Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
“Negara seringkali merupakan organisasi teroris yang dilegitimasi melalui layar putih,” kata Bambang Haryanto dari lembah Gunung Sewu, tepatnya kota kecil Wonogiri.
Menurutnya dengan regulasi, sensor dan muatan propaganda yang massif, mereka melakukan cuci otak bangsa Indonesia demi tujuan langgengnya kekuasaan rezim teroris bertubuh negara, yaitu pemerintahan Orde Baru.
“Teror itu masih membekas tajam sampai saat ini,” tunjuknya setelah membaca karya Krishna Sen. Lihatlah, katanya, banyak sineas muda kita, yang pada era 1965 belum lahir, kini justru terobsesi membuat film-film bergenre hantu. Dan laku.
Pilihan itu boleh jadi merupakan ungkapan bawah sadar diri mereka dalam upaya menghilangkan hantu-hantu masa lalu, dari era represif, zaman gelap sarat aroma pembunuhan sampai penculikan, yang masih juga menghantui diri-diri mereka.
Film-film berjenis yang disebut Bambang Haryanto itu memang pernah menjadi “momok” yang dilegitimasi sebagai sebuah teror kesadaran akan musuh-musuh Negara semacam sebagaimana termaktub dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984). Film ini tak dielaborasi Krishna Sen, tapi dikutip sambil lalu saja. Padahal inilah film yang paling sering diputar, tak hanya di layar perak tapi juga di layar kacar. Setiap tahun selama puluhan tahun.”
Itulah cuplikan dari artikel berjudul “Pandangan Dewan Pembaca: Teror Negara dalam Sinema” di situs Indonesia Buku. Artikel tersebut merupakan himpunan dari 6-7 komentator setelah membaca buku yang terpilih untuk dibedah secara beramai-ramai, yaitu karya Krishna Sen berjudul Kuasa Dalam Sinema (2007).
Pendapat bahwa negara merupakan sosok teroris di atas, saya peroleh idenya dari seorang Wimar Witoelar. Ketika Indonesia diguncang aksi terorisme, ledakan bom di Bali, 12 Oktober 2002, beberapa hari kemudian saya temukan artikel yang ditulis Wimar Witoelar di surat kabar Inggris, The Guardian (16/10/2002). Dalam tulisan berjudul “Wimar Witoelar’s World, Citizen Journalism dan Epistoholik Indonesia” saya telah mengutipnya, juga menyebutkan :
“Saya hanya mengenalnya melalui media massa. Artikelnya di atas boleh jadi merupakan persinggungan saya untuk yang kesekian kali dengan Wimar Witoelar. Tentu saja persinggungan pasif antara diri saya sebagai seorang konsumen media dengan seorang kolumnis yang banyak tampil di media massa. Bagi saya, tulisan-tulisan Wimar senantiasa menyuarakan hati nurani, walau tidak setiap orang mampu mendengarkan dan memahaminya.”
Setelah tulisan tersebut ia ketahui, sepertinya kemudian ia setengah “memerintahkan” seluruh punggawa InterMatrix, yaitu perusahaan kehumasan miliknya, untuk wajib membaca tulisan dalam blog saya tersebut. Sosoknya serasa makin dekat bagi diri saya, tatkala badai demam blog sedang melanda Indonesia. Tahun 2006.
Dirinya hadir sebagai salah satu kampiun yang memopulerkan jurnalisme warga. Dalam mosaik-mosaik media saat itu, selain Wimar Witoelar, juga berkelebat sosok Budi Putra, dan bahkan pemain biola menawan, Maylaffayza Fitri Wiguna.
Walau tidak sering menggalang kontak, syukurlah, rupanya saya masih memiliki sudut kecil dalam ingatan beliau. Ketika tiba-tiba saya tergerak menulis email untuknya, guna meminta dorongan dan endorsement untuk buku Komedikus Erektus, gayung pun bersambut.
Terima kasih, Bang Wimar.
Tetapi saya masih punya satu rasa penasaran. Saya pernah mengajukan pertanyaan dengan memajang di kotak komentar dalam artikelnya, belum ada jawaban tuntas. Wimar Witoelar yang menulis buku berjudul No Regret, yang merupakan memoar berisi sepak terjang dirinya ketika menjadi juru bicara Presiden Abdurrachman Wahid, belum menjawab rasa ingin tahu saya.
Yaitu, mengapa Gus Dur dan juga dirinya menyukai lagu berjudul “Me and Bobby McGee” dari penyanyi cewek urakan, petualang seks dan bahkan mati muda akibat obat bius, bernama Janis Joplin ?
Wonogiri, 9/3/2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar