Selasa, 23 Maret 2010

Robin Williams, Hiperteks dan Komedi

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Ingin belajar mendalami komedi ?
Merintis karier sebagai komedian ?

Belajarlah dari Internet. Memang nasehat klise. Karena di Internet Anda akan mudah menemukan berton-ton bahan lelucon yang siap Anda ceritakan di muka audiens. Tetapi harus Anda ingat, semua bahan itu tidak autentik dengan diri Anda. Bukan pula curahan hati terdalam Anda.

Kalau Anda sekadar pokoknya ingin tampil, selucu mungkin, dan bisa mengundang tawa, bahan-bahan itu semoga dapat menolong Anda.

Seorang Steve Silberberg, pengelola newsgroup komedi di alt.comedy.standup, mempunyai pendapat khas untuk para komedian di atas. Katanya, “If they bought/stole/used someone else's material, they'd be no more than a talking monkey on stage regurgitating other people's thoughts.” Bila mereka membeli/mencuri/menggunakan materi lawakan karya orang lain, maka mereka itu tidak ubahnya sosok kera yang mampu bicara, yang tampil di panggung, sekadar muntah-muntah mengeluarkan karya buah pikir orang lain.

Internet juga menyediakan materi melimpah ruah bagi mereka yang tidak ingin hanya menjadi “monyet” dalam cerita Steve Silberberg di atas. Sekitar 2-3 tahun ini saya mengikuti kursus komedi, dengan setiap minggu harus mengikuti posting-posting terbaru secara serial dari sang guru, John Cantu di Humormall.com. Kini sudah sampai pada materi bertopik marketing what you write, teknik-teknik pemasaran untuk karya-karya kreatif lawakan.

Bagi Anda yang suka komedi dan juga suka memikir-mikir konstruksi bangunan Internet itu sendiri, rumus lawak sebenarnya juga ada di konstruksi Internet pula. Majalah TIME edisi khusus tentang Internet (Mei 1995) telah memajang gambar sampul tentang hal itu. Berupa foto lawang sewu, pintu seribu, tetapi bertumpuk-tumpuk. Membentuk lorong dan labirin.

Itulah gambaran karakteristik hypertext, dokumen di Internet. Bila Anda memasuki sebuah pintu, Anda akan mampu meneruskan ke pintu lain, lainnya lagi dan lainnya lagi. Begitu seterusnya.

Dalam bahasa Internet, fasilitas dalam dokumen elektronik di Internet yang bisa mengarah untuk membuka pintu demi pintu atau akses itu lajim dikenal sebagai hyperlink, tautan. Fasilitas yang mirip fungsinya dalam media berbasis atom, kertas, bisa kita temukan berwujud catatan kaki atau daftar pustaka. Tetapi dalam kecepatan akses [“elektron mampu mengelilingi dunia 11 kali dalam setiap detiknya”], dokumen elektronik jelas jauh lebih unggul. Mutlak.

Tentang hal di atas, Robin Williams, komedian dan aktor pemenang Oscar, punya cerita menarik. Ketika majalah Yahoo Internet Life (2/1997) menanyakan apakah dirinya menggunakan email, jawabannya : “Ya. Email itu mengagumkan. Email membawa kita untuk kembali mengalami seni menulis surat…. Dalam surat kita dapat mengekspresikan diri kita pribadi secara mendalam dan penuh makna. Surat merupakan perpanjangan dari filosofi Anda.”

“Apakah kami yang pertama mengatakan bahwa pikiran Anda bekerja seperti Internet, hyperlinking untuk menuju tempat atau situs yang paling tidak terduga-duga ?,” tanya lanjut David Sheff dari Yahoo Internet Life .

“Itulah realitas diri saya,” jawab Robin Williams. “Itulah pula realitas dunia komedi. Inilah hiperkomedi yang nampaknya persis sama dengan hiperteks. Saya merujuk ke sesuatu hal dan lalu diri saya memuntir, memelintir, mengubahnya untuk menuju ke arah yang baru. Ketika pertama kali saya melihat hiperteks, saya langsung memahaminya. Inilah ujud asosiasi bebas.”

Terima kasih, Robin.

Sayangnya, kedahsyatan dari hyperlink ini sepertinya belum banyak disadari oleh para blogger atau para pengembang isi dalam dunia Internet kita. Bahkan banyak dari mereka yang boleh disebut sebagai para jawara dunia Internet di Indonesia, postingan mereka kebanyakan juga sangat senyap dari kehadiran tautan dan tautan itu pula.

Oleh karenanya, terkait hyperlink dan juga filosofinya, saya pribadi pernah terantuk pengalaman yang membuat saya senyum-senyum. Pengalaman yang pertama, beberapa saat lalu layar televisi kita gencar digerojok iklan tentang sosok tokoh muda yang berambisi menjadi presiden. Saya kemudian mengunjungi situsnya. Saya ingin tahu, apakah strategi Internetnya juga bersemangat muda, berpendekatan mutakhir, atau dengan mindset era dinosaurus.

Ternyata, menurut saya situs itu salah visi dan salah kelola. Lalu saya memberikan komentar, juga menyertakan tautan bahwa saya pernah menulis di harian Kompas (8/4/2004) tentang pemanfaatan Internet sebagai senjata kampanye presiden. hidup.”].

Beberapa hari kemudian, komentar saya tersebut tidak ada bekasnya sama sekali di situs bersangkutan. Saya berpikir, mungkin saya juga dianggap sebagai calon presiden olehnya, sehingga statusnya sebagai saingan yang harus tidak memperoleh tempat nongol di situsnya ?

Kini, peristiwa kedua. Ada seorang penulis buku yang produktif, bahkan hampir setiap bukunya diberi label sebagai buku laris. Ia terakhir menulis tentang buku humor. Data buku itu terpajang pada situsnya. Saya kemudian menulis komentar tentangnya.

Tentu saja, saya memasukkan dulu data nama, email dan URL blog saya. Isi komentar, pertama, saya memberikan apresiasi atas terbitnya buku dia tersebut. Kedua, saya bertanya, apakah saya boleh memintakan endorsement dia bagi calon buku humor saya, Komedikus Erektus. Begitu saya klik, komentar saya muncul di halaman, diimbuhi keterangan bahwa komentar tersebut menunggu dimoderasi.


Beberapa hari kemudian, ketika melihat-lihat situs bersangkutan, ternyata komentar saya tersebut malah hilang sama sekali. Momen yang justru membuat saya senyum-senyum. Saya menduga-duga. Misalnya, admin dari situs itu ngantuk sehingga komentar saya ter-delete secara tak sengaja.

Atau mungkin pengarang bersangkutan kuatir berat, saya ini dianggap sebagai saingan yang berpotensi merebut 1 dari 100.000 pembeli bagi buku larisnya itu ? Atau, ia justru tidak tahu mukjijat dibalik keberadaan sebuah hyperlink, tautan, dalam kehidupan bebrayan agung Internet.

Terhapusnya komentar dan permintaan tadi,membuat saya ingat dua sosok. Wimar Witoelar dan Chris Anderson. Karena pada kejadian beberapa hari sebelumnya, saya telah meminta endorsement dari seorang Wimar Witoelar. Hari itu sudah hampir jam 11 malam. Dalam hitungan menit, saya segera memperoleh jawaban : “Saya akan menulis pada kesempatan pertama.”


Terima kasih, Bang Wimar.
Endorsement dari beliau akan hadir secara bermakna dalam buku saya.

Lalu tentang Chris Anderson ?

Dalam bukunya yang berjudul The Long Tail : Bagaimana Menciptakan Permintaan Tak Terbatas (2006), bersabda : “ Siapa pun yang membaca sesuatu dari Internet namun tidak memperluas wawasan kultural mereka berarti telah menemukan sebuah tempat yang kelewat gersang di dunia blog atau perlu menghadiri kursus penyegaran agar bisa memahami hyperlinks. Karena tak ada apa pun di Web yang memiliki kuasa mutlak, terserah kepada Anda untuk berkonsultasi dengan sumber-sumber yang memadai sehingga Anda dapat membulatkan keputusan Anda sendiri.”

Situs sang calon presiden tadi, juga pengarang buku-buku laris tadi, barangkali memang berambisi ingin hadir sebagai situs dengan kuasa mutlak. Bila benar itu yang mereka arah, bagi saya, inilah materi menarik sebagai bahan lelucon baru. Bukan dari jalur komedi, tetapi dari lorong-lorong tragedi.

Karena cakar otoriter Orde Baru terancam untuk kembali.
Utamanya bila impian calon presiden itu menjadi kenyataan !



Wonogiri, 24/3/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar