-sini menjadi materi komedi !
Sekadar contoh, koran Kompas Minggu (4/4/2010) memajang laporan tentang kisah-kisah di balik pembuatan film seri terkenal, CSI, di Amerika Serikat. Yang menonjol antara lain cerita bahwa, begitu muncul berita tentang tindakan kriminal tertentu, di media massa, para awak kreatif dan penulis naskah dari film seri itu segera mendiskusikannya sebagai bahan cerita serial film itu berikutnya.
Usul saya itu mungkin membuatnya patah hati. Tetapi, itulah realitanya. Jalan untuk menjadi komedian memang seringkali juga bukan jalan yang mudah. Utamanya bagi mereka yang miskin. Tentu saja tidak hanya menyangkut masalah miskin dalam harta, tetapi terutama yang miskin wawasan, miskin semangat untuk teguh dan kukuh, miskin untuk terus dan terus belajar memperkaya isi kepala mereka dengan wawasan-wawasan baru pula.
Pesan singkat yang lain, kemudian juga saya terima. Dari nomor berbeda. Balasan dari sebuah kelompok yang berhasil lolos ke Jakarta, yang sebelumnya saya usulkan agar memiliki akun Facebook dan blog untuk menulis kisahnya di sana. Sebagai sarana promosi mereka sejak dini. Pimpinan kelompok itu hanya menjawab dengan “ha-ha-ha.” Sembari mengaku dirinya sebagai gaptek, apa adanya.
Masih muda kok mistek.Miskin teknologi.
Apa kata dunia ?
Wonogiri, 9/4/2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar