Selasa, 04 Mei 2010

Ira Lathief, Lelucon iPad dan Piala DuniaTawa

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Komedian itu mirip wartawan.
Sama-sama suka kabar buruk.

Tentang wartawan, saya akan mengutip isi blog kawan maya saya, Ira Lathief (foto). Ia telah menghasilkan buku-buku menarik.

Antara lain : Tukul Arwana : Kumis Lele Rezeki Arwana (Biografi, 2007), Kumpulan Rayuan Gombal (2007), Tebak-Tebakan Gokil Abiz Plus Humor Buat Gaul (2008), Kumpulan Rayuan Super Gombal (2009), Tebak-Tebakan & SMS Kocak (2009) dan Kumpulan Status Facebook Paling Seru (2009).

Ira yang memiliki blog dengan slogan “think globally, laugh locally” telah pula berkenan menulis endorsement yang inspiratif dan insinuatif untuk buku saya, Komedikus Erektus, yang kini dalam perampungan akhir oleh Faried Wijdan dan kawan-kawan di Etera Imania dan menunggu diluncurkan.

Ketika Ira Lathief menulis pengalamannya sebagai relawan di Aceh pasca-tsunami, ia sempat menyentil tentang membeludaknya kabar buruk tentang negeri ini yang mampir di benaknya dan atmosfir tempat dia bekerja. Ira menulis :

“Belakangan kayaknya kita ‘dibombardir’ rentetan berita buruk dari berbagai media massa. Ditambah lagi ….. orang “berlomba-lomba” mengkritik dan saling menyalahkan. ABCDEF. Aduh Booo…..Cape Deyyyy…Eikee Fusyiing!!! Koq…..seakan-akan bangsa ini gak berenti2 dirundung kemalangan :( TANYA KENAPA???

Berita buruk dan segala macam kritik adalah ‘makanan’ aku sehari-hari. Di lingkungan dunia pemberitaan yang bergelut dengan rating, tempatku mengais-ngais intan dan berlian, aku udah "kenyang" dikondisikan untuk mencari segala kekurangan dan kelemahan dari sebuah peristiwa atau juga orang lain. Well…bad news is always a good news, what can I say!

I love my job, I love what I’m doing. Tapi, sebenernya lingkungan seperti ini sangat memungkinkan aku untuk menjadi pribadi yang juga "negatif", kalo saja aku gak bisa ‘menyiasatinya.’ Untungnya, aku masih ‘diselamatkan’ oleh orang-orang luar biasa, yang selalu ‘menyadarkan,’ bahwa bertindak dan berbuat sesuatu adalah jauh lebih berarti daripada sekedar mengkritik.”

Ira yang beruntung. Beruntung pula mereka yang mau menjalani nasehat Andrew Weil, M.D. Ia ibarat sosok “nabi” dalam kancah pengobatan alternatif dunia, walau sebenarnya ia lulusan fakultas kedokteran Universitas Harvard. Dalam wawancara dengan majalah Housekeeping beberapa waktu lalu, di mana saya lupa mencatat nomor edisinya, tetapi saya fotokopi dari Perpustakaan LIA Jakarta Timur, 14 Januari 1998, ia mengajukan hal yang menarik dan kontroversial.

Sambil merujuk isi buku Weil terbaru yang laris, berjudul 8 Weeks to Optimum Health, Bonnie Rubin, si pewawancara, mengutarakan bahwa Andrew Weil menganjurkan agar orang puasa berita. Yaitu absen dari membaca media cetak, tidak mendengarkan radio dan absen nonton televisi, sebagai cara memperoleh ketenangan yang lebih optimal. “Tetapi bukankah terlibat secara aktif dengan keadaan yang terjadi di dunia merupakan nilai plus ?,” tanya Bonnie Rubin.

“Saya tidak menuntut agar orang menjadi buta informasi, tetapi kita harus melakukan pilihan terhadap asupan berita-berita itu,” jawabnya. “Mendengarkan berita dapat menjadi sumber agitasi atau gejolak mental yang tidak kita sadari. Terutama dengan membanjirnya cerita-cerita duka nestapa yang memicu perasaan marah, tidak berdaya dan keberingasan, di mana semua itu menjadi latar belakang kegaduhan bagi hidup kita, baik ketika kita sedang makan atau menyopir, sementara kita tidak memperhatikan dampak semua itu bagi kondisi mental kita.”

Betul juga. Mudah kita bayangkan apa yang terjadi bila tiap hari mental kita dihajar dengan asupan-asupan informasi semacam itu. Mungkin dampaknya berupa siklus tanpa henti : kekerasan, berita kekerasan, kekerasan yang lebih ganas lagi, berita kekerasan yang lebih mencekam lagi, dan seterusnya. Dan seterusnya lagi.

Bahan olok-olok. Lalu bagaimana kaitan antara kabar buruk dengan komedian ? Kabar buruk itu, utamanya yang menyangkut tokoh terkenal, baik artis, pebisnis, politisi atau birokrat yang korup, yang melakukan deviasi, senantiasa menjadi bahan santapan lezat para komedian untuk dijadikan bahan tertawaan secara bersama-sama.

Komedian terkenal Jon Stewart, menjelang tampil sebagai host penganugerahan Oscar di tahun 2006, mengatakan bahwa dirinya telah bersyukur kepada Tuhan. Pengarang buku humor politik laris America (The Book): A Citizen's Guide to Democracy Inaction itu merujuk munculnya peristiwa tragis yang tiba-tiba.

Ibarat ia dapat durian runtuh, karena melibatkan nama besar. Wakil Presiden Dick Cheney ketika itu berburu burung puyuh bersama rekan-rekannya. Lalu secara tidak sengaja justru menembak kawannya sendiri, pengacara sohor Harry Whittington. Jon Stewart melucukannya :

“Wapres AS Dick Cheney secara tidak sengaja menembak seseorang ketika berburu burung puyuh...membuat Harry Whittington sebagai orang pertama ditembak wakil presiden AS sejak Alexander Hamilton. Hamilton terlibat tembak-menembak dengan Aaron Burr demi mempertahankan kehormatan, integritas dan manuver politik. Whittington ? Tertembak karena dikira seekor burung !”

Lelucon Stewart yang satu ini menarik. Terutama karena peristiwa duel antara Alexander Hamilton (1755-1804) melawan Aaron Burr (1756-1836) itu sudah terjadi lebih dari 200 tahun yang lalu. Tetapi mengapa peristiwa tersebut masih hidup dalam ingatan bangsa Amerika ? Bahkan masih juga relevan menjadi bahan guyonan masa kini. Karena mereka memiliki fondamen budaya literasi, budaya baca dan tulis, yang telah kokoh.

Hikmahnya, bagi saya, barangkali itulah salah satu mukjijat humor. Sebagai media untuk melestarikan nurani bangsa agar tidak terkena amnesia sejarah. Sayangnya, nampaknya tidak banyak pemangku kepentingan dunia humor kita yang mampu merenung, lalu berusaha melahirkan, mengembangkan dan menanamkan keluhuran humor semacam ini sebagai penjaga moral kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini.

Kita lebih sering seperti keledai, lupa dan lupa lagi, sehingga terantuk pada lubang yang sama lagi. Apalagi terhadap dinamika politik yang terjadi. Ingatan bangsa ini memang pendek, sentil sobat saya Effendi Gazali. Akibatnya, seperti kata filsuf George Santayana (1863–1952), “mereka yang tidak mampu mengingat masa lampau akan dikutuk untuk mengulanginya kembali.”

Sebagai pelaku aktif gejolak peradaban, komedian memang harus memiliki antena atau radar yang super peka terhadap gejolak masyarakat. Bekerjanya 24 jam per hari dan 7 hari seminggu pula. Karena hanya dengan metode ini pula leluconnya berpeluang memicu gelak, karena mampu seirama dengan detak jantung dan nurani audiensnya.

Sekadar contoh, adalah ulah komedian favorit saya Andy Borowitz. Di tengah heboh peluncuran gadget fenomenal karya Apple Corporations, yaitu iPad, pada tanggal 3 April 2010 yang lalu, ia pun mengiris dengan lelucon bergizi tinggi.


Katanya, sabak cerdas iPad itu diramalkan akan menjadi satu-satunya pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang bukan berwujud manusia. Seloroh tingkat tinggi dalam balutan idea-driven jokes dari lulusan magna cum laude Universitas Harvard (1980) ini sungguh mematikan. Katanya, “iPad yang baru diluncurkan 24 jam saja itu sudah dikabarkan mampu sebagai solusi untuk menyelamatkan industri surat kabar, industri penerbitan, dan bahkan menyelamatkan perkawinan Tiger Woods yang terancam berantakan.”

Komedi ular. Selain peka dan cerdas membingkai berita-berita hip yang hadir meledak-ledak, para komedian utamanya harus pula sensitif terhadap suasana hati rakyat yang sering menggumpal tetapi tidak serta merta muncul ke permukaan. Ketajaman dalam mengolah isu-isu yang menggumpal di benak rakyat itu, lalu menyuarakannya ketika banyak orang lain tidak berani, itulah yang membuat komedian sering disebut, meminjam istilah Jay Sankey (1998), sebagai sosok filsuf yang blak-blakan.

Sisanya, kepekaan komedian dalam menggarap sesuatu isu, sebenarnya juga dapat direncanakan sejak dini. Karena selain isu yang tiba-tiba hadir dan meledak, di kalangan masyarakat senantiasa juga dibeliti oleh isu-isu laten yang setiap rentang waktu akan hadir, atau muncul kembali, secara periodik. Saat hari raya, tahun baru, saat ujian nasional, penerimaan mahasiswa baru, saat tenggat membayar pajak, sampai saat musim kering atau musim hujan misalnya, semua gejolak dan atmosfirnya berpeluang dijadikan bahan lawakan.

Merujuk hal itu, di negara-negara yang industri humornya sudah mapan telah terdapat lembaga kajian lawakan dengan luaran jasa yang unik. Mereka setiap awal bulan selalu menerbitkan “ramalan cuaca humor” sebagai pemandu penciptaan lawakan sehingga isi atau pesannya mampu mencocoki suasana hati masyarakat ketika lawakan tersebut dipanggungkan.

Lembaga peramal cuaca humor semacam itu belum ada di Indonesia. Mungkin itu sebabnya, mengapa pemanggungan perdana acara humor Piala Duniatawa di stasiun televisi swasta TPI, tanggal 2 Mei 2010 yang lalu, memancing tanda tanya. Karena acara yang menurut direktur kreatifnya, yang juga sahabat saya, Harris Cinnamon, digagas mengambil momentum penyelenggaraan kejuaraan akbar sepakbola sejagat, Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, kok tiba-tiba justru tampil dengan kostum, dekor dan suasana berbau Cina.

Padahal, kita tahu, hari raya Imlek sudah lama berlalu. Apalagi dalam tayangan acara itu juga tak ada sentuhan terkait pertandingan sepak bola. Bahkan walau terbalut dekor dan kostum bernuansa Cina yang mewah dan mahal, saya telah menulis sentilan di wall-nya Harris Cinnamon antara lain berbunyi :

“Menurutku, sayang banget, totalitas sajian malam itu nampak tidak dirancang untuk mengeksploitasi kosmologi Cina secara komprehensif. Misalnya dimulai dari ajaran filsafat Cina yang luhur dan kaya, sampai sajian lelucon-lelucon khas Cina yang elegan, tanpa harus terjebak pendekatan berbau rasis atau stereotip yang dangkal.

Kostum dan dekor yang nampak mewah itu bagiku malah seperti membelenggu,memperkerdil para pelaku, juga karena tidak ada unsur-unsur yang dapat diolah secara cerdas sebagai sajian humor visual yang khas Cina pula.

Usul : kalau bisa, intro atau narasi ‘dalang’ oleh Oki dkk jangan sampai berkepanjangan. Mereka harus dibuatkan set (naskah lawakan) yang bernas dan terukur, muncul di saat tepat, membawakan 2-3 lelucon, lalu mundur lagi ke belakang. Jangan mereka dibiarkan ‘liar’ karena, maaf, stok lelucon yang ada di kepala dia nampak sangat-sangat terbatas.”

Pemilihan tema sampai setting dari Piala Duniatawa malam itu, menurut saya meleset terkait atmosfir yang hidup pada benak masyarakat. Ini jelas merupakan kabar buruk. Yang kemudian memicu lahirnya tulisan ini.

Tentu saja, bukan diniatkan sebagai ejekan atau aksi penistaan. Tetapi diajukan dengan harapan semoga mampu menjadi bahan diskusi, syukur-syukur menjadi bahan perenungan di sana-sini.

Komedi Indonesia harus bergerak seperti ular. Ia tak mampu bergerak maju bila berada di permukaan yang licin. Ia akan bergerak bila berada di permukaan yang kasar. Dalam konteks niatan memajukan dunia komedi kita, permukaan yang kasar itu bukan pujian, melainkan kritik.

Sayangnya, kritik seringkali didaulat oleh masyarakat kita sebagai bentuk perlawanan, bukan sebagai suatu bentuk kemitraan. Kita belum mampu menerima kritik secara elegan. Tak ayal, meniru teknik lawakan call back yang terkenal itu, bangsa yang tidak menghargai kritik berpeluang besar dikutuk untuk mengulangi kembali segala kesalahan dan kejahatannya sendiri di masa lampu.

Kabar buruk lagi.
Apakah kita akan menerimanya dengan senang hati ?

Wonogiri, 4-5/5/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar