Jumat, 12 Maret 2010

API-4, Harris Cinnamon dan Komedikus Erektus

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Tips sukses. Kalau Anda berada dalam kerumunan, berteriaklah.

Petunjuk penting ini saya peroleh dari tokoh perempuan bisnis atau tokoh bisnis perempuan (?) :-) Dewi Motik Pramono. Ia berteriak dengan media dandanan.

Favoritnya warna merah. Juga dengan pernah-pernik yang menyala, sekaligus menyalak.

Tip serupa juga dilakoni oleh Wimar Witoelar. Tak aneh, ia seorang tokoh kehumasan yang terampil membawa diri. Apalagi dengan bleger yang karismatik, flamboyan, dan berambut semi kribo. Juga sosok tubuhnya yang mungkin kalau bertemu dengan Ellen DeGeneres diperkirakan ia akan mencandai, bahwa kantong kanan dan kiri dari baju Bang Wimar itu memiliki ketua RT yang berbeda.

Begitulah. Di tengah-tengah banyak orang, yang berstatus penting-penting, ketika atensi semakin mahal, menjadi nampak atau menonjol dalam keriuhan adalah sebuah leverage yang bermakna. Barangkali juga mahal harganya. Saya mengalami keajaiban itu sebagai suporter sepakbola di Stadion Kallang, Singapura, 16 Januari 2005. Saat itu dilangsungkan leg kedua final Piala Tiger 2004, Indonesia melawan tuan rumah Singapura.

Begitu Mayor Haristanto (yang baru saja ikut Chingay Parade 2010 di Singapura) dan saya memasuki tribun pojok timur laut yang berisi suporter Indonesia, saya rasakan kimia menjadi berubah. Saat kami berdua membentangkan spanduk yang kami bawa dari Solo, bertuliskan slogan “Bangkit Indonesia !,” rasa nasionalisme sekitar 1000-an suporter Indonesia yang terkepung 55.000 suporter tuan rumah, ibarat api tersiram bensin. Lagu “Indonesia Raya” kami nyanyikan, bersemangat, dan air mata panas merebak di wajah-wajah kami saat itu.

Indonesia akhirnya memang kalah saat itu. Di Senayan sudah kalah 1-3, di Kallang kalah lagi, 2-1. Tetapi saya pribadi, mampu meraih kemenangan hiburan. Karena esok harinya, 17 Januari 2005, surat kabar terkemuka Singapura The Straits Times memuat pendapat saya.

Hal serupa terjadi tanggal 27 Januari 2005. Di tengah pesta hari ulang tahun MURI ke-15 di Semarang. Untuk memenangkan “persaingan” di tengah puluhan kandidat penerima rekor MURI yang lain, dari rumah saya mempersiapkan lembaran siaran pers. Saat di antara keriuhan itu saya yang harus memburu wartawan. Ketemu wartawan Radar Semarang, esoknya profil kemenangan MURI saya diwartakan.

Juga ketemu reporter televisi cantik dan menawan, Erika Diana Rizanti. Saya memberikan siaran pers saat itu seperti melempar batu ke kolam. Tak usah berharap batu akan menimbul ke permukaan. Ternyata beberapa minggu kemudian, Erika meliput kiprah saya sebagai seorang epistoholik untuk acara televisi a la Ripley’s Believe of Not ? , yaitu : Busssettt !

Ajaran Woody Allen. Menjadi nampak, visible, sehingga menjadi bahan liputan media, tidak lain merupakan ikhtiar agar cita-cita sampai nilai-nilai positif diri kita diketahui oleh dan agar berguna bagi masyarakat. Tak kenal, tak sayang, bukan ?

Dengan dikenal, juga membuka peluang bagi kita dalam membina pertemanan dengan orang lain. Itulah yang terjadi selepas saya tereliminasi dalam audisi API-4 di Yogyakarta, Sabtu, 26 Januari 2008. Memang saya gagal dalam acara seleksi pelawak itu, saya dalam kondisi remuk bubuk, tetapi pada hari-hari selanjutnya saya mampu merasakan manfaat di balik itu semua. Antara lain saya masih diberi berkah untuk mengenal sebagian awak kreatif dari TPI, stasiun televisi penyelenggara acara API tersebut.


Antara lain dengan Harris Cinnamon (foto). Karena gara-gara saya menulis di blog saya, tentang pengalaman mengikuti audisi itu. Termasuk memajang foto dan komentar Harris Cinnamon saat itu, dengan jabatan sebagai produser eksekutif acara audisi tersebut, sedang memberikan pengarahan kepada para kontestan. Demikianlah ketika acara kontes itu selesai dan saya gagal, tetapi dengan membuat “keributan” di blog, saya merasakan kemenangan dalam membina pertemanan.

Mungkin ia dapat bocoran info dari Ade Tao, juri saya. Ia memiliki kelompok lawak Decaer Group. Saya terkaget, begitu saya usai memeragakan set lawakan tunggal, ia menyapa saya. Ia adalah teman yang saya kenal melalui Internet, melalui blog Komedikus Erektus pula. Kita pernah mengobrolkan cita-citanya yang ingin terjun sebagai komedian solo juga. Ade Sofyan Intan, nama lengkapnya, bersama kelompok “69” termasuk 16 besar GrenPinal API I/2005. Satu angkatan dengan SOS dan Bajaj, Ade sudah banyak berpentas dengan pelbagai personil lawak Jakarta lainnya.

“Kekalahanmu di API-4, kemenangan yang dahsyat!,” begitu tulis Harris Cinnamon dalam boks bengok blog saya, 31/1/2008. Saya kemudian membalasnya di blog dia, Sajadah Jiwa. Termasuk kemudian mengungkapkan rasa terkejut saya, ketika memperbandingkan sosoknya yang saya sebut mirip penampilan sangar pemusik cadas favorit saya, Ritchie Blackmore dari Deep Purple, tetapi isi-isi blognya itu tak kalah dalam dan indah dibandingkan isi khotbah para kyai-kyai muda di layar-layar televisi.

Dalam kesempatan obrolan melalui email, Harris bercita-cita menyutradarai film komedi. Malah judulnya pun telah ia tentukan. Momon, panggilan akrab dia, bahkan ingin melibatkan saya. Saya sih makmum saja, kataku. Tetapi karena dia adalah seorang pekerja televisi, yang terus berlari dan mencipta setiap hari, obrolan tentang proyek film itu menguap perlahan-lahan. Kami pun juga jarang bertegur sapa.

Tiba-tiba, Momon pada tanggal 10/2/2010, muncul kembali di blog komedi saya tersebut. “Piye kabar bang...salut sampeyan masih konsisten di sini...beberapa tulisanmu menjadi masukan buat aku,” begitu tulisnya.

Terima kasih, Momon. Syukurlah bila blog itu mampu memberi manfaat. Langsung Momon saya todong untuk sudi menulis endorsement untuk buku Komedikus Erektus saya. Ia pun telah memenuhi permintaan saya tersebut.

Bahkan saya memperoleh bonus. Nanti pada tanggal 2-4 April 2010, Momon meminta saya untuk bisa ketemuan di Yogya. “Tak ada topik, mBang. Kita ngerumpi saja,” jawab Momon melalui SMS.

Saya berharap bisa kembali ke Yogya. Kini bukan sebagai kontestan, tetapi sebagai rekan dan sahabat. Tak ada beban, tak ada stres, dan tak ada tuntutan untuk “berteriak-teriak” pula.

Kilas balik 2007. Ketika mengobrol dengan Ade Tao sesaat sebelum saya turun panggung, saya berujar : ““Dalam komedi, ada ilmu air dan ilmu madu. Ilmu air adalah teori, seperti yang saya tulis di blog saya, dan ilmu madu adalah milik Anda, praktisi dunia komedi. Saya kesini ingin belajar dari Anda.”

Kalimat yang sama rasanya nanti juga akan saya katakan ke Momon. Sehingga saya bisa berharap akan banyak cerita-cerita yang bisa kita bagi. Saya berjanji untuk menuliskannya. Siapa tahu, cerita-cerita kami itu dapat memberi manfaat guna memacu kemajuan bagi komedi Indonesia, bukan ?


Wonogiri, 12/3/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar