Senin, 22 Maret 2010

Google Ora Sare

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Mereka bisa kita temui setiap hari.
A familiar strangers.
Orang-orang asing itu tidak kita kenal, tetapi akrab bagi diri kita.

Saya mengalaminya ketika menjadi commuter, pekerja ulang-alik. Saya tinggal di Bogor tetapi bekerja pada sebuah perusahaan dotcom di Jakarta, tahun 2001. Setiap pagi, kami hampir menaiki bis yang sama. Bahkan hampir nyaris, setiap hari, kami akan menduduki kursi yang sama. Sebuah ritual.

Saya pernah nyerobot kursi saat naik KRL Bogor-Jakarta, ternyata langsung mendapat “hukuman” dari penumpang lain di sekitar saya. Pandangan mereka aneh. Pandangan tak mengenakkan.

Syukurlah, radar saya cukup peka. Saya lalu berdiri, dan kursi itu kemudian diduduki secara “sah” oleh anggota suku komuter dalam satu gerbong yang berangkat bekerja selalu bersama itu, setiap harinya. Ketegangan pun berakhir.

Orang-orang asing yang akrab itu juga saya temui, 1990-1997, di lapangan depan stadion pacuan kuda Pulomas, Jakarta Timur. Di tribunnya, diselingi bunyi ringkik kuda dan teriakan anak-anak bermain sepakbola, di pagi temaram saya menuntaskan bukunya Nicholas Negroponte, Being Digital (1995) yang fenomenal itu. Buku IT yang menanamkan optimisme, yang membuat saya rela menitikkan air mata.

Di depan stadion, benar-benar riuh pada setiap minggu pagi. Ada kelompok besar bersenam pernafasan, ada kelompok lain yang berjingkrak dengan musik disko. Musik yang berbeda,selang-seling membelai gendang telinga.

Saya tidak masuk keduanya.

Melainkan sebagai ronin, soliter, berjalan kaki mengitari kelompok-kelompok senam itu. Kemudian, tentu saja saya berpapasan atau berjalan bareng dengan banyak wajah. Yang saya temui minggu lalu, minggu sebelumnya dan sebelumnya lagi, tetapi kita tetap saja tidak saling mengenal satu sama lain.

Termasuk sosok grasshopper, kode rekaan untuk menggambarkan sosok perempuan dengan kaki belalang yang menawan. Ia selalu datang sendirian. Menaiki sepeda. Kemudian kadang menghilang, tahu-tahu sudah mingle di antara peserta senam.

Ia selalu memakai topi baseball warna turquoise, biru kehijauan. Kuncir ekor kuda menyeruak lubang bagian belakang topinya. Kami merasa saling mengenal, walau tanpa tahu nama masing-masing. Ada feeling saling menyukai tetapi tidak ketemu cara untuk memulai. Kegoblogan yang nikmat, sekaligus menggelisahkan.

”Beautiful girl,” mungkin demikian seorang Jose Mari Chan akan menyebutnya seperti cerita dalam lirik lagunya yang berjudul sama. Mengenai gadis cantik menawan, berkelebat di depan matanya, yang membuatnya jatuh cinta, dan kemudian ia kuatirkan dirinya menghilang selamanya seperti gita di waktu malam.

I rushed in line only to find,
that you were gone.”

Ia memang menghilang sejak minggu pagi 25 Mei 1997. Sosok a familiar stranger yang spesial itu kemudian tinggal sesekali berenang-renang dalam samudera kenangan.

Anda sebagai media. Di media-media jaringan sosial, seperti Facebook atau Twitter, adakah Anda juga sering memergoki para a familiar strangers itu dalam lingkar pertemanan Anda? Ataukah sirkuit pertemanan Anda hanya berisikan mereka-mereka yang Anda kenal ?

Seorang pesohor dalam bidang IT, Nukman Luthfie, seperti dikutip Femina (23-29/1/2010) berkata, “ketika seseorang hanya benar-benar kenal dengan sedikit dari follower-nya, ia sudah menjelma menjadi media. Artinya, ocehan ‘narsis’ Anda di timeline menjadi sangat powerful.

Andakah sosok yang powerful itu ? Kemudian meminjam kata-kata Peter Parker dalam film Spider Man , bahwa kekuatan yang besar selalu dituntut tanggung jawab yang juga besar, adakah hal itu sudah pula dominan tercermin dalam beragam posting Anda selama ini ?

Camkan pendapat ini. “The net is a postocracy, not a democracy,” tutur Thomas Mandel(almarhum) dan Gerald Van der Leun dalam Rules of The Net : On-Line Operating Instructions for Human Beings (2001). Posting Anda, adalah senjata dahsyat Anda. Sekaligus pula harimau Anda. Anda sempat mengikuti kisah seorang Facebooker baru-baru ini di Bali ? Dirinya, mungkin anak muda, yang tidak peka terhadap kebudayaan setempat, lalu mengomong seenaknya tentang adat setempat. Ia menggunakan media sosial yang dahsyat, tetapi dengan cara yang sangat tidak tepat.

Bagaimana menggunakannya secara tepat ? Ah, come on, sebagai orang dewasa Anda sudah tahu hal itu pula. Kurangi porsi yang egosentris. Minimal hadirkan posting dengan porsi 50-50. Separo menguntungkan Anda, separonya berguna bagi pembaca. Facebook adalah media sosial. Kalau di dalamnya Anda tidak berperilaku sosial, lalu apa kata dunia ?

“Internet akan memberi kepada Anda, tetapi sebagai pembayarannya Anda harus bersedia membalas dengan memberikan kembali kepadanya. Bila Anda memiliki informasi yang berguna bagi orang lain, pajanglah. Apabila seseorang bertanya tentang sesuatu, dan Anda tahu jawabnya, pajanglah pula di Internet,” nasehat lanjut Mandel and Van der Leun. Dengan berkontribusi itu, senyatanya Anda sedang membangun net equity Anda pribadi. Secara elegan terpajanglah keistimewaan Anda, keahlian Anda sampai reputasi Anda di persada dunia.

Sayangnya, semua hal-hal hebat itu, mengapa justru sering tidak menjadi fokus kita dalam gaul maya di media-media sosial sehari-hari ? Saya langsung ingat ujaran Robert Frost (1874–1963), penyair AS. Ia pernah menulis guyonan bahwa otak adalah organ hebat manusia yang siap bekerja setiap saat, tetapi langsung mati ketika si pemilik tiba di kantornya. Juga saat tiba di sekolah ? Saat menonton tv ? Organ yang sama juga langsung mati ketika kita membuka akun Facebook kita sendiri ?

Itukah kira-kira penyebabnya, mengapa hal-hal hebat dari diri kita seringkali pula tidak terlihat oleh teman-teman dekat dalam lingkar pergaulan kita ? Yang sering tahu justru para orang-orang asing ? Bahkan dalam beberapa kasus yang saya alami, dengan hadir dan berkontribusi di Internet, reward itu seringkali datang dari orang-orang yang sebelumnya benar-benar tidak saya kenal sama sekali.

Contoh kecil : gara-gara blog Komedikus Erektus, Radio BBC Siaran Indonesia pernah mewawancarai saya, yang tinggal di Wonogiri ini, untuk berbincang masalah komedi. Penerbitan blog yang sama, yang hari-hari ini sedang diproses menjadi buku, juga melewati proses ajaib yang sama.


”Gusti Allah ora sare.”

Demikian frasa yang sering dipakai analis politik Sukardi Rinakit dalam tulisan-tulisannya. Tuhan tidak pernah tidur. Juga tidak akan membiarkan kejahatan menang dan keluhuran dikalahkan.

Dalam konteks Internet saya ingin menirunya, sebagai dorongan agar kita mampu memberikan kontribusi bagi bebrayan agung Internet itu. Yakinlah, semua kebaikan Anda memang tidak akan sia-sia.

Google ora sare.


Wonogiri, 23 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar