Selasa, 23 Maret 2010

Robin Williams, Hiperteks dan Komedi

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Ingin belajar mendalami komedi ?
Merintis karier sebagai komedian ?

Belajarlah dari Internet. Memang nasehat klise. Karena di Internet Anda akan mudah menemukan berton-ton bahan lelucon yang siap Anda ceritakan di muka audiens. Tetapi harus Anda ingat, semua bahan itu tidak autentik dengan diri Anda. Bukan pula curahan hati terdalam Anda.

Kalau Anda sekadar pokoknya ingin tampil, selucu mungkin, dan bisa mengundang tawa, bahan-bahan itu semoga dapat menolong Anda.

Seorang Steve Silberberg, pengelola newsgroup komedi di alt.comedy.standup, mempunyai pendapat khas untuk para komedian di atas. Katanya, “If they bought/stole/used someone else's material, they'd be no more than a talking monkey on stage regurgitating other people's thoughts.” Bila mereka membeli/mencuri/menggunakan materi lawakan karya orang lain, maka mereka itu tidak ubahnya sosok kera yang mampu bicara, yang tampil di panggung, sekadar muntah-muntah mengeluarkan karya buah pikir orang lain.

Internet juga menyediakan materi melimpah ruah bagi mereka yang tidak ingin hanya menjadi “monyet” dalam cerita Steve Silberberg di atas. Sekitar 2-3 tahun ini saya mengikuti kursus komedi, dengan setiap minggu harus mengikuti posting-posting terbaru secara serial dari sang guru, John Cantu di Humormall.com. Kini sudah sampai pada materi bertopik marketing what you write, teknik-teknik pemasaran untuk karya-karya kreatif lawakan.

Bagi Anda yang suka komedi dan juga suka memikir-mikir konstruksi bangunan Internet itu sendiri, rumus lawak sebenarnya juga ada di konstruksi Internet pula. Majalah TIME edisi khusus tentang Internet (Mei 1995) telah memajang gambar sampul tentang hal itu. Berupa foto lawang sewu, pintu seribu, tetapi bertumpuk-tumpuk. Membentuk lorong dan labirin.

Itulah gambaran karakteristik hypertext, dokumen di Internet. Bila Anda memasuki sebuah pintu, Anda akan mampu meneruskan ke pintu lain, lainnya lagi dan lainnya lagi. Begitu seterusnya.

Dalam bahasa Internet, fasilitas dalam dokumen elektronik di Internet yang bisa mengarah untuk membuka pintu demi pintu atau akses itu lajim dikenal sebagai hyperlink, tautan. Fasilitas yang mirip fungsinya dalam media berbasis atom, kertas, bisa kita temukan berwujud catatan kaki atau daftar pustaka. Tetapi dalam kecepatan akses [“elektron mampu mengelilingi dunia 11 kali dalam setiap detiknya”], dokumen elektronik jelas jauh lebih unggul. Mutlak.

Tentang hal di atas, Robin Williams, komedian dan aktor pemenang Oscar, punya cerita menarik. Ketika majalah Yahoo Internet Life (2/1997) menanyakan apakah dirinya menggunakan email, jawabannya : “Ya. Email itu mengagumkan. Email membawa kita untuk kembali mengalami seni menulis surat…. Dalam surat kita dapat mengekspresikan diri kita pribadi secara mendalam dan penuh makna. Surat merupakan perpanjangan dari filosofi Anda.”

“Apakah kami yang pertama mengatakan bahwa pikiran Anda bekerja seperti Internet, hyperlinking untuk menuju tempat atau situs yang paling tidak terduga-duga ?,” tanya lanjut David Sheff dari Yahoo Internet Life .

“Itulah realitas diri saya,” jawab Robin Williams. “Itulah pula realitas dunia komedi. Inilah hiperkomedi yang nampaknya persis sama dengan hiperteks. Saya merujuk ke sesuatu hal dan lalu diri saya memuntir, memelintir, mengubahnya untuk menuju ke arah yang baru. Ketika pertama kali saya melihat hiperteks, saya langsung memahaminya. Inilah ujud asosiasi bebas.”

Terima kasih, Robin.

Sayangnya, kedahsyatan dari hyperlink ini sepertinya belum banyak disadari oleh para blogger atau para pengembang isi dalam dunia Internet kita. Bahkan banyak dari mereka yang boleh disebut sebagai para jawara dunia Internet di Indonesia, postingan mereka kebanyakan juga sangat senyap dari kehadiran tautan dan tautan itu pula.

Oleh karenanya, terkait hyperlink dan juga filosofinya, saya pribadi pernah terantuk pengalaman yang membuat saya senyum-senyum. Pengalaman yang pertama, beberapa saat lalu layar televisi kita gencar digerojok iklan tentang sosok tokoh muda yang berambisi menjadi presiden. Saya kemudian mengunjungi situsnya. Saya ingin tahu, apakah strategi Internetnya juga bersemangat muda, berpendekatan mutakhir, atau dengan mindset era dinosaurus.

Ternyata, menurut saya situs itu salah visi dan salah kelola. Lalu saya memberikan komentar, juga menyertakan tautan bahwa saya pernah menulis di harian Kompas (8/4/2004) tentang pemanfaatan Internet sebagai senjata kampanye presiden. hidup.”].

Beberapa hari kemudian, komentar saya tersebut tidak ada bekasnya sama sekali di situs bersangkutan. Saya berpikir, mungkin saya juga dianggap sebagai calon presiden olehnya, sehingga statusnya sebagai saingan yang harus tidak memperoleh tempat nongol di situsnya ?

Kini, peristiwa kedua. Ada seorang penulis buku yang produktif, bahkan hampir setiap bukunya diberi label sebagai buku laris. Ia terakhir menulis tentang buku humor. Data buku itu terpajang pada situsnya. Saya kemudian menulis komentar tentangnya.

Tentu saja, saya memasukkan dulu data nama, email dan URL blog saya. Isi komentar, pertama, saya memberikan apresiasi atas terbitnya buku dia tersebut. Kedua, saya bertanya, apakah saya boleh memintakan endorsement dia bagi calon buku humor saya, Komedikus Erektus. Begitu saya klik, komentar saya muncul di halaman, diimbuhi keterangan bahwa komentar tersebut menunggu dimoderasi.


Beberapa hari kemudian, ketika melihat-lihat situs bersangkutan, ternyata komentar saya tersebut malah hilang sama sekali. Momen yang justru membuat saya senyum-senyum. Saya menduga-duga. Misalnya, admin dari situs itu ngantuk sehingga komentar saya ter-delete secara tak sengaja.

Atau mungkin pengarang bersangkutan kuatir berat, saya ini dianggap sebagai saingan yang berpotensi merebut 1 dari 100.000 pembeli bagi buku larisnya itu ? Atau, ia justru tidak tahu mukjijat dibalik keberadaan sebuah hyperlink, tautan, dalam kehidupan bebrayan agung Internet.

Terhapusnya komentar dan permintaan tadi,membuat saya ingat dua sosok. Wimar Witoelar dan Chris Anderson. Karena pada kejadian beberapa hari sebelumnya, saya telah meminta endorsement dari seorang Wimar Witoelar. Hari itu sudah hampir jam 11 malam. Dalam hitungan menit, saya segera memperoleh jawaban : “Saya akan menulis pada kesempatan pertama.”


Terima kasih, Bang Wimar.
Endorsement dari beliau akan hadir secara bermakna dalam buku saya.

Lalu tentang Chris Anderson ?

Dalam bukunya yang berjudul The Long Tail : Bagaimana Menciptakan Permintaan Tak Terbatas (2006), bersabda : “ Siapa pun yang membaca sesuatu dari Internet namun tidak memperluas wawasan kultural mereka berarti telah menemukan sebuah tempat yang kelewat gersang di dunia blog atau perlu menghadiri kursus penyegaran agar bisa memahami hyperlinks. Karena tak ada apa pun di Web yang memiliki kuasa mutlak, terserah kepada Anda untuk berkonsultasi dengan sumber-sumber yang memadai sehingga Anda dapat membulatkan keputusan Anda sendiri.”

Situs sang calon presiden tadi, juga pengarang buku-buku laris tadi, barangkali memang berambisi ingin hadir sebagai situs dengan kuasa mutlak. Bila benar itu yang mereka arah, bagi saya, inilah materi menarik sebagai bahan lelucon baru. Bukan dari jalur komedi, tetapi dari lorong-lorong tragedi.

Karena cakar otoriter Orde Baru terancam untuk kembali.
Utamanya bila impian calon presiden itu menjadi kenyataan !



Wonogiri, 24/3/2010

Senin, 22 Maret 2010

Google Ora Sare

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Mereka bisa kita temui setiap hari.
A familiar strangers.
Orang-orang asing itu tidak kita kenal, tetapi akrab bagi diri kita.

Saya mengalaminya ketika menjadi commuter, pekerja ulang-alik. Saya tinggal di Bogor tetapi bekerja pada sebuah perusahaan dotcom di Jakarta, tahun 2001. Setiap pagi, kami hampir menaiki bis yang sama. Bahkan hampir nyaris, setiap hari, kami akan menduduki kursi yang sama. Sebuah ritual.

Saya pernah nyerobot kursi saat naik KRL Bogor-Jakarta, ternyata langsung mendapat “hukuman” dari penumpang lain di sekitar saya. Pandangan mereka aneh. Pandangan tak mengenakkan.

Syukurlah, radar saya cukup peka. Saya lalu berdiri, dan kursi itu kemudian diduduki secara “sah” oleh anggota suku komuter dalam satu gerbong yang berangkat bekerja selalu bersama itu, setiap harinya. Ketegangan pun berakhir.

Orang-orang asing yang akrab itu juga saya temui, 1990-1997, di lapangan depan stadion pacuan kuda Pulomas, Jakarta Timur. Di tribunnya, diselingi bunyi ringkik kuda dan teriakan anak-anak bermain sepakbola, di pagi temaram saya menuntaskan bukunya Nicholas Negroponte, Being Digital (1995) yang fenomenal itu. Buku IT yang menanamkan optimisme, yang membuat saya rela menitikkan air mata.

Di depan stadion, benar-benar riuh pada setiap minggu pagi. Ada kelompok besar bersenam pernafasan, ada kelompok lain yang berjingkrak dengan musik disko. Musik yang berbeda,selang-seling membelai gendang telinga.

Saya tidak masuk keduanya.

Melainkan sebagai ronin, soliter, berjalan kaki mengitari kelompok-kelompok senam itu. Kemudian, tentu saja saya berpapasan atau berjalan bareng dengan banyak wajah. Yang saya temui minggu lalu, minggu sebelumnya dan sebelumnya lagi, tetapi kita tetap saja tidak saling mengenal satu sama lain.

Termasuk sosok grasshopper, kode rekaan untuk menggambarkan sosok perempuan dengan kaki belalang yang menawan. Ia selalu datang sendirian. Menaiki sepeda. Kemudian kadang menghilang, tahu-tahu sudah mingle di antara peserta senam.

Ia selalu memakai topi baseball warna turquoise, biru kehijauan. Kuncir ekor kuda menyeruak lubang bagian belakang topinya. Kami merasa saling mengenal, walau tanpa tahu nama masing-masing. Ada feeling saling menyukai tetapi tidak ketemu cara untuk memulai. Kegoblogan yang nikmat, sekaligus menggelisahkan.

”Beautiful girl,” mungkin demikian seorang Jose Mari Chan akan menyebutnya seperti cerita dalam lirik lagunya yang berjudul sama. Mengenai gadis cantik menawan, berkelebat di depan matanya, yang membuatnya jatuh cinta, dan kemudian ia kuatirkan dirinya menghilang selamanya seperti gita di waktu malam.

I rushed in line only to find,
that you were gone.”

Ia memang menghilang sejak minggu pagi 25 Mei 1997. Sosok a familiar stranger yang spesial itu kemudian tinggal sesekali berenang-renang dalam samudera kenangan.

Anda sebagai media. Di media-media jaringan sosial, seperti Facebook atau Twitter, adakah Anda juga sering memergoki para a familiar strangers itu dalam lingkar pertemanan Anda? Ataukah sirkuit pertemanan Anda hanya berisikan mereka-mereka yang Anda kenal ?

Seorang pesohor dalam bidang IT, Nukman Luthfie, seperti dikutip Femina (23-29/1/2010) berkata, “ketika seseorang hanya benar-benar kenal dengan sedikit dari follower-nya, ia sudah menjelma menjadi media. Artinya, ocehan ‘narsis’ Anda di timeline menjadi sangat powerful.

Andakah sosok yang powerful itu ? Kemudian meminjam kata-kata Peter Parker dalam film Spider Man , bahwa kekuatan yang besar selalu dituntut tanggung jawab yang juga besar, adakah hal itu sudah pula dominan tercermin dalam beragam posting Anda selama ini ?

Camkan pendapat ini. “The net is a postocracy, not a democracy,” tutur Thomas Mandel(almarhum) dan Gerald Van der Leun dalam Rules of The Net : On-Line Operating Instructions for Human Beings (2001). Posting Anda, adalah senjata dahsyat Anda. Sekaligus pula harimau Anda. Anda sempat mengikuti kisah seorang Facebooker baru-baru ini di Bali ? Dirinya, mungkin anak muda, yang tidak peka terhadap kebudayaan setempat, lalu mengomong seenaknya tentang adat setempat. Ia menggunakan media sosial yang dahsyat, tetapi dengan cara yang sangat tidak tepat.

Bagaimana menggunakannya secara tepat ? Ah, come on, sebagai orang dewasa Anda sudah tahu hal itu pula. Kurangi porsi yang egosentris. Minimal hadirkan posting dengan porsi 50-50. Separo menguntungkan Anda, separonya berguna bagi pembaca. Facebook adalah media sosial. Kalau di dalamnya Anda tidak berperilaku sosial, lalu apa kata dunia ?

“Internet akan memberi kepada Anda, tetapi sebagai pembayarannya Anda harus bersedia membalas dengan memberikan kembali kepadanya. Bila Anda memiliki informasi yang berguna bagi orang lain, pajanglah. Apabila seseorang bertanya tentang sesuatu, dan Anda tahu jawabnya, pajanglah pula di Internet,” nasehat lanjut Mandel and Van der Leun. Dengan berkontribusi itu, senyatanya Anda sedang membangun net equity Anda pribadi. Secara elegan terpajanglah keistimewaan Anda, keahlian Anda sampai reputasi Anda di persada dunia.

Sayangnya, semua hal-hal hebat itu, mengapa justru sering tidak menjadi fokus kita dalam gaul maya di media-media sosial sehari-hari ? Saya langsung ingat ujaran Robert Frost (1874–1963), penyair AS. Ia pernah menulis guyonan bahwa otak adalah organ hebat manusia yang siap bekerja setiap saat, tetapi langsung mati ketika si pemilik tiba di kantornya. Juga saat tiba di sekolah ? Saat menonton tv ? Organ yang sama juga langsung mati ketika kita membuka akun Facebook kita sendiri ?

Itukah kira-kira penyebabnya, mengapa hal-hal hebat dari diri kita seringkali pula tidak terlihat oleh teman-teman dekat dalam lingkar pergaulan kita ? Yang sering tahu justru para orang-orang asing ? Bahkan dalam beberapa kasus yang saya alami, dengan hadir dan berkontribusi di Internet, reward itu seringkali datang dari orang-orang yang sebelumnya benar-benar tidak saya kenal sama sekali.

Contoh kecil : gara-gara blog Komedikus Erektus, Radio BBC Siaran Indonesia pernah mewawancarai saya, yang tinggal di Wonogiri ini, untuk berbincang masalah komedi. Penerbitan blog yang sama, yang hari-hari ini sedang diproses menjadi buku, juga melewati proses ajaib yang sama.


”Gusti Allah ora sare.”

Demikian frasa yang sering dipakai analis politik Sukardi Rinakit dalam tulisan-tulisannya. Tuhan tidak pernah tidur. Juga tidak akan membiarkan kejahatan menang dan keluhuran dikalahkan.

Dalam konteks Internet saya ingin menirunya, sebagai dorongan agar kita mampu memberikan kontribusi bagi bebrayan agung Internet itu. Yakinlah, semua kebaikan Anda memang tidak akan sia-sia.

Google ora sare.


Wonogiri, 23 Maret 2010

Jumat, 19 Maret 2010

Obama, Jaya Suprana dan Komedikus Erektus

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Komplikasi.
Urusan jadi lebih rumit.
Obama yang menunda kunjungannya ke Indonesia memunculkan banyak komplikasi.

Dikabarkan, semua murid klas VI SDN 01 Menteng di Jalan Besuki 4, Jakarta Pusat, memilih tidak lulus. Mereka lebih memilih tinggal kelas, agar tetap berstatus sebagai murid SD itu. Dengan pilihan itu mereka bisa bertemu seniornya yang kini menjadi presiden Amerika Serikat itu. Secara resmi.

Komplikasi selanjutnya, pemerintahan SBY dibuat repot. Untuk meredam aksi-aksi penolakan sebagian umat terhadap Obama, perlu dilakukan konter dengan strategi kehumasan yang baru. Kabar burung yang beredar,pemerintah RI akan membuatkan patung Obama yang baru.

Kali ini Obama memakai sarung. Untuk menunjukkan dirinya juga pernah disunat di Indonesia. Bahkan akan pula disebarkan dokumen temuan baru, bahwa Obama pernah belajar pula di Ngruki, Solo, Jawa Tengah.

Di Sulawesi Selatan, polisi dan kejaksaan juga ketularan ikut repot. Mereka harus cepat-cepat menuntaskan kasus yang menimpa selebritis dan wakil rakyat, Rieke Dyah Pitaloka. Kita tahu, Rieke tiba-tiba dipeluk dari belakang dan bahkan dicium oleh dokter Rasyidin dari RSUD Labuang Baji, Sulawesi Selatan (8/3/2010). "Saya marah, tapi dia malah bilang Anda kan publik figur," ungkap Rieke.

Bila dokter “berdarah panas” itu sudah masuk penjara, seorang Obama ikut bisa merasa aman. Karena alasan itu pula, sebelum menunda kunjungannya ke Indonesia pada bulan Juni nanti, ia juga membatalkan keikutsertaan istrinya bila kunjungannya di bulan Maret ini terlaksana.

Karena Obama kuatir berat, istrinya yang jelas-jelas seorang public figure akan terancam ramai-ramai dipeluk para dokter Indonesia yang ketularan virus “panas” dari Sulawesi Selatan tadi. Apalagi virus hampir serupa, yaitu aksi gairah mencium punggung kini juga gencar disebar-sebarkan di Indonesia. Lewat televisi-televisi. Oleh Anang terhadap Syahrini.

Mabuk Berita Palsu. Anda dilarang percaya terhadap isi-isi tulisan di atas. Karena semuanya merupakan fake news. Berita palsu. Tetapi, anehnya, di Amerika Serikat acara-acara televisi yang menyiarkan berita-berita palsu itu justru disukai oleh pemirsa. Bahkan menjadi acara unggulan.

Salah satu host tersohor untuk acara fake news itu adalah Jon Stewart. Dahsyatnya lagi, atau gokil-nya lagi, dalam survei oleh majalah TIME (2009) komedian penyebar berita-berita palsu itu justru terpilih sebagai Andy Borowitz itu, juga membuat saya demam. Imbasnya, saya sendiri terus merintis, melanjutkan atau mempersubur daya-daya kreativitas dalam penciptaan berita-berita palsu tadi. Terkait dinamika politik dan ulah politikus Indonesia.

Blog Komedikus Erektus yang saya luncurkan sejak lima tahun lalu telah menjadi saksi hal tersebut. Kini, berkat ditunjang oleh keajaiban Internet, isi yang semula berwujud digital tersebut akan segera menjadi media berbasis atom. Menjadi buku. Judulnya : Komedikus Erektus. Penerbitnya adalah Etera Imania.

Bila telah terbit, ini merupakan buku humor saya yang ketiga. Momen itu membuat saya rada ngeh, ternyata humor memang merupakan salah satu panggilan hidup saya. Sedikit mengilas balik, kiranya percik itu barangkali semakin mulai membesar pada bulan September 1982 di Jakarta.

Ketika itu saya berkenalan dengan humorolog, kelirumolog, musikus, kartunis, pebisnis, asal Semarang : Jaya Suprana. Saat itu saya belum selesai berkuliah di Jakarta. Pertemuannya di Balai Budaya, Jakarta Pusat. Juga bertemu Arwah Setiawan, “Pak Raden” Suyadi, juga kartunis Tris Sakeh. Ditemani teman kuliah saya, Bakhuri Jamaluddin, saya menemui mereka.

Saat itu di Balai Budaya dipamerkan karya kartun anak-anak Wonogiri, termasuk karya Basnendar Heriprilosadoso adik terkecil saya. Mereka tergabung dalam komunitas kartunis cilik Brigade Kelompok Kecil, asuhan adik saya (juga) Mayor Haristanto. Disponsori oleh Mas Jaya Suprana.

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Keterangan foto.Dari kanan, Jaya Suprana, Tris Sakeh (kartunis), Suyadi Pak Raden, tak dikenal, Arwah Setiawan dan Bambang Haryanto.

Pameran serupa berlangsung bulan Januari 1983, di Semarang. Dihadiri Soepardjo Roestam, gubernur Jawa Tengah saat itu. Suasana hati agak berbeda, karena ayah saya baru saja meninggal dunia, 9 Desember 1982.

C’est la vie,
kata orang Perancis.

Itulah warna-warni kehidupan. Ada tragedi, juga ada komedi. Ketika beberapa hari lalu saya meminta endorsement dari Mas Jaya untuk buku Komedikus Erektus saya, ia membalas dengan cara khas. Bunyi email beliau :

“Mas Bambang yth, terima kasih atas perjuangan gigih Anda menghumorkan bangsa ini ! Kehormatan bagi saya untuk menulis apa yg disebut endorsement itu untuk buku heboh Anda.

Mohon petunjuk, apakah endorsement cukup berupa kalimat komentar untuk melariskan buku dahsyat Anda tersebut. Kalo endorsement saya kepanjangan saya kuatir dampaknya malah sebaliknya yakni, (calon pembaca akan) membatalkan niat membeli buku hebat Anda tersebut. Kami tunggu wahyu Anda ! “

Saya jawab, bahwa saya membebaskan Mas Jaya untuk menulis apa saja. “Saya juga siap bila nanti para calon pembeli buku saya memang membatalkan niat untuk membeli buku tersebut gara-gara membaca endorsement Anda !,” begitu tantang saya.

Beliau kemudian memang berbaik hati menuliskan endorsement tersebut. Saya membacanya dengan penuh komplikasi. Apakah Mas Jaya Suprana (mengaku akunnya di Facebook adalah palsu, karena ia tidak punya akun Facebook sama sekali !)sedang ketularan diri saya yang sedang mabuk suka menulis fake news ? Atau sebaliknya ? Anda dapat menilainya sendiri.

Setelah Anda kelak membaca buku itu, termasuk menikmati endorsement yang tak lajim tetapi menggigit a la Jaya Suprana, semoga Anda bersedia bermurah hati mengirimkan komentar atau pendapat Anda melalui email saya ini : humorliner (at) yahoo.com.

Saya tunggu. Terima kasih.
Dijamin pula tidak akan ada komplikasi.



Wonogiri, 20/3/2010

Sabtu, 13 Maret 2010

Diana AV Sasa, Buku dan Saya

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Pacitan dan pemberontakan.

Kaitan antara keduanya hidup dalam benak saya. Terbingkai dalam pigura kenangan, tentang siluet fajar yang mengancam, kala langit mencat dirinya untuk bergegas memerah.

Latar belakang itu menyajikan kontras dengan bukit-bukit menghitam yang ditenggeri barisan sosok-sosok pasukan pemberontak berkuda yang segera turun ke kota. Untuk melakukan penyerangan.

Pagi yang menggelisahkan

Pemberontak itu dipimpin Trunojoyo. Bukitnya, bukit Ngantang. Ia hidup dan memberikan bekas kepada saya berkat buku yang berjudul Babad Pacitan. Buku itu saya temukan di tahun 1964-an, di Kedunggudel, Sukoharjo.

Koleksi itu entah milik kakek saya Martowirono yang seorang bayan atau milik pakde saya, Sutono, yang seorang guru. Saya tidak ingat lagi nama pengarangnya. Apalagi penerbitnya.

Koleksi pustaka itu terhimpun bersama tumpukan majalah Penyebar Semangat dan Sosiawan, majalah Departemen Sosial yang sampulnya bergambar stilisasi sinar matahari dengan memajang slogan tat twam asi, yang bermakna asah, asih, asuh ? Saya tidak pasti.

Tetapi tiap kunjungan dari Wonogiri (rumah saya) ke Kedunggudel, pojok pustaka itu selalu menjadi incaran saya yang utama dan terutama. Termasuk buku Babad Pacitan yang juga bercerita seluk-beluk perdagangan candu di masa itu.

Terpendam selama puluhan tahun, suatu hari cerita tentang buku itu akhirnya, 14 Agustus 2009, bisa saya munculkan dengan salah seorang penduduk Pacitan yang sebenarnya.

Berontak melalui buku. Namanya Pak Nurus Son’ani. Seorang kepala sekolah SD di Pakisbaru, Pacitan. Sosoknya seperti Sean Connery ketika membintangi film Finding Forester (2000).

Pakisbaru merupakan daerah paling tinggi dari kabupaten yang melahirkan tokoh Budi Harjono, Haryono Suyono sampai Susilo Bambang Yudhoyono, presiden kita saat ini. Dinginnya menggigit tulang. Malam biasa turun kabut. Tetapi saya memberanikan diri untuk mandi ketika subuh baru saja tiba.

Sore itu, Pak Son'ani mengantar saya untuk kembali ke Wonogiri. Di tengah perjalanan di mana mobil mengulari jalan yang berkelok tajam, lumayan terjal, bahkan isi perut terpaksa ikut menari (saya diam-diam melakukan senam shiatsu agar tidak mual, muntah, lalu malu mengotori jok mobil) serta sepanjang mata memandang semata terantuk batu, terkepung jajaran pinus dan perdu, hadir obrolan warna-warni.

Selain tentang Babad Pacitan, juga mencuat tentang bagaimana terpuruknya pengajaran literasi di sekolah-sekolah kita. Anak-anak Indonesia yang tidak dibiasakan untuk menulis. Apalagi memiliki kegembiraan dalam berekspresi dengan menulis.

Tetapi di Pacitan saat itu, saya melihat dan mengalami bara pemberontakan untuk meretas kemiskinan budaya literasi itu. Pelopor dan pengompornya adalah Diana AV Sasa (foto di atas), putri dari Pak Son’ani tadi. Berkat keajaiban Internet, dan mungkin karena kosmis menggurat catatan betapa kita terbelenggu oleh obsesi yang sama, yang akhirnya mampu membuat saya bisa sampai di Pakisbaru ini. Atas prakarsa Diana.

diana av sasa,nurus son'ani,pakis baru,bambang haryanto

Keajaiban yang lain lalu terjadi jadi. Pak Son’ani (berseragam pramuka), Diana AV Sasa dan saya, ternyata bukan sosok yang benar-benar asing sama sekali. Urut punya urut, Diana Amaliyah Verawati Ningsih, begitu nama komplitnya, memiliki SD yang sama dengan saya. SD Wonogiri III. Ia pun pernah tinggal di kampung yang sama pula, Kajen, saat belajar di Wonogiri, dari SD sampai klas 2 SMA.

Pak Son’ani yang memiliki keahlian di bidang radio komunikasi, sehingga dipercaya menjaga dan mengelola menara radio citizen band di Pakisbaru. Menara ini melayani kebutuhan komunikasi warga Orari Wonogiri yang sebagian adalah teman, kenalan dan kerabat saya.

Di Pakisbaru, 14 Agustus 2009 itu, benar-benar terjadi acara kopi darat versi para pejuang literasi. Hadir pula Muhidin M. Dahlan dari Yogyakarta dan Eri Irawan dari Surabaya. Puncak acaranya adalah Gelaranbuku Pakis, meliputi peresmian perpustakaan Pakisbaru, peluncuran buku Kepada Yth : Ibu Negara di Istana Merdeka :151 Suara Hati Dari Anak Puncak Brengos Pacitan. Saya kebagian bercerita kepada audiens mengenai seluk-beluk manfaat menulis surat pembaca.

Kepada anak-anak penulis buku di atas, juga kepada guru, saya anjurkan agar mereka mau menuliskan mimpi-mimpinya. “Tulislah mimpi-mimpimu, cita-citamu, juga cita-cita teman terdekatmu, pada secarik kertas. Tempelkan di dekat meja belajarmu. Tuliskan kemudian ucapan : ’Yes, We Can !’ untuk saling menguatkan.”

Teriakan dari slogan terkenal saat berkampanye untuk menjadi presiden AS dari Barack Obama itu kemudian sering meronai hajatan budaya di Pakisbaru itu. Setiap anak yang menuliskan cita-citanya di buku itu, saya ajak ke panggung. Lalu menceritakan cita-citanya. Sejurus kemudian, seluruh hadirin akan ramai-ramai berseru :

Yes, He Can !
Yes, She Can !
Yes, We Can !

Dalam pengantarnya, sebelum saya tampil, nampak mata Diana AV Sasa berkaca-kaca. Ia menangis. Dalam keharuan. Dalam kebanggaan. Karena impian besarnya tercapai saat itu, sebagai putra daerah yang “menjadi jangkar bagi anak-anak di balik batu Gunung Brengos” seperti yang ia tulis dalam buku karyanya itu.

Juga menjadi inspirasi gerakan mulia yang sama, pendirian perpustakaan dan penyebaran budaya literasi berbasis masyarakat di kota-kota lain. Misalnya yang terbaru terjadi di Kediri. Pejuang buku dari Pakisbaru ini nampak sulit dihentikan. Dan saya bangga bisa mengenalnya.

Sepulang dari Pacitan itu saya memperoleh hadiah lagi darinya. Termasuk disangoni buku-buku hebat, seperti Para Penggila Buku : Seratus Catatan di Balik Buku (2009) yang ia garap bersama Muhidin M Dahlan, buku kumpulan surat anak-anak yang kaya inspirasi dan mengharukan tadi, juga buku-buku karya Muhidin M Dahlan.

Buku Gus Muh yang bagi saya terasa “berat” itu adalah Kabar Buruk Dari Langit (2005, novel), Adam Hawa (2005, novel), tetapi cukup tercekam menyusuri biografi penuh liku dan keperihan dalam Jalan Sunyi Seorang Penulis (2005) itu. Seperti melihat cermin. Mengingatkan humor hitam bahwa keluhan utama seorang penulis ketika ke dokter adalah tidak bisa buang air besar. Karena perutnya memang tidak berisi makanan.

Hadiah lain dari Diana itu adalah profil saya sebagai seorang epistoholik telah ia tulis dalam situs Indonesia Buku, media perjuangan yang ia gelorakan di media maya. Dengan judul, Bambang Haryanto: Membaca dan Menulis Seperti Donor Darah.

Terima kasih, mBak Diana.
Terima kasih, Gus Muh.

Di tengah guncangan mobil yang disopiri seterampil pereli Sebastian Loeb, menjelang memasuki Purwantoro, saya sempat berbicara kepada Pak Son’ani. “Saya juga menyukai buku, tetapi baru sebatas sebagai konsumen. Belum setotal seperti yang dilakoni oleh putri Anda. Sebagai konsumen, juga sebagai produsen.”

Pak Son’ani tidak berkomentar apa-apa saat itu.

Tetapi saya bisa menangkap ada gurat rasa kebanggaan. Mungkin setara dengan rasa bangga saya ketika keinginan saya agar Diana AV Sasa bersedia menulis endorsement untuk buku Komedikus Erektus (Etera Imania, 2010) saya, dan permintaan itu telah ia sanggupi pula. Berkah dan sawab buku dari bukit-bukit Pakisbaru itu rupanya mulai mengalir ke Wonogiri.

Setelah tahun 1987, saya bisa lagi menulis buku kini.

Dalam satu halaman putih dari buku kumpulan surat-surat anak Pakisbaru itu, Diana AV Sasa menulis : “Untuk Pak Bambang Haryanto, Epistoholik Indonesia : Bukankah kita percaya bahwa menulis adalah alat perjuangan ? Never ending writing !

Penulis (“saya lagi tergila-gila rock dan blues, tetapi juga lagi flu itu,” tulisnya dalam sms, 12/3/2010) dan pejuang literasi dari Pakisbaru ini, memang lajunya tidak bakal terhentikan. Menjadikan siluet barisan pemberontak Trunojoyo yang berjajaran di bukit Ngantang, Pacitan, yang selama ini hidup dalam kenangan masa kecil saya, kini saatnya memperoleh aksentuasi baru.

Pemberontak itu harus turun gunung, berbaur dengan sesamanya. Ketika ia dan kawan-kawannya mengangkat anak-anak pinggiran sebagai produser informasi, kita tahu betapa di era ekonomi Google sekarang ini, yang kecil-kecil itu merupakan hal besar yang baru.

Lanskap perjuangan kemanusiaan kini menghadirkan gambar baru. Konteks baru. Tantangan baru. Strategi pemberontakan baru. Senjata baru. Juga tokoh baru.

Saya berbangga bisa mengenalnya, sekaligus ingin terus mencoba mengikuti ledakan-ledakan pemberontakan literasi yang berikutnya.


Wonogiri, 13/3/2010.

Jumat, 12 Maret 2010

API-4, Harris Cinnamon dan Komedikus Erektus

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



Tips sukses. Kalau Anda berada dalam kerumunan, berteriaklah.

Petunjuk penting ini saya peroleh dari tokoh perempuan bisnis atau tokoh bisnis perempuan (?) :-) Dewi Motik Pramono. Ia berteriak dengan media dandanan.

Favoritnya warna merah. Juga dengan pernah-pernik yang menyala, sekaligus menyalak.

Tip serupa juga dilakoni oleh Wimar Witoelar. Tak aneh, ia seorang tokoh kehumasan yang terampil membawa diri. Apalagi dengan bleger yang karismatik, flamboyan, dan berambut semi kribo. Juga sosok tubuhnya yang mungkin kalau bertemu dengan Ellen DeGeneres diperkirakan ia akan mencandai, bahwa kantong kanan dan kiri dari baju Bang Wimar itu memiliki ketua RT yang berbeda.

Begitulah. Di tengah-tengah banyak orang, yang berstatus penting-penting, ketika atensi semakin mahal, menjadi nampak atau menonjol dalam keriuhan adalah sebuah leverage yang bermakna. Barangkali juga mahal harganya. Saya mengalami keajaiban itu sebagai suporter sepakbola di Stadion Kallang, Singapura, 16 Januari 2005. Saat itu dilangsungkan leg kedua final Piala Tiger 2004, Indonesia melawan tuan rumah Singapura.

Begitu Mayor Haristanto (yang baru saja ikut Chingay Parade 2010 di Singapura) dan saya memasuki tribun pojok timur laut yang berisi suporter Indonesia, saya rasakan kimia menjadi berubah. Saat kami berdua membentangkan spanduk yang kami bawa dari Solo, bertuliskan slogan “Bangkit Indonesia !,” rasa nasionalisme sekitar 1000-an suporter Indonesia yang terkepung 55.000 suporter tuan rumah, ibarat api tersiram bensin. Lagu “Indonesia Raya” kami nyanyikan, bersemangat, dan air mata panas merebak di wajah-wajah kami saat itu.

Indonesia akhirnya memang kalah saat itu. Di Senayan sudah kalah 1-3, di Kallang kalah lagi, 2-1. Tetapi saya pribadi, mampu meraih kemenangan hiburan. Karena esok harinya, 17 Januari 2005, surat kabar terkemuka Singapura The Straits Times memuat pendapat saya.

Hal serupa terjadi tanggal 27 Januari 2005. Di tengah pesta hari ulang tahun MURI ke-15 di Semarang. Untuk memenangkan “persaingan” di tengah puluhan kandidat penerima rekor MURI yang lain, dari rumah saya mempersiapkan lembaran siaran pers. Saat di antara keriuhan itu saya yang harus memburu wartawan. Ketemu wartawan Radar Semarang, esoknya profil kemenangan MURI saya diwartakan.

Juga ketemu reporter televisi cantik dan menawan, Erika Diana Rizanti. Saya memberikan siaran pers saat itu seperti melempar batu ke kolam. Tak usah berharap batu akan menimbul ke permukaan. Ternyata beberapa minggu kemudian, Erika meliput kiprah saya sebagai seorang epistoholik untuk acara televisi a la Ripley’s Believe of Not ? , yaitu : Busssettt !

Ajaran Woody Allen. Menjadi nampak, visible, sehingga menjadi bahan liputan media, tidak lain merupakan ikhtiar agar cita-cita sampai nilai-nilai positif diri kita diketahui oleh dan agar berguna bagi masyarakat. Tak kenal, tak sayang, bukan ?

Dengan dikenal, juga membuka peluang bagi kita dalam membina pertemanan dengan orang lain. Itulah yang terjadi selepas saya tereliminasi dalam audisi API-4 di Yogyakarta, Sabtu, 26 Januari 2008. Memang saya gagal dalam acara seleksi pelawak itu, saya dalam kondisi remuk bubuk, tetapi pada hari-hari selanjutnya saya mampu merasakan manfaat di balik itu semua. Antara lain saya masih diberi berkah untuk mengenal sebagian awak kreatif dari TPI, stasiun televisi penyelenggara acara API tersebut.


Antara lain dengan Harris Cinnamon (foto). Karena gara-gara saya menulis di blog saya, tentang pengalaman mengikuti audisi itu. Termasuk memajang foto dan komentar Harris Cinnamon saat itu, dengan jabatan sebagai produser eksekutif acara audisi tersebut, sedang memberikan pengarahan kepada para kontestan. Demikianlah ketika acara kontes itu selesai dan saya gagal, tetapi dengan membuat “keributan” di blog, saya merasakan kemenangan dalam membina pertemanan.

Mungkin ia dapat bocoran info dari Ade Tao, juri saya. Ia memiliki kelompok lawak Decaer Group. Saya terkaget, begitu saya usai memeragakan set lawakan tunggal, ia menyapa saya. Ia adalah teman yang saya kenal melalui Internet, melalui blog Komedikus Erektus pula. Kita pernah mengobrolkan cita-citanya yang ingin terjun sebagai komedian solo juga. Ade Sofyan Intan, nama lengkapnya, bersama kelompok “69” termasuk 16 besar GrenPinal API I/2005. Satu angkatan dengan SOS dan Bajaj, Ade sudah banyak berpentas dengan pelbagai personil lawak Jakarta lainnya.

“Kekalahanmu di API-4, kemenangan yang dahsyat!,” begitu tulis Harris Cinnamon dalam boks bengok blog saya, 31/1/2008. Saya kemudian membalasnya di blog dia, Sajadah Jiwa. Termasuk kemudian mengungkapkan rasa terkejut saya, ketika memperbandingkan sosoknya yang saya sebut mirip penampilan sangar pemusik cadas favorit saya, Ritchie Blackmore dari Deep Purple, tetapi isi-isi blognya itu tak kalah dalam dan indah dibandingkan isi khotbah para kyai-kyai muda di layar-layar televisi.

Dalam kesempatan obrolan melalui email, Harris bercita-cita menyutradarai film komedi. Malah judulnya pun telah ia tentukan. Momon, panggilan akrab dia, bahkan ingin melibatkan saya. Saya sih makmum saja, kataku. Tetapi karena dia adalah seorang pekerja televisi, yang terus berlari dan mencipta setiap hari, obrolan tentang proyek film itu menguap perlahan-lahan. Kami pun juga jarang bertegur sapa.

Tiba-tiba, Momon pada tanggal 10/2/2010, muncul kembali di blog komedi saya tersebut. “Piye kabar bang...salut sampeyan masih konsisten di sini...beberapa tulisanmu menjadi masukan buat aku,” begitu tulisnya.

Terima kasih, Momon. Syukurlah bila blog itu mampu memberi manfaat. Langsung Momon saya todong untuk sudi menulis endorsement untuk buku Komedikus Erektus saya. Ia pun telah memenuhi permintaan saya tersebut.

Bahkan saya memperoleh bonus. Nanti pada tanggal 2-4 April 2010, Momon meminta saya untuk bisa ketemuan di Yogya. “Tak ada topik, mBang. Kita ngerumpi saja,” jawab Momon melalui SMS.

Saya berharap bisa kembali ke Yogya. Kini bukan sebagai kontestan, tetapi sebagai rekan dan sahabat. Tak ada beban, tak ada stres, dan tak ada tuntutan untuk “berteriak-teriak” pula.

Kilas balik 2007. Ketika mengobrol dengan Ade Tao sesaat sebelum saya turun panggung, saya berujar : ““Dalam komedi, ada ilmu air dan ilmu madu. Ilmu air adalah teori, seperti yang saya tulis di blog saya, dan ilmu madu adalah milik Anda, praktisi dunia komedi. Saya kesini ingin belajar dari Anda.”

Kalimat yang sama rasanya nanti juga akan saya katakan ke Momon. Sehingga saya bisa berharap akan banyak cerita-cerita yang bisa kita bagi. Saya berjanji untuk menuliskannya. Siapa tahu, cerita-cerita kami itu dapat memberi manfaat guna memacu kemajuan bagi komedi Indonesia, bukan ?


Wonogiri, 12/3/2010

Selasa, 09 Maret 2010

Hari Humor dan Komedikus Erektus

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Lelucon Bapak. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari humor keluarga.

Karena hari itu ayah saya, Kastanto Hendrowiharso (1928-1082), datang dari Yogya. Sebagai seorang prajurit TNI-AD, ia berdinas di Yogyakarta. Sementara keluarganya tetap tinggal di Wonogiri.

Saat itu, tahun 1966, saya duduk di bangku klas 6 SD Wonogiri III. Ketika lulus memperoleh piagam ketikan yang border-nya $$$$$$$. Piagam itu sebagai tanda “Pemegang kedjuaraan ketjakapan didalam kelasnja.”

Yang menandatangani adalah Pengurus POM, terdiri pimpinan sekolah Siswomihardjo (ayah dari pelukis Godod Sutejo), ketua Hadisoebroto (ayah dari teman saya, Sugeng Sudewo) dan secretaris (tertulis pakai huruf “c”), Samto (saat itu guru kelas 5).

Saya tidak ingat lagi pada momen apa piagam itu saya terima. Hanya berkat ketelatenan ayah saya yang menyimpan dan melaminasinya dengan, plastik walau toh sebagian pinggirnya sudah gripis dimakan rayap, kenangan tentang masa 44 tahun yang lalu itu dapat tertayang. Memang hanya sepotong-sepotong.

Yang pasti, kehadiran ayah setiap Sabtu dan Minggu merupakan hari kegembiraan bagi kami bertuju, anak-anaknya saat itu. Kini anaknya ada sepuluh. Antara lain, Mayor Haristanto, Bhakti Hendroyulianingsih, Broto Happy Wondomisnowo sampai Basnendar Heriprilosadoso yang kreator logo Galeri Nasional di Gambir, Jakarta. Dalam foto di bawah ini, saya paling kiri, diambil tahun 1960. Ke kanan : Budi, Bari dan Mayor bersama Ibu.


Karena absennya figur bapak antara Senin sampai Sabtu, yang orangnya disiplin dan cermat, mungkin justru yang agak memberi “hawa bebas” bagi kami. Guna menyuburkan perilaku sikap-sikap kreatif bagi anak-anaknya. Berhumor, berkartun, melukis, dan menulis. Misalnya, tak ada satu pun anaknya yang mengikuti jejaknya sebagai tentara, sosok yang “tidak kreatif” di mata kami.

Kegembiraan karena kedatangan ayah itu berkesan terutama bagi saya, anak pertama. Karena kami akan memperoleh cerita dan cerita baru yang dibawa beliau dari kota. Juga terkadang dongengan mengantar tidur.

Misalnya dongeng tentang Joko Kusnun.

Pemuda desa itu berkerjanya berjualan layang-layang. Suatu hari, naas, dirinya tertimpa hujan deras. Sehingga barang dagangannya rusak. Karena takut dimarahi ayahnya, ia tidak pulang ke rumah. Ia menggelandang di kota, tidurnya di pohon. Kalau Anda melihat dua pohon di depan gerbang kebon rojo, Taman Sriwedari Solo, saya selalu membayangkan Joko Kusnun memang tidur di sana. Ia ditemukan sang raja ketika hendak bercengkerma di taman raja itu. Ia lalu mengabdi, sebagai punggawa istana.

Cerita lucu dari ayah saya meledak di mata anak-anaknya bila ia melakukan act out, yaitu menirukan beberapa aksi temannya sesama tentara. Misalnya ada tentara yang disebut nyentrik, yang seperti ayah saya setiap Sabtu akan pulang kampung. Ketika disapa, si teman tersebut akan selalu menjawab : “Biasa dik, minggon !”

Suatu saat lain, sang tentara teman ayah saya yang nyentrik itu berseru : Tai asu ! Tai asu !” Rupanya ia menemukan kotoran anjing di halaman asrama tentara. Kami sudah terserap perhatiannya, misalnya, apa yang akan terjadi dengan kotoran anjing tersebut ? Dalam dunia mengkreasi lawakan, itu lajim disebut sebagai sebuah set up, jebakan. Disusul kemudian titik ledak yang mengguncang kejutan, juga tawa, yang biasa diberi label sebagai punchline. Pak tentara nyentrik ternyata lalu bilang :

Nggo rabuk !”
Untuk pupuk.
Guna mempersubur tanaman.

Begitulah, ucapan “Biasa dik, minggon !” sampai kisah heboh kotoran anjing itu tetap sering muncul dalam cerita-cerita keluarga kami. Sampai kini.

Mendongeng di kelas Momen lomba melucu antaranak juga terjadi ketika kami bermain remi. Ayah melawan anak-anaknya. Karena merasa memiliki status setara, maka ketika sang ayah kalah permainan, dan harus menjadi pengocok kartu, ejekan pun berhamburan. Kami sering menyebut-nyebut merek minyak obat gosok, yang berkhasiat menyembuhkan rasa capek bapak ketika harus dihukum sebagai pengocok kartu.

Reuni lomba melucu antaranak itu, bahkan sejak tahun 1987 memperoleh arena yang lebih luas. Melibatkan keluarga besar keturunan kakek-nenek dari garis Sukarni (1933-1993), ibu saya, yang bernama Trah Martowirono. Reuni tahun 2009 berlangsung di Benteng Vrederburg, Yogyakarta.

Mungkin karena gojlokan memperoleh cerita dan cerita itu, membuat salah satu pelajaran favorit di sekolah dasar adalah bercerita di depan kelas. Seingat saya, kalau teman-teman lain sering mengulang cerita mengenai kucing kurus melawan kucing gemuk, seingat saya saya pernah bercerita tentang Pemberontakan di Kapal Tujuh, Tenggelamnya Kapal RI RI Matjan Tutul, sampai Hikayat Indera Bangsawan.

Cerita dan dongeng rupanya menyemaikan kegemaran saya terhadap bacaan Buku favorit saya saat itu adalah serial novel Nogososro Sabukinten, karya S.H. Mintardjo. Saya ingat pada jilid pertama, pembukanya berupa kalimat “Awan hitam bergulung-gulung di langit Mataram,” yang kemudian sering saya contek dan saya modifikasi ketika ikut lomba mengarang.

Mungkin Pak Mintardjo terilhami oleh kalimat yang sering disebut-sebut sebagai contoh baris pembuka dalam pelajaran mengarang, yang berbunyi : “It was a dark and stormy night” yang terkenal itu.

Setiap awal bulan, ketika novel tentang Maheso Djenar itu terbit, saya menulis dalam sebuah kertas kecil. Misalnya, “Nogososro Sabukinten, jilid 10.” Lalu kertas itu saya masukkan diam-diam di kantung baju seragam ayah saya. Di hari Minggu sore. Sebelum ia kembali bertugas ke Yogya. Mungkin dari hanya terbiasa menulis judul –judul buku di kertas kecil itu, saya kini menjadi memiliki kegemaran untuk menulis. Hingga mampu menghadirkan buku Komedikus Erektus ini untuk Anda.

Pasalnya, kertas kecil di saku baju tentara ayah saya itu, memang menghadirkan mukjijat. Karena pada hari Sabtu sore minggu depan saya telah memiliki buku baru dan bacaan baru, yang sangat saya idamkan.

Terima kasih, Pak Kastanto. Juga Ibu Kastanto.
Semoga beliau kini tentram dan selalu sejahtera di sisiNya.


Wonogiri, 10 Maret 2010

Wimar Witoelar, Teror Negara dan Komedikus Erektus

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com



“Negara seringkali merupakan organisasi teroris yang dilegitimasi melalui layar putih,” kata Bambang Haryanto dari lembah Gunung Sewu, tepatnya kota kecil Wonogiri.

Menurutnya dengan regulasi, sensor dan muatan propaganda yang massif, mereka melakukan cuci otak bangsa Indonesia demi tujuan langgengnya kekuasaan rezim teroris bertubuh negara, yaitu pemerintahan Orde Baru.

“Teror itu masih membekas tajam sampai saat ini,” tunjuknya setelah membaca karya Krishna Sen. Lihatlah, katanya, banyak sineas muda kita, yang pada era 1965 belum lahir, kini justru terobsesi membuat film-film bergenre hantu. Dan laku.

Pilihan itu boleh jadi merupakan ungkapan bawah sadar diri mereka dalam upaya menghilangkan hantu-hantu masa lalu, dari era represif, zaman gelap sarat aroma pembunuhan sampai penculikan, yang masih juga menghantui diri-diri mereka.

Film-film berjenis yang disebut Bambang Haryanto itu memang pernah menjadi “momok” yang dilegitimasi sebagai sebuah teror kesadaran akan musuh-musuh Negara semacam sebagaimana termaktub dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984). Film ini tak dielaborasi Krishna Sen, tapi dikutip sambil lalu saja. Padahal inilah film yang paling sering diputar, tak hanya di layar perak tapi juga di layar kacar. Setiap tahun selama puluhan tahun.”

Itulah cuplikan dari artikel berjudul “Pandangan Dewan Pembaca: Teror Negara dalam Sinema” di situs Indonesia Buku. Artikel tersebut merupakan himpunan dari 6-7 komentator setelah membaca buku yang terpilih untuk dibedah secara beramai-ramai, yaitu karya Krishna Sen berjudul Kuasa Dalam Sinema (2007).

Pendapat bahwa negara merupakan sosok teroris di atas, saya peroleh idenya dari seorang Wimar Witoelar. Ketika Indonesia diguncang aksi terorisme, ledakan bom di Bali, 12 Oktober 2002, beberapa hari kemudian saya temukan artikel yang ditulis Wimar Witoelar di surat kabar Inggris, The Guardian (16/10/2002). Dalam tulisan berjudul “Wimar Witoelar’s World, Citizen Journalism dan Epistoholik Indonesia” saya telah mengutipnya, juga menyebutkan :

“Saya hanya mengenalnya melalui media massa. Artikelnya di atas boleh jadi merupakan persinggungan saya untuk yang kesekian kali dengan Wimar Witoelar. Tentu saja persinggungan pasif antara diri saya sebagai seorang konsumen media dengan seorang kolumnis yang banyak tampil di media massa. Bagi saya, tulisan-tulisan Wimar senantiasa menyuarakan hati nurani, walau tidak setiap orang mampu mendengarkan dan memahaminya.”

Setelah tulisan tersebut ia ketahui, sepertinya kemudian ia setengah “memerintahkan” seluruh punggawa InterMatrix, yaitu perusahaan kehumasan miliknya, untuk wajib membaca tulisan dalam blog saya tersebut. Sosoknya serasa makin dekat bagi diri saya, tatkala badai demam blog sedang melanda Indonesia. Tahun 2006.

Dirinya hadir sebagai salah satu kampiun yang memopulerkan jurnalisme warga. Dalam mosaik-mosaik media saat itu, selain Wimar Witoelar, juga berkelebat sosok Budi Putra, dan bahkan pemain biola menawan, Maylaffayza Fitri Wiguna.

Walau tidak sering menggalang kontak, syukurlah, rupanya saya masih memiliki sudut kecil dalam ingatan beliau. Ketika tiba-tiba saya tergerak menulis email untuknya, guna meminta dorongan dan endorsement untuk buku Komedikus Erektus, gayung pun bersambut.

Terima kasih, Bang Wimar.

Tetapi saya masih punya satu rasa penasaran. Saya pernah mengajukan pertanyaan dengan memajang di kotak komentar dalam artikelnya, belum ada jawaban tuntas. Wimar Witoelar yang menulis buku berjudul No Regret, yang merupakan memoar berisi sepak terjang dirinya ketika menjadi juru bicara Presiden Abdurrachman Wahid, belum menjawab rasa ingin tahu saya.

Yaitu, mengapa Gus Dur dan juga dirinya menyukai lagu berjudul “Me and Bobby McGee” dari penyanyi cewek urakan, petualang seks dan bahkan mati muda akibat obat bius, bernama Janis Joplin ?


Wonogiri, 9/3/2009

Mas Darminto, Planet Humor dan Komedikus Erektus

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Ciumlah Romeo ! Italia terkenal dengan penduduknya yang berdarah panas.

Saya pernah mengalami suasana panas itu ketika menonton drama Romeo dan Juliet yang dipentaskan di sebuah teater di Verona.

“Cium aku Romeo, dan aku akan pulang,” desis Juliet di panggung.
“Tidak, Juliet,” balas Romeo.
“Cium, cium aku Romeo dan aku akan pulang.”
“Aku tidak bisa, Juliet !”
“Oh, Romeo ciumlah aku Romeo dan aku akan pulang.”

Tiba-tiba dari arah penonton terdengar teriakan keras : “Cium dia, Romeo. Ayo cium saja, Romeo, dan sesudah itu kita semua akan pulang !”

Lelucon itu dimuat di halaman “Jenakarta,” pada harian Jayakarta, Kamis Pon, 14 Juli 1988. Redaktur halaman koran yang melulu berisi lelucon teks dan kartun tersebut adalah Darminto M Sudarmo. Saya yang mengirimkannya. Mas Darminto pula yang menyerahkan honor ketika saya menagihnya, di kawasan Jl. Otto Iskandardinata III, Jakarta.

Saat itu kita sama-sama tinggal di Jakarta. Saat menagih honor, sering saya ketemu dengan kartunis Martono Loekito. Dia dan Mas Dar lebih akrab dengan adik saya Basnendar Heriprilosadoso, karena sama-sama kartunis. Sedang saya tidak bisa menggambar, apalagi mengkartun.

Saat mengirimkan lelucon itu saya menggunakan inisial “BH” dan kadang “bhfs.” Kepanjangan dari inisial terakhir ini adalah “bambang haryanto features syndicate.” Tak tahu ide dari mana, kiranya saya pernah mengobrol sama Mas Dar tentang pembentukan sindikat itu.

Bermimpi bisa mensinergikan antara penulis dan kartunis, lalu meniru kiprah Charles M Schulz dengan “Snoopy”-nya, di mana sindikat itu bisa memasuk beragam filler, baik kartun atau pun lelucon, ke pelbagai media massa. Ketika Mas Darminto menjadi pemimpin redaksi Majalah Humor, berkantor di Palmerah, saya juga pernah mengirimkan lelucon seputar dunia hukum.

Yang rada aneh, mungkin karena lingkar edar planet kita “tertakdir” (?) berbeda, membuat planetnya Mas Darminto (salah satu bukunya terpajang di atas) dan planet saya, walau pun sama-sama punya nomor polisi bertanda humor, jarang terjadi encounter, pertemuan, antara keduanya.

Lucu juga. Mungkin ini tanda kebesaran humor, di mana galaksinya betapa amat luas, sehingga setiap insan jenaka yang memiliki aspirasi humor baginya masih selalu tersedia kapling tak terbatas untuk berkiprah. Untuk memberi. Untuk berprestasi. Juga untuk menggaruk rejeki.

Syukurlah, berkat jasa Internet, kini kita bisa mendekatkan garis edar planet-planet humor kita tersebut. Bahkan khusus untuk buku saya, Komedikus Erektus, Mas Darminto telah berbaik hati menyumbangkan advance praise sebagai berikut :

“Membaca hampir semua tulisan Bambang Haryanto di blog Komedikus Erektus, saya merasakan ada sesuatu yang menyelinap bersijingkat bukan saja ke otak saya, tetapi juga ke rasa, ke hati, ke pori-pori, bahkan ke pembuluh darah. Sesuatu itu seperti mendesak-desak, mencubit-cubit, kadang bahkan menggaruk-garuk perasaan intelektual saya. Sesuatu itu apa sebenarnya, saya tidak tahu pasti; yang jelas, ia begitu rewel, mengajuk-ajuk, mengulik-ulik, lalu saya tergiring untuk duduk termenung-menung, terbengong-bengong dan seringkali bahkan tidak mampu melakukan apa-apa karena pengaruh “sihir”-nya.

Ya, sihir itu! Terjadi karena tuturan bahasanya yang elok, lincah, segar bahkan “baik dan benar” menurut kaidah perbahasaan. Menyentak dan bikin cingak karena akurasinya yang ampuh. Mencengangkan krena gagasan dan wawasannya sanggup menembus batas ruang, waktu dan hegemoni disiplin ilmu. Akhirnya saya pun “terkapar”, klepek-klepek, sebagai sesama penggemar humor, saya memperoleh banyak nuansa dari pikiran-pikiran unik seorang sahabat yang langka ini.

Intinya.... selain luas dan beraneka ragam, Anda juga akan memperoleh manfaat yang khas dalam hal seni humor. Khususnya lagi seni memupuk rasa humor dalam diri dan seni melihat berbagai peristiwa dari sudut pandang humor. Anda akan kaget sendiri setelah membuktikannya. Saya selalu berdebar-debar menunggu tulisan-tulisan dia berikutnya....tentu Anda, juga, kan?

(Darminto M Sudarmo, centeng di http://www.facebook.com/l/31726 ; www.kolomhumor.com dan peminat seni humor).


Semoga saja kepala saya tidak terkena sakit hidrocefalus.
Terima kasih, Mas Darminto.
Sukses selalu.


Wonogiri, 9 Maret 2010

Kamis, 04 Maret 2010

Dinding Ijazah Kaum Drakula

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com


Drakula mengajari saya keindahan Clair de lune, karya Claude Debussy. Komponis musik terkenal asal Perancis itu lahir 22 Agustus 1862 di Saint-Germain-en-Laye, Perancis. Meninggal dunia, 25 Maret 1918 di Paris.

Moonlight.
Sinar bulan.

Kalau Anda warga Solo di tahun 1980-an, nama Moonlight. ini terkenal di Alun-Alun Utara Solo. Merupakan merek cairan pemutih gigi yang dijajakan di bawah pohon cemara, promosinya diumbar dengan pengeras suara.

Nomor Clair de lune itu muncul dalam film Twilight, film tentang kehidupan para drakula. Peran utamanya memunculkan sosok Drakula yang vegetarian dalam diri seorang pemuda bernama Edward. Artinya, dia hanya meminum darah hewan. Bukan darah manusia.

Kehidupan Edward yang panjang, yang mampu mencapai umur hingga ratusan tahun itu, disajikan dengan lelucon yang menarik. Dinding rumahnya diisi pajangan puluhan ijazah perguruan tinggi. Saya tidak bisa membayangkan bila dirinya seseorang yang gila gelar, seperti yang lajim terjadi di sekitar kita saat ini, dan tergiur untuk menuliskan semua gelarnya tersebut di kartu nama atau pada papan nama.

Terkait gelar dobel-dobel-dobel itu, saya pernah mengobrol dengan Pak Aggi Tjetje. Tahun 2005, di tengah hari ulang tahun ke-15 Museum Rekor Indonesia, 27 Januari 2005, di Semarang. Ia memperoleh piagam MURI. Saya juga, sebagai pencetus Hari Epistoholik Nasional 27 Januari. Pak Aggi yang berasal dari Jakarta, saat itu tercatat memiliki 8 gelar akademis. Saya memperoleh kartu namanya. Tetapi saat ini, entah ketelisut di mana.

Data 8 gelar itu kemudian saya bocorkan kepada Erika Diana Rizanti, reporter acara televisi Buseeettt. Beberapa saat kemudian Pak Aggi muncul dalam acara yang bergaya Ripley’s Believe or Not itu. Saya juga ikut muncul, dalam kesempatan lain, sebagai seorang epistoholik.

Kisah Pak Aggi Tjetje itu sebenarnya menunjukkan betapa hebatnya otak manusia itu. Hal itu juga tergambar dalam film Phenomenon (1996) yang dibintangi oleh John Travolta (George Malley). Kalau Anda pernah menonton, semoga Anda masih ingat adegan saat dirinya mampu belajar bahasa Portugis secara cepat. Hanya dalam waktu 20 menit.

Ia juga mampu menerjemahkan bunyi gelombang radio, yang ternyata sinyal-sinyal komunikasi rahasia milik militer. Ketika ia mencoba membalas sinyal-sinyal tersebut, dirinya segera menjadi perburuan fihak militer AS untuk ditangkap dan diinterogasi.

“Keajaiban” semacam itu juga bisa Anda miliki. Harry Lorayne dalam bukunya Rahasia Dari Kekuatan Pikiran menegaskan kunci untuk mampu meraih sukses dan prestasi, termasuk dalam belajar, adalah antusiasme. “Tidak seorang pun yang pernah memperoleh pengetahuan yang mengagumkan tanpa semangat ketika melakukannya,” tuturnya.

Lanjutnya : “Apakah Anda pernah menulis esai ? Bila Anda mendekatinya sebagai tugas, atau dengan rasa benci, Anda tidak memerlukan saya untuk mengingatkan Anda betapa sulit pekerjan itu. Bila Anda mampu membangkitkan sedikit antusiasme mengenai pekerjaan itu, hasilnya bukan hanya esai yang lebih baik, tetapi mungkin sama sekali tidak menyerupai tugas. Anad merasa tugas itu bahkan dapat dinikmati.

Bila Anda termasuk orang yang tidak suka menulis surat, berhentilah menganggap itu sebagai tugas. Dekati pekerjaan itu dengan antusiasme dan Anda akan mulai menunggu saat untuk menulis surat. “

Apakah Anda juga memiliki antusias yang tinggi, misalnya dalam mengisi blog Anda ? Juga kapling My Note dalam akun Facebook Anda ?

Sedikit membuka rahasia : karena kecintaan, juga karena kegiatan menulis sebagai kegiatan belajar, maka sungguh suatu doping tersendiri bagi jiwa kalau saya bisa menulis sesuatu esai untuk blog-blog saya.

Kemarin malam (3/3/2010), sekitar jam 21.30, saya memperoleh bonusnya. Hal itu terjadi ketika saya mengirimkan email kepada Bang Wimar Witoelar. Saya meminta catatan atau endorsement dari beliau untuk suatu naskah buku.

“Siap. Saya akan menuliskannya dalam kesempatan pertama.”
Begitulah jawab Bang Wimar.
Dan beliau kemudian benar-benar melakukannya.
Terima kasih, Bang Wimar.

Semoga nanti tidak hanya nama dan pemikiran seorang Wimar Witoelar yang bakal Anda temui dalam buku tersebut. Semoga juga ada Antyo Rentjoko. Arswendo Atmowiloto. Diana AV Sasa. Effendi Gazali. Ira Lathief. Isman H Suryaman. Sampai Sarlito W. Sarwono.

Semua momen kejutan itu bisa terjadi berawal ketika blog saya diketemukan oleh seorang Faried Wijdan. Dari Etera Imania, Jakarta.

Siapa tahu, walau tidak hendak berniat menyaingi deretan ijazah di dinding rumah Edward Sang Drakula, minimal di dinding kamar saya kelak, saya bisa menikmati deretan beberapa karya buku. Yang embrionya dimulai dari blog, dari Facebook, juga dari percik antusias dan gelegak cinta sepenuh hati.

Termasuk yang ditulis di ujung-ujung puncak malam saat kota kecil Wonogiri diselimuti Clair de lune, karya indah dari Claude Debussy.


Wonogiri, 4 Maret 2010