Selasa, 20 April 2010

Dibalik Lelucon Seks Prof. Sarlito

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


"Cantik-cantik mana, mahasiswi Fakultas Psikologi UI atau Fakultas Sastra UI ?"

Pertanyaan sulit itu diajukan oleh Suprantyo "Yoyok" Jarot. Ia adalah adiknya aktor kawakan Slamet Raharjo Jarot. Juga adik dari seniman/pencipta lagu/aktivis dan politisi Eros Jarot.

Yoyok mengajukannya kepada saya di tengah-tengah syuting film yang dibintangi Frans Tumbuan, di kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun, tahun 1983-an.

Sungguh suatu kejutan bisa ketemu Yoyok di Jakarta ini. Sebelumnya kami ketemu di desa Sawahan Bantul, tahun 1978. Saat itu berlangsung syuting film November 1828-nya Teguh Karya. Ia jadi kru penata artistik, dan saya sekitar 2 minggu ngekos di desa Sawahan semata ingin menonton pembuatan film bersangkutan. Kerennya, ingin belajar sinematografi. Juga banyak ngobrol sama Labbes Widar, dosen film IKJ saat itu.

Tetapi sebelumnya lagi, di tahun 1975, walau saat itu kami belum saling kenal, Yoyok pernah manggung bersama kelompok teater Jakarta di Sasonomulyo, Baluwarti, Solo. Bintangnya antara lain Deddy Mizwar. Dari rombongan Jakarta itu yang saya kenal hanya Sri Husin. Seusai pertunjukan, ditemani pula Victoria Monk, cewek bule yang artistik dan bermata biru asal Australia yang tetangga saya di Baluwarti, Solo, kami mengobrol sampai larut malam.

Pertanyaan Yoyok tadi sulit saya jawab. Sambil nongkrong di kupel Taman Sastra UI , ia saya persilakan cuci mata melihat-lihat kaum "WTS" yang berkeliaran saat itu. Dan saya biarkan ia yang memutuskannya sendiri. Benarkah kaum WTS berkeliaran di kampus UI, pada siang hari ? WTS adalah singkatan dari Wanita Taman Sastra.

Saat itu kalau Yoyok bertanya, lebih lucuan mana dosen Fakultas Sastra atau dosen Fakultas Psikologi, saya mungkin agak sok tahu jawabnya. Saya akan menjawab : dosen Fakultas Psikologi. Namanya : Prof. Sarlito Wirawan Sarwono. Kadang-kadang di sms atau email, saya memanggil dengan sebutan Prof atau julukan populernya yang mencitrakan semangat tetap awet muda : Mas Ito.

mandom resolution award 2004,bambang haryanto,sarlito wirawan sarwono

Kenangan 2004. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (paling kanan) di Hotel Borobudur, Jakarta (2004) bersama 10 Pemenang Mandom Resolution Award 2004. Beliau sebagai ketua juri, didampingi Maria Hartiningsih (wartawan senior Kompas) dan artis/psikolog Tika Bisono.

Para pemenangnya adalah : Hariyadi (Yogyakarta, nomor 3 dari kiri), Dian Safitri (Jakarta), Bagyo Anggono (Wonogiri), Hisyam Zamroni (Karimunjawa), Dr. Slamet Sudarmadji (Yogyakarta), Deny Wibisono (Blitar), Ilham Prayudi (Jakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri), Soleman Betawai (Jakarta) dan Tarjum Samad (Subang).

Saya saat itu mencita-citakan resolusi meluncurkan 100 blog untuk komunitas epistoholik, kaum pencandu penulisan surat-surat pembaca di Indonesia.

Humor seks. Walau kampus kami jaraknya hanya sepelemparan batu ("kalau melemparnya melenceng bisa mengenai genting gedung FISIP, FH, IKIP Jakarta atau Pusat Bahasa"), saat itu jelas Mas Ito tak mengenal saya. Saya yang mengenal beliau, karena beliau sering menulis di koran-koran, dengan topik hot saat itu. Pendidikan seks. Ia memang dikenal luas sebagai guru besar yang ahli main sex. Maksud saya, ahli main sax. Saxophone.

"Kalau organ seks pria, penampilannya lebih sederhana," begitu tutur Mas Ito. Terdengar seisi aula FSUI tergelak. Bergemuruh. Potongan menggelitik dari ceramah pendidikan seks itu hanya saya dengar melalui kaset, yang saya temukan di Lab Bahasa FSUI.

Saat itu saya sebagai asisten dosen JIP-FSUI melakukan rekaman suara untuk pembuatan program pandang-dengar berupa sound slide untuk promosi perpustakaan. Saya yang menulis skrip, juga pengisi suara, dibantu mahasiswi Sastra Indonesia yang pernah menjadi penyiar radio, Mien Lindim Pongoh. Teman cantiknya, Gustinia Farida, di mana saat itu saya bersama Hartadi Wibowo menjulukinya sebagai "Lady Diana," yang sayang, konon kabarnya ("info dari mBak Yayi") pindah ke Australia.

Ditilik dari kacamata kajian humor, tuturan ilmiah dari Prof. Sarlito itu sebenarnya "tidak bergerigi" dan "tidak menjurus" untuk mengundang tawa. Tetapi mengapa justru mampu mengundang ledakan tawa ?

Gene Perret dalam bukunya Comedy Writing Step-By-Step : How to Write and Sell Your Sense of Humor (1982), menulis bahwa sense of humor itu menyangkut tiga keterampilan. Pertama, to see things as they are, melihat sesuatu apa adanya. Kedua, to recognize things as they are, memahami/mengerti sesuatu apa adanya. Dan ketiga, to accept things as they are, menerima sesuatu apa adanya.

Ujaran Mas Ito tentang konfigurasi organ seks pria di depan mahasiswa- mahasiswi FSUI tadi mencocoki ketiga rumusan Perret tentang sense of humor tersebut. Harap Anda catat bahwa saat itu Mas Ito sedang tidak melucu.

Beliau yang pernah berkuliah di Universitas Edinburgh, Skotlandia, hingga saya curiga berat kegemaran Mas Ito melawak itu gara-gara ketemplokan virus pelawak-pelawak dalam acara tahunan Festival Lawak Antarbangsa di Edinburgh yang terkenal itu, semata-mata mengemukakan suatu realitas. Tetapi karena realitas tersebut dilihat, difahami dan diterima oleh banyak orang, mereka pun serempak meledak dalam tawa.

Prof. Liek Wilardjo dalam artikelnya berjudul "Logika Samin" (Kompas, 20/3/2010 : hal.7) juga mengamini rumusan di atas. Beliau mengambil contoh logika orang Samin yang menurutnya harafiah, denotatif dan apa adanya. Beliau memberi ilustrasi tentang sekelompok orang Samin yang protes kepada pemilik toko yang menimbun pupuk. Tetapi juragan itu ingkar.

Kelompok orang Samin tersebut kemudian ramai-ramai membongkar gudang milik sang juragan. Mengambil pupuk-pupuk yang ada, sambil mereka tidak merasa bersalah. Logika denotatif mereka, sambil merujuk kilah sang juragan yang mengaku tidak menimbun pupuk membuat orang Samin berkesimpulan bahwa pupuk-pupuk di gudang tadi memang bukan milik sang juragan tamak tersebut. Mereka pun lalu bebas mengambilnya.

Sayangnya, fondamen lawakan tersebut belum banyak difahami oleh banyak pelawak-pelawak kita. Lelucon mereka tentang hantu-hantuan, banci-bancian sampai gubrak-gubrakan yang cenderung merendahkan kecerdasan, sekaligus makin menjauh dari premis-premis kebenaran.

Hal konyol itu merupakan bukti ketidakmampuan mereka membuat lawakan yang mampu memiliki kaitan dengan apa yang dilihat, difahami dan diterima oleh banyak orang, atau penonton. Karena lelucon mereka yang semacam itu semata perwujudan sifat egosentris, yang sebenarnya hanya lucu bagi dirinya sendiri belaka.

Dihibur Orang Mati dan Stres. Harian Jawapos (11/4/2010) ketika menulis laporan tentang acara lawak Opera Van Java, menunjukkan bukti menarik. Sebetulnya menyedihkan. Koran itu telah mengutip Bremoro Kunto, asisten produser OVJ, yang mengatakan bahwa para pelaku utama acara itu dengan penilaian : "Kalau saya bilang, mereka bukan kategori orang lucu lagi, melainkan orang stres."

Kalau dalam film-film Indonesia mutakhir yang ramai dengan genre hantu dan pocong, sehingga Ketua LSF Mukhlis PaEni di Kompas (28/3/2010) menyatakan hal itu sebagai "kekonyolan budaya kita karena orang yang hidup sudah tidak bisa memberikan hiburan sehingga hiburan itu diserahkan kepada hantu-hantu," maka dalam komedi hiburan itu kini diserahkan kepada orang-orang yang stres.

Tayangan Piala Duniatawa TPI yang akan meluncur 2 Mei 2010, saya duga kuat ("sori, Momon") hanya akan menambah panjang daftar tayangan lawakan di televisi kita yang semata bermodalkan komedian-komedian yang stres pula.

Staf ahli Mendagri. Lawakan-lawakan stres itu kini kita kuatirkan semakin menular. Memengaruhi psike masyarakat Indonesia dalam pelbagai faset kehidupan. Aksi tindak kekerasan yang meruyak di negeri ini, boleh jadi, juga ikut dipengaruhi oleh tayangan komedi-komedi yang tidak mengajarkan keluhuran itu.

Bisakah insan-insan komedi Indonesia diajak kembali ke khittah, bahwa nilai melawak yang luhur akan muncul bila kita berani menertawai diri sendiri ? Bukan menertawai hantu, kaum banci atau pocongan. Sehingga dengan sikap jujur dan rendah hati itu mungkin mereka akan lebih mudah tergerak menyetrum diri dengan energi-energi kreatif baru yang bukan berlandaskan kekonyolan demi kekonyolan.

Mungkinkah Prof. Sarlito memiliki saran dan kritik sebagai solusi atas dekadensi tayangan komedi Indonesia dewasa ini ? Tentu saja, beliau pasti punya. Dan dipastikan manjur. Tetapi sayang, nampaknya pemangku kepentingan dunia komedi Indonesia tidak memiliki kepekaan sampai kesadaran diri betapa arah langkah mereka kini sudah memasuki ranah kekonyolan dan kebodohan yang luar biasa.

Semoga suatu saat Mas Ito akan ikut memberikan saran. Tetapi saya tak akan memintanya untuk saat ini. Mungkin nanti sesudah permohonan saya agar beliau sudi menulis endorsement untuk buku saya, Komedikus Erektus, paripurna beliau penuhi. Kini penerbit saya berusaha segera mengirimkan dummy buku tersebut kepada beliau. Hari-hari mendatang saya akan rada merasa deg-degan menunggu, karena buru-buru ingin meresapi apa saja yang hendak Mas Ito nanti tuliskan.

Tetapi saya tidak kuatir. Karena, mungkin ia termasuk dalam mazhab psikologi kebahagiaan dengan pentolan Martin Seligman dari Universitas Pennsylvania (AS), maka masukannya senantiasa mencerahkan dan menumbuhkan optimisme. Itu terbukti dalam email terakhir beliau, saat kami mengobrolkan pola kepemimpinan Joko Widodo sebagai walikota Solo yang melakukan pendekatan secara menang-menang, win-win, dalam mengatasi masalah kemasyarakatan di Solo.

Bandingkan dengan pendekatan model gubrak-gubrak atau lose-win dan lose-lose yang meledak dalam aksi tindak kekerasan aparat sehingga jatuh korban tewas dan luka-luka di Tanjung Priuk, Jakarta Utara, baru-baru ini.

Merujuk prestasi walikota Solo itu, beliau rada menyayangkan mengapa Joko Widodo hari ini "hanya" sebagai walikota saja. Kemudian terkait cerita saya bahwa di tahun 1998 saya bersama Mayor Haristanto mendirikan Forum Bisnis Solo/Forbis dan mengadakan seminar dengan mengundang Dr. Sri Mulyani Indrawati, sementara Joko Widodo sebagai sponsor acara, Mas Ito mencita-citakan Joko Widodo sebagai Menteri Dalam Negeri.

Lalu imbuhnya, "Bambang Haryanto kemudian sebagai staf ahlinya."

Memperoleh endorsement seorang maha guru ternama dari Universitas Indonesia itu, langsung saja, impian saya tiba-tiba melambung warna-warni. Terbius keinginan menjadi staf ahli Menteri Dalam Negeri. Tetapi, lupakanlah, karena pada akhir email Mas Ito itu masih ada tambahannya : "ha-ha-ha-ha."


Wonogiri, 20 April 2010

UP-DATE : 24 April 2010 : Artikel ini juga saya pajang di Facebook. Berikut di bawah ini terdapat beberapa komentar dan sambutan dari teman-teman saya, dan juga tanggapan saya terhadap isi komentar mereka. Semoga makin memperkaya obrolan yang ada. Terima kasih.


Hartadi Wibowo : "Ketika dulu saya (pernah) 4 tahun nongkrong di FSUI, saya merasa (dan tentu saja mata saya melihat ), mahasiswi Fak. Psikologi UI lebih cantik-cantik dibanding mahasiswi Sastra. Mungkin karena yang di Sastra sudah sering lihat, sedangkan yang di Psikologi jarang ketemu. Atau berlaku hukum "rumput tetangga lebih hijau" ? Bagaimana Oom BH ?"

Sunu Wasono : Mas, ditunggu lho buku tentang humor itu. Kabari kalau sudah terbit. Omong-omong soal humor, saya jadi teringat pelawak Bagyo. Dia bilang bahwa humor itu serius. Benar kiranya diperlukan kecerdasan untuk menampilkan humor. Moga-moga segera muncul humoris-humoris yang mau dan mampu mentertawakan diri sehingga setiap hari kita tidak disuguhi adegan orang stres melulu. Makasih Mas. Tulisan njenengan memberikan pencerahan.

Bambang Haryanto : @ Hartadi Wibowo : Thanks, Ted. Kayaknya kau sudah menjawab pertanyaanmu itu. Aku setuju bila sindrom rumput di seberang pagar, yang tak hanya rumput hijau tetapi juga rumput hitam, juga sering memengaruhi kita. C’est la vie. Itulah kehidupan

Bambang Haryanto : @Sunu Wasono : Thanks, Mas Sunu. Bila kelar, Anda akan segera memperoleh kabar. Tentang kajian humor secara serius, Sastra Indonesia UI apa tidak ada minat ya ? Suara dari FSUI yang ada dalam kliping saya adalah pendapat (kolega Anda ?), I. Yoedhi Soenarto, tentang Ketoprak Humor di Gatra, Desember 2001 yang lama lewat.

Literatur serius tentang humor justru pertama kali saya pergoki di perpustakaannya mBak Yayi/FSUI, tahun 1982-an. Pada bukunya Arthur Koestler, The Act of Creation (1964). Ia yang idolanya Sting dari The Police itu bilang, bahwa kebudayaan terbagi tiga ranah : agama, ilmu pengetahuan dan humor.

Sayang, saya tak sempat menfotokopi bab tentang humor dari buku ini, yang antara lain bilang : bila komedian terampil mengolah gagasan ia akan mampu mendekati peran sebagai seorang pemikir atau filsuf, tetapi bila terampil mengolah bahasa, maka komedian bersangkutan mampu hadir sebagai seorang penyair. Ini saya kutip dari almarhum George Carlin, komedian solo legendaris AS, tentang bukunya Koestler itu. Salam.


Harris Cinnamon : “....hanya akan menambah panjang daftar tayangan lawakan di televisi kita yang semata bermodalkan komedian-komedian yang stres pula....”

Sangat benar itu, mBang. tapi alhamdulillahnya, kita tim "penggodoknya" yang ada di balik layar, sesungguhnya sangat tidak ingin hal itu terjadi, sampai detik ini, kita sangat berharap bahwa yang akan kita tampilkan sevisi dengan kita. tapi kalau kenyataannya nanti melenceng, walahualam, berarti: kita tetap akan terus belajar, tapi nggak nemu ilmu kanuragarannya humor (kalo gitu) ha ha...tq

Hari Juniar : Seorang teman bertanya kpd saya, mengapa di pantai itu udaranya panas sekali dibandingkan udara di pegunungan yang sejuk... saya hanya menjawab ringan... Tuhan menciptakan pantai dengan udaranya yg panas, penuh sinar matahari, penuh kegembiraan dan keceriaan.. karena Tuhan menciptakan 'BIKINI'.....
Ugh.. alih2 mo melawak.. teman saya men'cap' saya..sebagai melawan 'Tuhan'.. SARA.. dan predikat2 lain yg menenmpatkan saya sebagai orang yg melecehkan' Tuhan'.. finally saya harus jelaskan panjang lebar dimana letak lucunya... dan dia tetap ga tertawa... ha3...

Mungkin itu yg menyebabkan 'lawakan komedian stress' yg 'laku'.. pemirsa nya males mikir.... dan menurut mas BH kan lawakan itu menjadi ngga lucu lagi ketika sebuah 'punch' yg diharapkan langsung meledakkan tawa, tetapi pemirsa nya 'bengong-bengong'... dan komediannya jadi salah tingkah karena punch nya ngga bikin 'gerrr' dan akhirnya dia harus menjelaskan punch nya panjang lebar dan... pemirsanya tetap tidak tertawa... ha3... tetap semangat mas.. smoga selalu bisa berbagi pemikiran... amiin

Bambang Haryanto : @ Harris Cinnamon. Thanks untuk komentarmu. Komedi itu ibarat gedung dengan “lawang sewu,” di mana setiap orang bisa memasukinya dari pintu yang mana saja. Mungkin kau dan kawan-kawan di TPI dalam menggarap Piala Duniatawa masuk dari pintu 600, dan saya dari pintu 346, teman lain dari pintu 875, semuanya sah-sah saja.

Tetapi menurutku tetap harus ada satu pegangan, meminjam kata Gene Perret : “All comedy must be relevant” dan “The best humor is based on truth.” Dalam pemahaman saya, ya kira-kira begitu itulah inti ilmu kanuragan dalam komedi. Artinya, di dalam tayangan komedi itu kita bisa melihat diri-diri kita di sana dan ketika komedi itu semakin mendekati kasunyatan, kebenaran, realitas, atau kejujuran, akan semakin berpeluang jenaka pula sajian komedi bersangkutan. Sukses selalu.


Bambang Haryanto : @ Hari Juniar : komedian itu, menurutku, harus rendah hati. Kalau sesuatu lelucon tidak meledak [bombed], cepat-cepat ganti yang lain, dan jangan sesekali menyalahkan audiens. Kata Mas Jaya Suprana, sesuatu lelucon akan mendapat sambutan memadai [killing], bila antara komedian dan audiens berada dalam “satu gelombang” yang sama. Repotnya, meraba “gelombang” merupakan skill tersendiri, sehingga komedian top di manca negara perlu survei detil dulu tentang calon audiensnya sebelum ia tampil.

Tetapi tetap ada resep dan solusi manjur untuk itu : carilah KEKURANGAN yang menonjol yang ada pada dirimu sendiri, lalu jadikanlah kekurangan itu sebagai bahan lawakan ! Ingat kata wasiat ibu mentor komedian, Judy Carter, tentang misi luhur komedian dalam peradaban :

“Kita para jenakawan sejati itu makhluk yang bener-bener aneh. Kalau sebagian besar orang berusaha sekuat mungkin menyembunyikan cacat dan celanya, tetapi kita para jenakawan sejati sengaja mempertontonkan semua cacat dan cela kita itu ke muka dunia !”

[PS: beranikah para pemuka agama, birokrat dan politisi melakukan hal yang sama ?].

Harris Cinnamon : "Insya Allah, Bang, karena sesungguhnya itulah yang ingin kita tetapkan, kita ingin mendakati realnya. Terima kasih atas segala masukannya, yang sulit tergantikan dengan apapun."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar