Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Lelucon Bapak. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari humor keluarga.
Karena hari itu ayah saya, Kastanto Hendrowiharso (1928-1082), datang dari Yogya. Sebagai seorang prajurit TNI-AD, ia berdinas di Yogyakarta. Sementara keluarganya tetap tinggal di Wonogiri.
Saat itu, tahun 1966, saya duduk di bangku klas 6 SD Wonogiri III. Ketika lulus memperoleh piagam ketikan yang border-nya $$$$$$$. Piagam itu sebagai tanda “Pemegang kedjuaraan ketjakapan didalam kelasnja.”
Yang menandatangani adalah Pengurus POM, terdiri pimpinan sekolah Siswomihardjo (ayah dari pelukis Godod Sutejo), ketua Hadisoebroto (ayah dari teman saya, Sugeng Sudewo) dan secretaris (tertulis pakai huruf “c”), Samto (saat itu guru kelas 5).
Saya tidak ingat lagi pada momen apa piagam itu saya terima. Hanya berkat ketelatenan ayah saya yang menyimpan dan melaminasinya dengan, plastik walau toh sebagian pinggirnya sudah gripis dimakan rayap, kenangan tentang masa 44 tahun yang lalu itu dapat tertayang. Memang hanya sepotong-sepotong.
Yang pasti, kehadiran ayah setiap Sabtu dan Minggu merupakan hari kegembiraan bagi kami bertuju, anak-anaknya saat itu. Kini anaknya ada sepuluh. Antara lain, Mayor Haristanto, Bhakti Hendroyulianingsih, Broto Happy Wondomisnowo sampai Basnendar Heriprilosadoso yang kreator logo Galeri Nasional di Gambir, Jakarta. Dalam foto di bawah ini, saya paling kiri, diambil tahun 1960. Ke kanan : Budi, Bari dan Mayor bersama Ibu.
Karena absennya figur bapak antara Senin sampai Sabtu, yang orangnya disiplin dan cermat, mungkin justru yang agak memberi “hawa bebas” bagi kami. Guna menyuburkan perilaku sikap-sikap kreatif bagi anak-anaknya. Berhumor, berkartun, melukis, dan menulis. Misalnya, tak ada satu pun anaknya yang mengikuti jejaknya sebagai tentara, sosok yang “tidak kreatif” di mata kami.
Kegembiraan karena kedatangan ayah itu berkesan terutama bagi saya, anak pertama. Karena kami akan memperoleh cerita dan cerita baru yang dibawa beliau dari kota. Juga terkadang dongengan mengantar tidur.
Misalnya dongeng tentang Joko Kusnun.
Pemuda desa itu berkerjanya berjualan layang-layang. Suatu hari, naas, dirinya tertimpa hujan deras. Sehingga barang dagangannya rusak. Karena takut dimarahi ayahnya, ia tidak pulang ke rumah. Ia menggelandang di kota, tidurnya di pohon. Kalau Anda melihat dua pohon di depan gerbang kebon rojo, Taman Sriwedari Solo, saya selalu membayangkan Joko Kusnun memang tidur di sana. Ia ditemukan sang raja ketika hendak bercengkerma di taman raja itu. Ia lalu mengabdi, sebagai punggawa istana.
Cerita lucu dari ayah saya meledak di mata anak-anaknya bila ia melakukan act out, yaitu menirukan beberapa aksi temannya sesama tentara. Misalnya ada tentara yang disebut nyentrik, yang seperti ayah saya setiap Sabtu akan pulang kampung. Ketika disapa, si teman tersebut akan selalu menjawab : “Biasa dik, minggon !”
Suatu saat lain, sang tentara teman ayah saya yang nyentrik itu berseru : Tai asu ! Tai asu !” Rupanya ia menemukan kotoran anjing di halaman asrama tentara. Kami sudah terserap perhatiannya, misalnya, apa yang akan terjadi dengan kotoran anjing tersebut ? Dalam dunia mengkreasi lawakan, itu lajim disebut sebagai sebuah set up, jebakan. Disusul kemudian titik ledak yang mengguncang kejutan, juga tawa, yang biasa diberi label sebagai punchline. Pak tentara nyentrik ternyata lalu bilang :
“ Nggo rabuk !”
Untuk pupuk.
Guna mempersubur tanaman.
Begitulah, ucapan “Biasa dik, minggon !” sampai kisah heboh kotoran anjing itu tetap sering muncul dalam cerita-cerita keluarga kami. Sampai kini.
Mendongeng di kelas Momen lomba melucu antaranak juga terjadi ketika kami bermain remi. Ayah melawan anak-anaknya. Karena merasa memiliki status setara, maka ketika sang ayah kalah permainan, dan harus menjadi pengocok kartu, ejekan pun berhamburan. Kami sering menyebut-nyebut merek minyak obat gosok, yang berkhasiat menyembuhkan rasa capek bapak ketika harus dihukum sebagai pengocok kartu.
Reuni lomba melucu antaranak itu, bahkan sejak tahun 1987 memperoleh arena yang lebih luas. Melibatkan keluarga besar keturunan kakek-nenek dari garis Sukarni (1933-1993), ibu saya, yang bernama Trah Martowirono. Reuni tahun 2009 berlangsung di Benteng Vrederburg, Yogyakarta.
Mungkin karena gojlokan memperoleh cerita dan cerita itu, membuat salah satu pelajaran favorit di sekolah dasar adalah bercerita di depan kelas. Seingat saya, kalau teman-teman lain sering mengulang cerita mengenai kucing kurus melawan kucing gemuk, seingat saya saya pernah bercerita tentang Pemberontakan di Kapal Tujuh, Tenggelamnya Kapal RI RI Matjan Tutul, sampai Hikayat Indera Bangsawan.
Cerita dan dongeng rupanya menyemaikan kegemaran saya terhadap bacaan Buku favorit saya saat itu adalah serial novel Nogososro Sabukinten, karya S.H. Mintardjo. Saya ingat pada jilid pertama, pembukanya berupa kalimat “Awan hitam bergulung-gulung di langit Mataram,” yang kemudian sering saya contek dan saya modifikasi ketika ikut lomba mengarang.
Mungkin Pak Mintardjo terilhami oleh kalimat yang sering disebut-sebut sebagai contoh baris pembuka dalam pelajaran mengarang, yang berbunyi : “It was a dark and stormy night” yang terkenal itu.
Setiap awal bulan, ketika novel tentang Maheso Djenar itu terbit, saya menulis dalam sebuah kertas kecil. Misalnya, “Nogososro Sabukinten, jilid 10.” Lalu kertas itu saya masukkan diam-diam di kantung baju seragam ayah saya. Di hari Minggu sore. Sebelum ia kembali bertugas ke Yogya. Mungkin dari hanya terbiasa menulis judul –judul buku di kertas kecil itu, saya kini menjadi memiliki kegemaran untuk menulis. Hingga mampu menghadirkan buku Komedikus Erektus ini untuk Anda.
Pasalnya, kertas kecil di saku baju tentara ayah saya itu, memang menghadirkan mukjijat. Karena pada hari Sabtu sore minggu depan saya telah memiliki buku baru dan bacaan baru, yang sangat saya idamkan.
Terima kasih, Pak Kastanto. Juga Ibu Kastanto.
Semoga beliau kini tentram dan selalu sejahtera di sisiNya.
Wonogiri, 10 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar