Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau
Penulis : Bambang Haryanto
Format: 13 x 20,5 cm
ISBN: 978-602-96413-7-0
Jumlah halaman: xxxii +205
Harga: Rp 39.000,-
Soft cover
Terbit: 24 November 2010
Sinopsis : Membaca Komedikus Erektus, Anda akan merasa ada sesuatu yang menyelinap bersijingkat bukan saja ke otak Anda.
Tetapi juga ke rasa.
Hati. Pori-pori.
Bahkan ke pembuluh darah.
Sesuatu itu seperti mendesak-desak, mencubit-cubit, kadang bahkan menggaruk-garuk perasaan intelektual Anda.
Ia begitu rewel, mengajuk-ajuk, mengulik-ulik. Anda akan tergiring untuk duduk termenung-menung, terbengong-bengong dan seringkali bahkan tidak mampu melakukan apa-apa karena pengaruh “sihir”-nya.
Humornya sungguh mencengangkan, karena gagasan dan wawasannya sanggup menembus batas ruang, waktu dan hegemoni disiplin ilmu.
-Darminto M. Soedarmo, mantan pemimpin redaksi majalah HumOr.
Sebagian judul isi yang menohok syaraf tawa :
• Video Porno, Guantanamo dan Barack Obama.
• Heboh Bank Century: Canda dan Ironi.
• In Memoriam Gus Dur (1940-2009) : "Hanya Kita Saja Yang Masih Waras."
• Bir Obama, Polisi Korup dan Ketegasan SBY Kita.
• Ancaman Flu Babi, Golput dan Album SBY 2014.
• Facebook, Lumpur Lapindo dan Politikus Kita.
• Kejujuran dan Komedian Baru di Senayan.
Endorsement:
“Saya yakin judul buku ini tidak kalah heboh ketimbang buku berjudul ‘Gurita Sebuah Lokasi Itu’. Penulis lihai bermain secara bukan main-main dengan logika. “
-Jaya Suprana, Pendiri, Ketua dan Anggota Perhimpunan Pecinta Humor
“Dalam dunia ‘humor kuliner’, Bambang Haryanto jago analisis serta jago masaknya! Indonesia perlu puluhan orang seperti Bambang Haryanto, baru kemudian ada kemajuan di negeri ini. Di sanalah nantinya dunia humor kita akan lebih kaya, pluralis, dan makin cerdas!”
-Effendi Gazali, Ph.D. MPS ID, mantan juara lawak Sumatera Barat, alumnus Cornell University USA & Radboud University, the Netherlands
“Jika Anda ingin tertawa hari ini, juga memperoleh petunjuk meraih sukses? Bacalah buku ini.Titik !”
-Jerry Gogapasha, komedian dan ventriloquist, jerrygogapasha.com
Wonogiri, 25 November 2010
Kamis, 25 November 2010
Jumat, 12 November 2010
Warkop dan Buku Penebusan Dosa
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
"Comedy is tragedy
that happens to other people."
-Angela Carter (1940-1992),
novelis Inggris.
Warkop nampaknya tidak mengenal ucapan itu.
Semoga dugaan di atas itu salah adanya.
Untuk membuktikannya, publik humor Indonesia dapat melongokinya dalam buku tentang Warkop yang terbit bulan ini. Diluncurkan di Jakarta, 10 November 2010, dengan judul Main-main Jadi Bukan Main, yang ditulis mantan wartawan Kompas, Rudy Badil, yang juga pendiri kelompok lawak bersama Indro Warkop.
Seperti dilansir Kompas.com, Indro Warkop menuturkan di tengah peluncuran buku tersebut bahwa komedi itu harus mencerdaskan dan juga berkonsep. Tidak cuma sekadar mengundang tawa dengan hanya mengolok-olok sesama rekan pelawak. Komedi juga, kata dia, adalah sesuatu yang serius, bukan main-main.
"Buat kami komedi itu adalah hal yang serius. Tanpa keseriusan tak akan lahir yang namanya komedi," ujarnya. Dikatakan oleh satu-satunya pelawak Warkop yang masih hidup itu-setelah dua rekannya Dono dan Kasino wafat beberapa waktu lalu, komedi bukan sekadar lucu-lucuan, melainkan juga harus punya muatan yang mencerdaskan. Keseriusan untuk menularkan kecerdasan itulah yang kemudian mendorong dibuatnya buku tersebut.
Buku setebal 300 halaman itu melibatkan delapan penulis yang mencoba menghadirkan perspektif dari masing-masing penulis terhadap grup lawak legendaris ini. Mereka di antaranya Rudy Badil, mantan wartawan Kompas yang juga pendiri grup lawak Warkop, pengamat politik Budiarto Shambazy ("Mas Bas ini telah menulis endorsement untuk buku saya, Komedikus Erektus"), pengamat musik Denny Sakrie, budayawan Mohamad Sobary, Johannes Soerjoko, Frans Sartono, dan Dahono Fitrianto.
Apakah tidak ada nama Effendi Gazali di sana ? Kalau benar, pantas disayangkan karena dirinya ("yang telah pula menulis endorsement untuk buku saya, Komedikus Erektus"), sangat mengenal Wahyu "Dono Warkop" Sardono. Tidak hanya sebagai sesama akademisi di FSIP-UI tetapi juga pernah terlibat dalam diskusi kritis mengenai arah lawakan Warkop saat itu.
Saya sendiri tidak mengenal Dono secara pribadi. Akhir tahun 70-an di gedung bioskop Fajar di Solo, ketika terbius oleh promosi koran untuk menonton film perdananya, judulnya lupa, saya menontonnya.Sesudah itu, saya merasakan betapa mudah ketika menahan diri untuk tidak lagi tergoda menonton ketika membaca iklan-iklan dan promosi film-film Warkop berikutnya.
Tahun 1980 ketika berkuliah di UI, sesekali saya melihat Dono, juga Imam Prasojo sampai Yusril Ihza Mahendra, lagi nongkrong di warungnya Tuti, di kompleks Asrama UI Daksinapati, Rawamangun.
Effendi Gazali seperti tertuang dalam artikelnya berjudul "Dono dan Tolak Politisi Busuk" di Kompas, 30/12/2003, menceritakan betapa Dono memimpikan hadirnya lawakan cerdas, tetapi saat itu belum mungkin. Hal ini, menurutnya, terjadi akibat tekanan kebijakan TVRI saat itu. Juga tekanan politik dan ekonomi di era Orde Baru yang represif.
Effendi Gazali yang di tahun 1983 ketika duduk di SMA adalah juara melawak se-Propinsi Sumatera Barat, kemudian mengutip pertanyaan Dono : "Mungkinkah bikin lawakan a la Jay Leno atau David Letterman Show ?" Effendi pun membalas : "Kalau rakyat kita selalu dianggap tidak mampu mengerti lawakan cerdas, cita-cita itu pun akan menjadi in your dreams."
Proklamasi klise. Promosi Indro di atas bahwa komedi itu serius, tentu saja bukan hal baru. Proklamasi lama. Malah klise. Kurang kredibel. Karena publik humor Indonesia lebih mengenal tokoh-tokoh seperti almarhum Gus Dur, almarhum Arwah Setiawan sampai Jaya Suprana yang belum almarhum sampai saat ini, bahkan di saat Warkop masih merajalela dengan film-film komedinya yang terkenal "tidak cerdas" itu, mereka sudah pula tak jemu-jemu mengatakannya.
Bahkan, seperti ditunjukkan dalam sejarah hidup seorang Arwah Setiawan, dirinya telah bekerja keras dalam menyebarkan pemahaman yang luhur tersebut.
Walau pun demikian, terima kasih untuk Indro Warkop, yang telah sudi kembali mengingatkan hal penting itu. Merujuk penekanan itu kiranya publik humor Indonesia berharap sumbangan dari delapan penulis yang terkenal dan memiliki kapasitas yang terpercaya itu akan mampu mengelaborasi apa yang dikatakan Indro tersebut. Misalnya dalam bentuk memberikan tonggak-tonggak pemikiran yang cerdas demi menunjang perkembangan komedi Indonesia di masa datang.
Tetapi kita juga boleh ragu untuk mengharap terlalu banyak. Karena Rudy Badil sudah wanti-wanti, dengan berkata : "Pesan dari buku ini adalah pertemanan bagaimana mereka harus saling mengisi. Ini bisa dijadikan cerminan buat grup-grup lawak yang ada sekarang ini," kata Rudy Badil. Lanjutnya, "Buku ini lebih berisi suka duka dan fase kecil Warung Kopi. Ini bukan buku panduan bagaimana bisa melawak, tapi lebih pada proses kreativitas dan pertemanan."
Buku ini nampaknya memang tentang masa lalu.
Juga cocok untuk masa lalu.
Bahkan Indro Warkop menyebutnya sebagai buku kenangan. "Terus terang, obsesi saya hanya buku ini. Karena mungkin ini pelaku sejarahnya masih ada. Saya sudah kehilangan tiga sahabat. Kalau kemudian kehilangan lagi pelaku sejarahnya, mungkin saya nggak akan bikin buku," ujarnya lebih lanjut.
Buku ini nampaknya memang sebuah nyanyian angsa. Buku perpisahan. Karena publik Indonesia, bila mau jeli mencatat dan melihat aksi-aksi Indro sendiri dalam bermain komedi di televisi jauh sesudah dua rekannya tiada, nampaknya memang tidak banyak warisan berharga yang bisa kita harapkan lagi dari dirinya.
Buku itu kiranya menjadi warisan terakhirnya. Tentu saja berharga, dengan catatan : kalau isinya mampu membuat pembaca yang cerdas menjadi tertawa. Terutama mereka yang tidak bisa tertawa, apalagi muak, melihat suguhan komedi-komedi bodoh dari film-filmnya selama ini. Bila itu yang terjadi, maka buku ini bakal menjadi buku kenangan yang istimewa.
Terlebih lagi bila kita nanti disuguhi rentetan cerita-cerita true story yang kaya mengenai tragedi demi tragedi (dua personilnya meninggal karena kanker, antara lain karena ignoransi), juga paparan yang menghumori kekonyolan atau kebodohan, self-deprecating, dari personil Warkop yang selama ini mungkin melulu tersembunyi di balik layar. Paparan kisah semacam yang diogahi para pemimpin kita yang mengagung-agungkan pencitraan ini, jelas akan membuat kita sebagai manusia menjadi percaya bahwa Warkop juga mengenal inti ajaran luhur Angela Carter di atas.
Karena inilah saat terakhirnya, menurut hemat saya, melalui buku itu, sejarah hidup Warkop dibuka dan dipanggungkan dengan total untuk menjadi bulan-bulanan tawa audien pembacanya. Untuk menguak kesejatian darah humor dalam nadinya, sebagaimana seorang Bert Williams pernah menyabdakan bahwa "the man with the real sense of humor is the man who can put himself in the spectator's place and laugh at his own misfortune."
Karena hanya dengan sikap rendah hati itu, dengan selera humor yang sejati itu, maka akan semakin lengkap potret misi keberadaan mereka. Selain di panggung hiburan dan terutama di panggung kehidupan sebagai manusia, di mana kisah-kisah hidup mereka berpeluang mampu untuk merasuki kalbu-kalbu pembacanya.
Junk memory. Kalau tidak, boleh jadi kita akan hanya mampu mengenang saat film-film Warkop selalu diputar di televisi. Utamanya di saat-saat kita merayakan hari lebaran. Di saat kita dengan tulus saling bermaaf-maafan dengan sesama.
Tetapi tidak ada maaf untuk produsen film-film Warkop. Karena cakar merekalah yang membuat tiga atau empat insan kocak Warkop itu hanya menjadi ikon yang ndesel-ndesel, yang bersikeras memaksa masuk, tetapi akhirnya hanya sebagai junk memory dari khasanah kenangan budaya populer kita.
Tidak ada maaf pula karena mereka telah rela menjadi tahanan jeruji besi industri tontonan komersial yang mencekik nalar sehat, yang tidak seperti diangankan oleh Indro Warkop saat ini, nyatanya memang jauh dari selera cerdas dan cendekia.
Sehingga buku ini, dengan memohon maaf, menurut saya sepertinya cocok bila kita anggap sebagai upaya Warkop untuk melakukan upacara ruwatan atau penebusan dosa. Walau sebenarnya akan lebih menyentuh lagi bila Indrojoyo Kusumonegoro pribadi, sebagai the last Mohican, yang menulisnya sendiri.
Tetapi sepertinya, sebagai hal kronis yang menyerimpung otak komedian-komedian lainnya di Indonesia, ia tidak mampu melakukannya. Nampaknya sosok Wahyu "Dono Warkop" Sardono merupakan tokoh dominan, termasuk sebagai penulis naskah dan otak terbaik dari sukses Warkop selama ini. Tetapi kita tahu, pada tanggal 30 Desember 2001, Dono telah mendahului kita semua.
Indro Warkop kini melakukannya dengan meminjam tangan-tangan orang lain. Bukan keputusan yang buruk. Sebelum semuanya menjadi sangat terlambat.
Semoga saja mereka-mereka itu mampu mengambil peran bukan sebagai tukang-tukang sepuh emas untuk mempercantik kaleng yang berkarat. Bila harapan itu terpenuhi, maka kehadiran buku langka ini pantas kita sambut hangat.
Wonogiri, 13 November 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
"Comedy is tragedy
that happens to other people."
-Angela Carter (1940-1992),
novelis Inggris.
Warkop nampaknya tidak mengenal ucapan itu.
Semoga dugaan di atas itu salah adanya.
Untuk membuktikannya, publik humor Indonesia dapat melongokinya dalam buku tentang Warkop yang terbit bulan ini. Diluncurkan di Jakarta, 10 November 2010, dengan judul Main-main Jadi Bukan Main, yang ditulis mantan wartawan Kompas, Rudy Badil, yang juga pendiri kelompok lawak bersama Indro Warkop.
Seperti dilansir Kompas.com, Indro Warkop menuturkan di tengah peluncuran buku tersebut bahwa komedi itu harus mencerdaskan dan juga berkonsep. Tidak cuma sekadar mengundang tawa dengan hanya mengolok-olok sesama rekan pelawak. Komedi juga, kata dia, adalah sesuatu yang serius, bukan main-main.
"Buat kami komedi itu adalah hal yang serius. Tanpa keseriusan tak akan lahir yang namanya komedi," ujarnya. Dikatakan oleh satu-satunya pelawak Warkop yang masih hidup itu-setelah dua rekannya Dono dan Kasino wafat beberapa waktu lalu, komedi bukan sekadar lucu-lucuan, melainkan juga harus punya muatan yang mencerdaskan. Keseriusan untuk menularkan kecerdasan itulah yang kemudian mendorong dibuatnya buku tersebut.
Buku setebal 300 halaman itu melibatkan delapan penulis yang mencoba menghadirkan perspektif dari masing-masing penulis terhadap grup lawak legendaris ini. Mereka di antaranya Rudy Badil, mantan wartawan Kompas yang juga pendiri grup lawak Warkop, pengamat politik Budiarto Shambazy ("Mas Bas ini telah menulis endorsement untuk buku saya, Komedikus Erektus"), pengamat musik Denny Sakrie, budayawan Mohamad Sobary, Johannes Soerjoko, Frans Sartono, dan Dahono Fitrianto.
Apakah tidak ada nama Effendi Gazali di sana ? Kalau benar, pantas disayangkan karena dirinya ("yang telah pula menulis endorsement untuk buku saya, Komedikus Erektus"), sangat mengenal Wahyu "Dono Warkop" Sardono. Tidak hanya sebagai sesama akademisi di FSIP-UI tetapi juga pernah terlibat dalam diskusi kritis mengenai arah lawakan Warkop saat itu.
Saya sendiri tidak mengenal Dono secara pribadi. Akhir tahun 70-an di gedung bioskop Fajar di Solo, ketika terbius oleh promosi koran untuk menonton film perdananya, judulnya lupa, saya menontonnya.Sesudah itu, saya merasakan betapa mudah ketika menahan diri untuk tidak lagi tergoda menonton ketika membaca iklan-iklan dan promosi film-film Warkop berikutnya.
Tahun 1980 ketika berkuliah di UI, sesekali saya melihat Dono, juga Imam Prasojo sampai Yusril Ihza Mahendra, lagi nongkrong di warungnya Tuti, di kompleks Asrama UI Daksinapati, Rawamangun.
Effendi Gazali seperti tertuang dalam artikelnya berjudul "Dono dan Tolak Politisi Busuk" di Kompas, 30/12/2003, menceritakan betapa Dono memimpikan hadirnya lawakan cerdas, tetapi saat itu belum mungkin. Hal ini, menurutnya, terjadi akibat tekanan kebijakan TVRI saat itu. Juga tekanan politik dan ekonomi di era Orde Baru yang represif.
Effendi Gazali yang di tahun 1983 ketika duduk di SMA adalah juara melawak se-Propinsi Sumatera Barat, kemudian mengutip pertanyaan Dono : "Mungkinkah bikin lawakan a la Jay Leno atau David Letterman Show ?" Effendi pun membalas : "Kalau rakyat kita selalu dianggap tidak mampu mengerti lawakan cerdas, cita-cita itu pun akan menjadi in your dreams."
Proklamasi klise. Promosi Indro di atas bahwa komedi itu serius, tentu saja bukan hal baru. Proklamasi lama. Malah klise. Kurang kredibel. Karena publik humor Indonesia lebih mengenal tokoh-tokoh seperti almarhum Gus Dur, almarhum Arwah Setiawan sampai Jaya Suprana yang belum almarhum sampai saat ini, bahkan di saat Warkop masih merajalela dengan film-film komedinya yang terkenal "tidak cerdas" itu, mereka sudah pula tak jemu-jemu mengatakannya.
Bahkan, seperti ditunjukkan dalam sejarah hidup seorang Arwah Setiawan, dirinya telah bekerja keras dalam menyebarkan pemahaman yang luhur tersebut.
Walau pun demikian, terima kasih untuk Indro Warkop, yang telah sudi kembali mengingatkan hal penting itu. Merujuk penekanan itu kiranya publik humor Indonesia berharap sumbangan dari delapan penulis yang terkenal dan memiliki kapasitas yang terpercaya itu akan mampu mengelaborasi apa yang dikatakan Indro tersebut. Misalnya dalam bentuk memberikan tonggak-tonggak pemikiran yang cerdas demi menunjang perkembangan komedi Indonesia di masa datang.
Tetapi kita juga boleh ragu untuk mengharap terlalu banyak. Karena Rudy Badil sudah wanti-wanti, dengan berkata : "Pesan dari buku ini adalah pertemanan bagaimana mereka harus saling mengisi. Ini bisa dijadikan cerminan buat grup-grup lawak yang ada sekarang ini," kata Rudy Badil. Lanjutnya, "Buku ini lebih berisi suka duka dan fase kecil Warung Kopi. Ini bukan buku panduan bagaimana bisa melawak, tapi lebih pada proses kreativitas dan pertemanan."
Buku ini nampaknya memang tentang masa lalu.
Juga cocok untuk masa lalu.
Bahkan Indro Warkop menyebutnya sebagai buku kenangan. "Terus terang, obsesi saya hanya buku ini. Karena mungkin ini pelaku sejarahnya masih ada. Saya sudah kehilangan tiga sahabat. Kalau kemudian kehilangan lagi pelaku sejarahnya, mungkin saya nggak akan bikin buku," ujarnya lebih lanjut.
Buku ini nampaknya memang sebuah nyanyian angsa. Buku perpisahan. Karena publik Indonesia, bila mau jeli mencatat dan melihat aksi-aksi Indro sendiri dalam bermain komedi di televisi jauh sesudah dua rekannya tiada, nampaknya memang tidak banyak warisan berharga yang bisa kita harapkan lagi dari dirinya.
Buku itu kiranya menjadi warisan terakhirnya. Tentu saja berharga, dengan catatan : kalau isinya mampu membuat pembaca yang cerdas menjadi tertawa. Terutama mereka yang tidak bisa tertawa, apalagi muak, melihat suguhan komedi-komedi bodoh dari film-filmnya selama ini. Bila itu yang terjadi, maka buku ini bakal menjadi buku kenangan yang istimewa.
Terlebih lagi bila kita nanti disuguhi rentetan cerita-cerita true story yang kaya mengenai tragedi demi tragedi (dua personilnya meninggal karena kanker, antara lain karena ignoransi), juga paparan yang menghumori kekonyolan atau kebodohan, self-deprecating, dari personil Warkop yang selama ini mungkin melulu tersembunyi di balik layar. Paparan kisah semacam yang diogahi para pemimpin kita yang mengagung-agungkan pencitraan ini, jelas akan membuat kita sebagai manusia menjadi percaya bahwa Warkop juga mengenal inti ajaran luhur Angela Carter di atas.
Karena inilah saat terakhirnya, menurut hemat saya, melalui buku itu, sejarah hidup Warkop dibuka dan dipanggungkan dengan total untuk menjadi bulan-bulanan tawa audien pembacanya. Untuk menguak kesejatian darah humor dalam nadinya, sebagaimana seorang Bert Williams pernah menyabdakan bahwa "the man with the real sense of humor is the man who can put himself in the spectator's place and laugh at his own misfortune."
Karena hanya dengan sikap rendah hati itu, dengan selera humor yang sejati itu, maka akan semakin lengkap potret misi keberadaan mereka. Selain di panggung hiburan dan terutama di panggung kehidupan sebagai manusia, di mana kisah-kisah hidup mereka berpeluang mampu untuk merasuki kalbu-kalbu pembacanya.
Junk memory. Kalau tidak, boleh jadi kita akan hanya mampu mengenang saat film-film Warkop selalu diputar di televisi. Utamanya di saat-saat kita merayakan hari lebaran. Di saat kita dengan tulus saling bermaaf-maafan dengan sesama.
Tetapi tidak ada maaf untuk produsen film-film Warkop. Karena cakar merekalah yang membuat tiga atau empat insan kocak Warkop itu hanya menjadi ikon yang ndesel-ndesel, yang bersikeras memaksa masuk, tetapi akhirnya hanya sebagai junk memory dari khasanah kenangan budaya populer kita.
Tidak ada maaf pula karena mereka telah rela menjadi tahanan jeruji besi industri tontonan komersial yang mencekik nalar sehat, yang tidak seperti diangankan oleh Indro Warkop saat ini, nyatanya memang jauh dari selera cerdas dan cendekia.
Sehingga buku ini, dengan memohon maaf, menurut saya sepertinya cocok bila kita anggap sebagai upaya Warkop untuk melakukan upacara ruwatan atau penebusan dosa. Walau sebenarnya akan lebih menyentuh lagi bila Indrojoyo Kusumonegoro pribadi, sebagai the last Mohican, yang menulisnya sendiri.
Tetapi sepertinya, sebagai hal kronis yang menyerimpung otak komedian-komedian lainnya di Indonesia, ia tidak mampu melakukannya. Nampaknya sosok Wahyu "Dono Warkop" Sardono merupakan tokoh dominan, termasuk sebagai penulis naskah dan otak terbaik dari sukses Warkop selama ini. Tetapi kita tahu, pada tanggal 30 Desember 2001, Dono telah mendahului kita semua.
Indro Warkop kini melakukannya dengan meminjam tangan-tangan orang lain. Bukan keputusan yang buruk. Sebelum semuanya menjadi sangat terlambat.
Semoga saja mereka-mereka itu mampu mengambil peran bukan sebagai tukang-tukang sepuh emas untuk mempercantik kaleng yang berkarat. Bila harapan itu terpenuhi, maka kehadiran buku langka ini pantas kita sambut hangat.
Wonogiri, 13 November 2010
Sabtu, 05 Juni 2010
Kita 100 Tahun Lagi Menanti Obama Tiba
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Rasan-rasan Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas, akhirnya menjadi kenyataan. Barack Obama gagal lagi berkunjung ke Indonesia. Rumor pun segera berseliweran.
Obama telah menelpon SBY (4/6/2010), meminta maaf, karena menunda kunjungannya ke Indonesia. Seharusnya ia tiba pertengahan Juni ini, tetapi memutuskan diundur pada bulan November 2010 mendatang.
Dengan alasan : Obama ingin berkonsentrasi mencari solusi atas bencana lingkungan hidup yang konon terdahsyat di AS hingga saat ini : tumpahan minyak pada ladang pengeboran milik British Petroleum (BP) di kawasan Teluk Meksiko.
Kabar burung pun segera menyebar. Penundaan kunjungan Obama itu konon dilakukan atas saran Indonesia. Terlebih lagi, karena situasi Indonesia sendiri memang kurang kondusif saat ini. Wartawan senior Kompas Budiarto Shambazy (foto) telah mengutarakan analisis yang menarik.
Ia yang piawai dan tajam menulis tentang politik, satir politik (dengan idola komedian politik top Bill Maher), sepakbola sampai musik 70-80-an terentang dari Led Zeppelin sampai The Rolling Stone, dan bersedia pula menulis endorsement untuk buku Komedikus Erektus saya ("isinya bikin kepala saya bengkak"- BH), dalam status di akun Facebooknya mengatakan bahwa dampak penyerbuan pasukan komando Israel terhadap kapal Mavi Marmara yang bermisikan kemanusiaan ke Gaza baru-baru ini hanya akan memicu panen raya demo ketika Obama tiba di Indonesia.
Rupanya Gedung Putih mendengar analisisnya itu, tetapi bencana di Teluk Meksiko yang mereka jadikan bemper alasan.
Kabar burung lain, Obama menunda kehadirannya karena dia tidak ingin mengusik kekhusukan rakyat Indonesia. Utamanya karena selama bulan Juni-Juli ini penduduk negara gila bola tetapi timnasnya memble di Asia Tenggara ini memilih untuk hanyut dan terbius oleh sajian laga pemain sepakbola top dunia di arena Piala Dunia 2010 Afrika Selatan.
Alasan ini, lagi-lagi, konon diusulkan oleh fihak Indonesia. Dengan alasan, demi strategi citra dan taktik kehumasan. Untuk hal satu ini, sejak SBY memerintah, Indonesia kini memang dikenal di dunia dengan strategi yang terkenal sebagai pemberdayaan kekuatan lunak, soft power itu, dan Gedung Putih pun nampak mengamininya.
Karena lucu juga, betapa kehadiran presiden negara adi daya itu nantinya justru dicuekkan oleh rakyat Indonesia yang lebih suka membicarakan Didier Drogba, Shunsuke Nakamura, sampai Lionel Messi. Penasehat kehumasan Obama rupanya maklum akan posisi itu dan mereka dengan rendah hati menyetujui usulan Indonesia yang masuk akal itu.
Tetapi ada juga alasan berbasis kekuatan lunak yang tidak banyak menyeruak ke telinga publik. Tetapi menggema di lingkaran industri musik dunia. Rumor yang santer beredar bahwa penundaan kunjungan Obama itu dilakukan karena rakyat Amerika Serikat mendengar kabar bahwa Presiden SBY akan menciptakan lagu-lagu spesial untuk mantan murid SD di Menteng itu. "Kita berikan waktu yang cukup sampai November, agar SBY lebih tenang dalam mencipta lagu agar berpeluang menjadi hit dunia," kata Roger Eissenblatt, redaktur majalah bisnis musik dunia Billabong Boards.
Ia merujuk isi majalah TIME edisi 8 March 2010 dalam sudut Short List (TIME's Picks For The Week) yang berisi daftar DVD, CD dan film yang ngetop. Lagu ciptaan SBY, "Ku yakin Sampai di Sana" (diterjemahkan menjadi "I'm Sure We'll Get There") berada di peringkat kedua dari lima nomor yang tampil. Bahkan telah dikomentari majalah itu sebagai "mediocre music, but a fabulous curiosity piece."
Lagu terbaru andalan SBY untuk menyambut Obama itu konon berjudul sementara "Menteng Dalam, Not Menteng Gedongan." Isi albumnya antara lain diperkaya dengan nomor-nomor populis berjudul "Kompor Gas Meleduk Ramai-Ramai," "Tarif PLN Nyetroom Lagi," "Meteor Ngibrit," "Anas Terpilih, Tapi Bukan Pilihanku," sampai judul "IBM-1 : Ibas Mallarangeng, Pemimpin Sinergi Masa Depan."
Untuk menunjukkan kelokalan, iramanya memang kental bergaya gambang kromong. Tetapi sebagian orang lingkaran dalam istana mengusulkan adanya sentuhan bernuansa global. "Sehingga harus juga kuat unsur hip-hop yang mendunia," katanya. Kata pendukung globalisasi ini, "itu lho, seperti lagunya K'naan, 'Waving Flag yang menjadi lagu tema Piala Dunia 2010 Afrika Selatan."
Suara yang mendukung lokal vs suara global itu kini sedang sengit berdiskusi. Dan seperti biasanya, seperti sering dikatakan oleh juru bicara kepresidenan, bahwa RI-1 akan menyerap segala pertimbangan dan akan memutuskannya bila waktunya sudah tepat dan secara terukur pula nantinya.
Yang pasti, rakyat Indonesia harus bersabar lagi, untuk kembali lagi menanti kedatangan Obama. Rakyat Indonesia punya kesabaran yang tinggi. Kita pun akan bertoleransi bila kunjungan Obama itu baru akan terlaksana 100 tahun lagi. Tetapi kalau ia menunda kunjungannya ke Indonesia dan Australia gara-gara ingin menyelesaikan dulu bencana lingkungan di Teluk Meksiko itu, barangkali kita semua bisa bercermin. Untuk mengambil hikmah.
Kalau saja pemimpin kita memiliki kepedulian seluhur dia, maka sejak meluapnya lumpur panas Lapindo di Porong empat tahun lalu itu maka seharusnya tidak ada kunjungan presiden-presiden kita ke luar negeri. Dan kalau bencana Lapindo itu diperkirakan akan baru surut 50-100 tahun lagi, mungkin nasib presiden-presiden kita seperti para pemimpin junta militer yang opresif di Birma.
Kita doakan Obama sukses menuntaskan bencana luberan minyak BP di Teluk Meksiko itu. Ketika ia datang, kita bisa banyak bertanya. Siapa tahu resepnya itu bisa pula dipergunakan untuk mengakhiri penderitaan rakyat Porong sejak 4 tahun itu. Atau mungkin kemudian "lelaki itu" yang tokoh kuat di Indonesia bisa mengajak Obama bercanda :
"Kalau orang seperti Sri Mulyani Indrawati bisa saya paksa pergi ke Amerika Serikat, lalu sebentar lagi Dino Patti Djalal diangkat menjadi duta besar Indonesia di Amerika Serikat, bagaimana kalau kita meminta bantuan Sukosrono agar bencana lumpur panas Sidoarjo itu bisa saya pindahkan ke Amerika Serikat juga ?"
Wonogiri, 5 Juni 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Rasan-rasan Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas, akhirnya menjadi kenyataan. Barack Obama gagal lagi berkunjung ke Indonesia. Rumor pun segera berseliweran.
Obama telah menelpon SBY (4/6/2010), meminta maaf, karena menunda kunjungannya ke Indonesia. Seharusnya ia tiba pertengahan Juni ini, tetapi memutuskan diundur pada bulan November 2010 mendatang.
Dengan alasan : Obama ingin berkonsentrasi mencari solusi atas bencana lingkungan hidup yang konon terdahsyat di AS hingga saat ini : tumpahan minyak pada ladang pengeboran milik British Petroleum (BP) di kawasan Teluk Meksiko.
Kabar burung pun segera menyebar. Penundaan kunjungan Obama itu konon dilakukan atas saran Indonesia. Terlebih lagi, karena situasi Indonesia sendiri memang kurang kondusif saat ini. Wartawan senior Kompas Budiarto Shambazy (foto) telah mengutarakan analisis yang menarik.
Ia yang piawai dan tajam menulis tentang politik, satir politik (dengan idola komedian politik top Bill Maher), sepakbola sampai musik 70-80-an terentang dari Led Zeppelin sampai The Rolling Stone, dan bersedia pula menulis endorsement untuk buku Komedikus Erektus saya ("isinya bikin kepala saya bengkak"- BH), dalam status di akun Facebooknya mengatakan bahwa dampak penyerbuan pasukan komando Israel terhadap kapal Mavi Marmara yang bermisikan kemanusiaan ke Gaza baru-baru ini hanya akan memicu panen raya demo ketika Obama tiba di Indonesia.
Rupanya Gedung Putih mendengar analisisnya itu, tetapi bencana di Teluk Meksiko yang mereka jadikan bemper alasan.
Kabar burung lain, Obama menunda kehadirannya karena dia tidak ingin mengusik kekhusukan rakyat Indonesia. Utamanya karena selama bulan Juni-Juli ini penduduk negara gila bola tetapi timnasnya memble di Asia Tenggara ini memilih untuk hanyut dan terbius oleh sajian laga pemain sepakbola top dunia di arena Piala Dunia 2010 Afrika Selatan.
Alasan ini, lagi-lagi, konon diusulkan oleh fihak Indonesia. Dengan alasan, demi strategi citra dan taktik kehumasan. Untuk hal satu ini, sejak SBY memerintah, Indonesia kini memang dikenal di dunia dengan strategi yang terkenal sebagai pemberdayaan kekuatan lunak, soft power itu, dan Gedung Putih pun nampak mengamininya.
Karena lucu juga, betapa kehadiran presiden negara adi daya itu nantinya justru dicuekkan oleh rakyat Indonesia yang lebih suka membicarakan Didier Drogba, Shunsuke Nakamura, sampai Lionel Messi. Penasehat kehumasan Obama rupanya maklum akan posisi itu dan mereka dengan rendah hati menyetujui usulan Indonesia yang masuk akal itu.
Tetapi ada juga alasan berbasis kekuatan lunak yang tidak banyak menyeruak ke telinga publik. Tetapi menggema di lingkaran industri musik dunia. Rumor yang santer beredar bahwa penundaan kunjungan Obama itu dilakukan karena rakyat Amerika Serikat mendengar kabar bahwa Presiden SBY akan menciptakan lagu-lagu spesial untuk mantan murid SD di Menteng itu. "Kita berikan waktu yang cukup sampai November, agar SBY lebih tenang dalam mencipta lagu agar berpeluang menjadi hit dunia," kata Roger Eissenblatt, redaktur majalah bisnis musik dunia Billabong Boards.
Ia merujuk isi majalah TIME edisi 8 March 2010 dalam sudut Short List (TIME's Picks For The Week) yang berisi daftar DVD, CD dan film yang ngetop. Lagu ciptaan SBY, "Ku yakin Sampai di Sana" (diterjemahkan menjadi "I'm Sure We'll Get There") berada di peringkat kedua dari lima nomor yang tampil. Bahkan telah dikomentari majalah itu sebagai "mediocre music, but a fabulous curiosity piece."
Lagu terbaru andalan SBY untuk menyambut Obama itu konon berjudul sementara "Menteng Dalam, Not Menteng Gedongan." Isi albumnya antara lain diperkaya dengan nomor-nomor populis berjudul "Kompor Gas Meleduk Ramai-Ramai," "Tarif PLN Nyetroom Lagi," "Meteor Ngibrit," "Anas Terpilih, Tapi Bukan Pilihanku," sampai judul "IBM-1 : Ibas Mallarangeng, Pemimpin Sinergi Masa Depan."
Untuk menunjukkan kelokalan, iramanya memang kental bergaya gambang kromong. Tetapi sebagian orang lingkaran dalam istana mengusulkan adanya sentuhan bernuansa global. "Sehingga harus juga kuat unsur hip-hop yang mendunia," katanya. Kata pendukung globalisasi ini, "itu lho, seperti lagunya K'naan, 'Waving Flag yang menjadi lagu tema Piala Dunia 2010 Afrika Selatan."
Suara yang mendukung lokal vs suara global itu kini sedang sengit berdiskusi. Dan seperti biasanya, seperti sering dikatakan oleh juru bicara kepresidenan, bahwa RI-1 akan menyerap segala pertimbangan dan akan memutuskannya bila waktunya sudah tepat dan secara terukur pula nantinya.
Yang pasti, rakyat Indonesia harus bersabar lagi, untuk kembali lagi menanti kedatangan Obama. Rakyat Indonesia punya kesabaran yang tinggi. Kita pun akan bertoleransi bila kunjungan Obama itu baru akan terlaksana 100 tahun lagi. Tetapi kalau ia menunda kunjungannya ke Indonesia dan Australia gara-gara ingin menyelesaikan dulu bencana lingkungan di Teluk Meksiko itu, barangkali kita semua bisa bercermin. Untuk mengambil hikmah.
Kalau saja pemimpin kita memiliki kepedulian seluhur dia, maka sejak meluapnya lumpur panas Lapindo di Porong empat tahun lalu itu maka seharusnya tidak ada kunjungan presiden-presiden kita ke luar negeri. Dan kalau bencana Lapindo itu diperkirakan akan baru surut 50-100 tahun lagi, mungkin nasib presiden-presiden kita seperti para pemimpin junta militer yang opresif di Birma.
Kita doakan Obama sukses menuntaskan bencana luberan minyak BP di Teluk Meksiko itu. Ketika ia datang, kita bisa banyak bertanya. Siapa tahu resepnya itu bisa pula dipergunakan untuk mengakhiri penderitaan rakyat Porong sejak 4 tahun itu. Atau mungkin kemudian "lelaki itu" yang tokoh kuat di Indonesia bisa mengajak Obama bercanda :
"Kalau orang seperti Sri Mulyani Indrawati bisa saya paksa pergi ke Amerika Serikat, lalu sebentar lagi Dino Patti Djalal diangkat menjadi duta besar Indonesia di Amerika Serikat, bagaimana kalau kita meminta bantuan Sukosrono agar bencana lumpur panas Sidoarjo itu bisa saya pindahkan ke Amerika Serikat juga ?"
Wonogiri, 5 Juni 2010
Selasa, 04 Mei 2010
Ira Lathief, Lelucon iPad dan Piala DuniaTawa
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Komedian itu mirip wartawan.
Sama-sama suka kabar buruk.
Tentang wartawan, saya akan mengutip isi blog kawan maya saya, Ira Lathief (foto). Ia telah menghasilkan buku-buku menarik.
Antara lain : Tukul Arwana : Kumis Lele Rezeki Arwana (Biografi, 2007), Kumpulan Rayuan Gombal (2007), Tebak-Tebakan Gokil Abiz Plus Humor Buat Gaul (2008), Kumpulan Rayuan Super Gombal (2009), Tebak-Tebakan & SMS Kocak (2009) dan Kumpulan Status Facebook Paling Seru (2009).
Ira yang memiliki blog dengan slogan “think globally, laugh locally” telah pula berkenan menulis endorsement yang inspiratif dan insinuatif untuk buku saya, Komedikus Erektus, yang kini dalam perampungan akhir oleh Faried Wijdan dan kawan-kawan di Etera Imania dan menunggu diluncurkan.
Ketika Ira Lathief menulis pengalamannya sebagai relawan di Aceh pasca-tsunami, ia sempat menyentil tentang membeludaknya kabar buruk tentang negeri ini yang mampir di benaknya dan atmosfir tempat dia bekerja. Ira menulis :
“Belakangan kayaknya kita ‘dibombardir’ rentetan berita buruk dari berbagai media massa. Ditambah lagi ….. orang “berlomba-lomba” mengkritik dan saling menyalahkan. ABCDEF. Aduh Booo…..Cape Deyyyy…Eikee Fusyiing!!! Koq…..seakan-akan bangsa ini gak berenti2 dirundung kemalangan :( TANYA KENAPA???
Berita buruk dan segala macam kritik adalah ‘makanan’ aku sehari-hari. Di lingkungan dunia pemberitaan yang bergelut dengan rating, tempatku mengais-ngais intan dan berlian, aku udah "kenyang" dikondisikan untuk mencari segala kekurangan dan kelemahan dari sebuah peristiwa atau juga orang lain. Well…bad news is always a good news, what can I say!
I love my job, I love what I’m doing. Tapi, sebenernya lingkungan seperti ini sangat memungkinkan aku untuk menjadi pribadi yang juga "negatif", kalo saja aku gak bisa ‘menyiasatinya.’ Untungnya, aku masih ‘diselamatkan’ oleh orang-orang luar biasa, yang selalu ‘menyadarkan,’ bahwa bertindak dan berbuat sesuatu adalah jauh lebih berarti daripada sekedar mengkritik.”
Ira yang beruntung. Beruntung pula mereka yang mau menjalani nasehat Andrew Weil, M.D. Ia ibarat sosok “nabi” dalam kancah pengobatan alternatif dunia, walau sebenarnya ia lulusan fakultas kedokteran Universitas Harvard. Dalam wawancara dengan majalah Housekeeping beberapa waktu lalu, di mana saya lupa mencatat nomor edisinya, tetapi saya fotokopi dari Perpustakaan LIA Jakarta Timur, 14 Januari 1998, ia mengajukan hal yang menarik dan kontroversial.
Sambil merujuk isi buku Weil terbaru yang laris, berjudul 8 Weeks to Optimum Health, Bonnie Rubin, si pewawancara, mengutarakan bahwa Andrew Weil menganjurkan agar orang puasa berita. Yaitu absen dari membaca media cetak, tidak mendengarkan radio dan absen nonton televisi, sebagai cara memperoleh ketenangan yang lebih optimal. “Tetapi bukankah terlibat secara aktif dengan keadaan yang terjadi di dunia merupakan nilai plus ?,” tanya Bonnie Rubin.
“Saya tidak menuntut agar orang menjadi buta informasi, tetapi kita harus melakukan pilihan terhadap asupan berita-berita itu,” jawabnya. “Mendengarkan berita dapat menjadi sumber agitasi atau gejolak mental yang tidak kita sadari. Terutama dengan membanjirnya cerita-cerita duka nestapa yang memicu perasaan marah, tidak berdaya dan keberingasan, di mana semua itu menjadi latar belakang kegaduhan bagi hidup kita, baik ketika kita sedang makan atau menyopir, sementara kita tidak memperhatikan dampak semua itu bagi kondisi mental kita.”
Betul juga. Mudah kita bayangkan apa yang terjadi bila tiap hari mental kita dihajar dengan asupan-asupan informasi semacam itu. Mungkin dampaknya berupa siklus tanpa henti : kekerasan, berita kekerasan, kekerasan yang lebih ganas lagi, berita kekerasan yang lebih mencekam lagi, dan seterusnya. Dan seterusnya lagi.
Bahan olok-olok. Lalu bagaimana kaitan antara kabar buruk dengan komedian ? Kabar buruk itu, utamanya yang menyangkut tokoh terkenal, baik artis, pebisnis, politisi atau birokrat yang korup, yang melakukan deviasi, senantiasa menjadi bahan santapan lezat para komedian untuk dijadikan bahan tertawaan secara bersama-sama.
Komedian terkenal Jon Stewart, menjelang tampil sebagai host penganugerahan Oscar di tahun 2006, mengatakan bahwa dirinya telah bersyukur kepada Tuhan. Pengarang buku humor politik laris America (The Book): A Citizen's Guide to Democracy Inaction itu merujuk munculnya peristiwa tragis yang tiba-tiba.
Ibarat ia dapat durian runtuh, karena melibatkan nama besar. Wakil Presiden Dick Cheney ketika itu berburu burung puyuh bersama rekan-rekannya. Lalu secara tidak sengaja justru menembak kawannya sendiri, pengacara sohor Harry Whittington. Jon Stewart melucukannya :
“Wapres AS Dick Cheney secara tidak sengaja menembak seseorang ketika berburu burung puyuh...membuat Harry Whittington sebagai orang pertama ditembak wakil presiden AS sejak Alexander Hamilton. Hamilton terlibat tembak-menembak dengan Aaron Burr demi mempertahankan kehormatan, integritas dan manuver politik. Whittington ? Tertembak karena dikira seekor burung !”
Lelucon Stewart yang satu ini menarik. Terutama karena peristiwa duel antara Alexander Hamilton (1755-1804) melawan Aaron Burr (1756-1836) itu sudah terjadi lebih dari 200 tahun yang lalu. Tetapi mengapa peristiwa tersebut masih hidup dalam ingatan bangsa Amerika ? Bahkan masih juga relevan menjadi bahan guyonan masa kini. Karena mereka memiliki fondamen budaya literasi, budaya baca dan tulis, yang telah kokoh.
Hikmahnya, bagi saya, barangkali itulah salah satu mukjijat humor. Sebagai media untuk melestarikan nurani bangsa agar tidak terkena amnesia sejarah. Sayangnya, nampaknya tidak banyak pemangku kepentingan dunia humor kita yang mampu merenung, lalu berusaha melahirkan, mengembangkan dan menanamkan keluhuran humor semacam ini sebagai penjaga moral kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini.
Kita lebih sering seperti keledai, lupa dan lupa lagi, sehingga terantuk pada lubang yang sama lagi. Apalagi terhadap dinamika politik yang terjadi. Ingatan bangsa ini memang pendek, sentil sobat saya Effendi Gazali. Akibatnya, seperti kata filsuf George Santayana (1863–1952), “mereka yang tidak mampu mengingat masa lampau akan dikutuk untuk mengulanginya kembali.”
Sebagai pelaku aktif gejolak peradaban, komedian memang harus memiliki antena atau radar yang super peka terhadap gejolak masyarakat. Bekerjanya 24 jam per hari dan 7 hari seminggu pula. Karena hanya dengan metode ini pula leluconnya berpeluang memicu gelak, karena mampu seirama dengan detak jantung dan nurani audiensnya.
Sekadar contoh, adalah ulah komedian favorit saya Andy Borowitz. Di tengah heboh peluncuran gadget fenomenal karya Apple Corporations, yaitu iPad, pada tanggal 3 April 2010 yang lalu, ia pun mengiris dengan lelucon bergizi tinggi.
Katanya, sabak cerdas iPad itu diramalkan akan menjadi satu-satunya pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang bukan berwujud manusia. Seloroh tingkat tinggi dalam balutan idea-driven jokes dari lulusan magna cum laude Universitas Harvard (1980) ini sungguh mematikan. Katanya, “iPad yang baru diluncurkan 24 jam saja itu sudah dikabarkan mampu sebagai solusi untuk menyelamatkan industri surat kabar, industri penerbitan, dan bahkan menyelamatkan perkawinan Tiger Woods yang terancam berantakan.”
Komedi ular. Selain peka dan cerdas membingkai berita-berita hip yang hadir meledak-ledak, para komedian utamanya harus pula sensitif terhadap suasana hati rakyat yang sering menggumpal tetapi tidak serta merta muncul ke permukaan. Ketajaman dalam mengolah isu-isu yang menggumpal di benak rakyat itu, lalu menyuarakannya ketika banyak orang lain tidak berani, itulah yang membuat komedian sering disebut, meminjam istilah Jay Sankey (1998), sebagai sosok filsuf yang blak-blakan.
Sisanya, kepekaan komedian dalam menggarap sesuatu isu, sebenarnya juga dapat direncanakan sejak dini. Karena selain isu yang tiba-tiba hadir dan meledak, di kalangan masyarakat senantiasa juga dibeliti oleh isu-isu laten yang setiap rentang waktu akan hadir, atau muncul kembali, secara periodik. Saat hari raya, tahun baru, saat ujian nasional, penerimaan mahasiswa baru, saat tenggat membayar pajak, sampai saat musim kering atau musim hujan misalnya, semua gejolak dan atmosfirnya berpeluang dijadikan bahan lawakan.
Merujuk hal itu, di negara-negara yang industri humornya sudah mapan telah terdapat lembaga kajian lawakan dengan luaran jasa yang unik. Mereka setiap awal bulan selalu menerbitkan “ramalan cuaca humor” sebagai pemandu penciptaan lawakan sehingga isi atau pesannya mampu mencocoki suasana hati masyarakat ketika lawakan tersebut dipanggungkan.
Lembaga peramal cuaca humor semacam itu belum ada di Indonesia. Mungkin itu sebabnya, mengapa pemanggungan perdana acara humor Piala Duniatawa di stasiun televisi swasta TPI, tanggal 2 Mei 2010 yang lalu, memancing tanda tanya. Karena acara yang menurut direktur kreatifnya, yang juga sahabat saya, Harris Cinnamon, digagas mengambil momentum penyelenggaraan kejuaraan akbar sepakbola sejagat, Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, kok tiba-tiba justru tampil dengan kostum, dekor dan suasana berbau Cina.
Padahal, kita tahu, hari raya Imlek sudah lama berlalu. Apalagi dalam tayangan acara itu juga tak ada sentuhan terkait pertandingan sepak bola. Bahkan walau terbalut dekor dan kostum bernuansa Cina yang mewah dan mahal, saya telah menulis sentilan di wall-nya Harris Cinnamon antara lain berbunyi :
“Menurutku, sayang banget, totalitas sajian malam itu nampak tidak dirancang untuk mengeksploitasi kosmologi Cina secara komprehensif. Misalnya dimulai dari ajaran filsafat Cina yang luhur dan kaya, sampai sajian lelucon-lelucon khas Cina yang elegan, tanpa harus terjebak pendekatan berbau rasis atau stereotip yang dangkal.
Kostum dan dekor yang nampak mewah itu bagiku malah seperti membelenggu,memperkerdil para pelaku, juga karena tidak ada unsur-unsur yang dapat diolah secara cerdas sebagai sajian humor visual yang khas Cina pula.
Usul : kalau bisa, intro atau narasi ‘dalang’ oleh Oki dkk jangan sampai berkepanjangan. Mereka harus dibuatkan set (naskah lawakan) yang bernas dan terukur, muncul di saat tepat, membawakan 2-3 lelucon, lalu mundur lagi ke belakang. Jangan mereka dibiarkan ‘liar’ karena, maaf, stok lelucon yang ada di kepala dia nampak sangat-sangat terbatas.”
Pemilihan tema sampai setting dari Piala Duniatawa malam itu, menurut saya meleset terkait atmosfir yang hidup pada benak masyarakat. Ini jelas merupakan kabar buruk. Yang kemudian memicu lahirnya tulisan ini.
Tentu saja, bukan diniatkan sebagai ejekan atau aksi penistaan. Tetapi diajukan dengan harapan semoga mampu menjadi bahan diskusi, syukur-syukur menjadi bahan perenungan di sana-sini.
Komedi Indonesia harus bergerak seperti ular. Ia tak mampu bergerak maju bila berada di permukaan yang licin. Ia akan bergerak bila berada di permukaan yang kasar. Dalam konteks niatan memajukan dunia komedi kita, permukaan yang kasar itu bukan pujian, melainkan kritik.
Sayangnya, kritik seringkali didaulat oleh masyarakat kita sebagai bentuk perlawanan, bukan sebagai suatu bentuk kemitraan. Kita belum mampu menerima kritik secara elegan. Tak ayal, meniru teknik lawakan call back yang terkenal itu, bangsa yang tidak menghargai kritik berpeluang besar dikutuk untuk mengulangi kembali segala kesalahan dan kejahatannya sendiri di masa lampu.
Kabar buruk lagi.
Apakah kita akan menerimanya dengan senang hati ?
Wonogiri, 4-5/5/2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Komedian itu mirip wartawan.
Sama-sama suka kabar buruk.
Tentang wartawan, saya akan mengutip isi blog kawan maya saya, Ira Lathief (foto). Ia telah menghasilkan buku-buku menarik.
Antara lain : Tukul Arwana : Kumis Lele Rezeki Arwana (Biografi, 2007), Kumpulan Rayuan Gombal (2007), Tebak-Tebakan Gokil Abiz Plus Humor Buat Gaul (2008), Kumpulan Rayuan Super Gombal (2009), Tebak-Tebakan & SMS Kocak (2009) dan Kumpulan Status Facebook Paling Seru (2009).
Ira yang memiliki blog dengan slogan “think globally, laugh locally” telah pula berkenan menulis endorsement yang inspiratif dan insinuatif untuk buku saya, Komedikus Erektus, yang kini dalam perampungan akhir oleh Faried Wijdan dan kawan-kawan di Etera Imania dan menunggu diluncurkan.
Ketika Ira Lathief menulis pengalamannya sebagai relawan di Aceh pasca-tsunami, ia sempat menyentil tentang membeludaknya kabar buruk tentang negeri ini yang mampir di benaknya dan atmosfir tempat dia bekerja. Ira menulis :
“Belakangan kayaknya kita ‘dibombardir’ rentetan berita buruk dari berbagai media massa. Ditambah lagi ….. orang “berlomba-lomba” mengkritik dan saling menyalahkan. ABCDEF. Aduh Booo…..Cape Deyyyy…Eikee Fusyiing!!! Koq…..seakan-akan bangsa ini gak berenti2 dirundung kemalangan :( TANYA KENAPA???
Berita buruk dan segala macam kritik adalah ‘makanan’ aku sehari-hari. Di lingkungan dunia pemberitaan yang bergelut dengan rating, tempatku mengais-ngais intan dan berlian, aku udah "kenyang" dikondisikan untuk mencari segala kekurangan dan kelemahan dari sebuah peristiwa atau juga orang lain. Well…bad news is always a good news, what can I say!
I love my job, I love what I’m doing. Tapi, sebenernya lingkungan seperti ini sangat memungkinkan aku untuk menjadi pribadi yang juga "negatif", kalo saja aku gak bisa ‘menyiasatinya.’ Untungnya, aku masih ‘diselamatkan’ oleh orang-orang luar biasa, yang selalu ‘menyadarkan,’ bahwa bertindak dan berbuat sesuatu adalah jauh lebih berarti daripada sekedar mengkritik.”
Ira yang beruntung. Beruntung pula mereka yang mau menjalani nasehat Andrew Weil, M.D. Ia ibarat sosok “nabi” dalam kancah pengobatan alternatif dunia, walau sebenarnya ia lulusan fakultas kedokteran Universitas Harvard. Dalam wawancara dengan majalah Housekeeping beberapa waktu lalu, di mana saya lupa mencatat nomor edisinya, tetapi saya fotokopi dari Perpustakaan LIA Jakarta Timur, 14 Januari 1998, ia mengajukan hal yang menarik dan kontroversial.
Sambil merujuk isi buku Weil terbaru yang laris, berjudul 8 Weeks to Optimum Health, Bonnie Rubin, si pewawancara, mengutarakan bahwa Andrew Weil menganjurkan agar orang puasa berita. Yaitu absen dari membaca media cetak, tidak mendengarkan radio dan absen nonton televisi, sebagai cara memperoleh ketenangan yang lebih optimal. “Tetapi bukankah terlibat secara aktif dengan keadaan yang terjadi di dunia merupakan nilai plus ?,” tanya Bonnie Rubin.
“Saya tidak menuntut agar orang menjadi buta informasi, tetapi kita harus melakukan pilihan terhadap asupan berita-berita itu,” jawabnya. “Mendengarkan berita dapat menjadi sumber agitasi atau gejolak mental yang tidak kita sadari. Terutama dengan membanjirnya cerita-cerita duka nestapa yang memicu perasaan marah, tidak berdaya dan keberingasan, di mana semua itu menjadi latar belakang kegaduhan bagi hidup kita, baik ketika kita sedang makan atau menyopir, sementara kita tidak memperhatikan dampak semua itu bagi kondisi mental kita.”
Betul juga. Mudah kita bayangkan apa yang terjadi bila tiap hari mental kita dihajar dengan asupan-asupan informasi semacam itu. Mungkin dampaknya berupa siklus tanpa henti : kekerasan, berita kekerasan, kekerasan yang lebih ganas lagi, berita kekerasan yang lebih mencekam lagi, dan seterusnya. Dan seterusnya lagi.
Bahan olok-olok. Lalu bagaimana kaitan antara kabar buruk dengan komedian ? Kabar buruk itu, utamanya yang menyangkut tokoh terkenal, baik artis, pebisnis, politisi atau birokrat yang korup, yang melakukan deviasi, senantiasa menjadi bahan santapan lezat para komedian untuk dijadikan bahan tertawaan secara bersama-sama.
Komedian terkenal Jon Stewart, menjelang tampil sebagai host penganugerahan Oscar di tahun 2006, mengatakan bahwa dirinya telah bersyukur kepada Tuhan. Pengarang buku humor politik laris America (The Book): A Citizen's Guide to Democracy Inaction itu merujuk munculnya peristiwa tragis yang tiba-tiba.
Ibarat ia dapat durian runtuh, karena melibatkan nama besar. Wakil Presiden Dick Cheney ketika itu berburu burung puyuh bersama rekan-rekannya. Lalu secara tidak sengaja justru menembak kawannya sendiri, pengacara sohor Harry Whittington. Jon Stewart melucukannya :
“Wapres AS Dick Cheney secara tidak sengaja menembak seseorang ketika berburu burung puyuh...membuat Harry Whittington sebagai orang pertama ditembak wakil presiden AS sejak Alexander Hamilton. Hamilton terlibat tembak-menembak dengan Aaron Burr demi mempertahankan kehormatan, integritas dan manuver politik. Whittington ? Tertembak karena dikira seekor burung !”
Lelucon Stewart yang satu ini menarik. Terutama karena peristiwa duel antara Alexander Hamilton (1755-1804) melawan Aaron Burr (1756-1836) itu sudah terjadi lebih dari 200 tahun yang lalu. Tetapi mengapa peristiwa tersebut masih hidup dalam ingatan bangsa Amerika ? Bahkan masih juga relevan menjadi bahan guyonan masa kini. Karena mereka memiliki fondamen budaya literasi, budaya baca dan tulis, yang telah kokoh.
Hikmahnya, bagi saya, barangkali itulah salah satu mukjijat humor. Sebagai media untuk melestarikan nurani bangsa agar tidak terkena amnesia sejarah. Sayangnya, nampaknya tidak banyak pemangku kepentingan dunia humor kita yang mampu merenung, lalu berusaha melahirkan, mengembangkan dan menanamkan keluhuran humor semacam ini sebagai penjaga moral kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini.
Kita lebih sering seperti keledai, lupa dan lupa lagi, sehingga terantuk pada lubang yang sama lagi. Apalagi terhadap dinamika politik yang terjadi. Ingatan bangsa ini memang pendek, sentil sobat saya Effendi Gazali. Akibatnya, seperti kata filsuf George Santayana (1863–1952), “mereka yang tidak mampu mengingat masa lampau akan dikutuk untuk mengulanginya kembali.”
Sebagai pelaku aktif gejolak peradaban, komedian memang harus memiliki antena atau radar yang super peka terhadap gejolak masyarakat. Bekerjanya 24 jam per hari dan 7 hari seminggu pula. Karena hanya dengan metode ini pula leluconnya berpeluang memicu gelak, karena mampu seirama dengan detak jantung dan nurani audiensnya.
Sekadar contoh, adalah ulah komedian favorit saya Andy Borowitz. Di tengah heboh peluncuran gadget fenomenal karya Apple Corporations, yaitu iPad, pada tanggal 3 April 2010 yang lalu, ia pun mengiris dengan lelucon bergizi tinggi.
Katanya, sabak cerdas iPad itu diramalkan akan menjadi satu-satunya pemenang Hadiah Nobel Perdamaian yang bukan berwujud manusia. Seloroh tingkat tinggi dalam balutan idea-driven jokes dari lulusan magna cum laude Universitas Harvard (1980) ini sungguh mematikan. Katanya, “iPad yang baru diluncurkan 24 jam saja itu sudah dikabarkan mampu sebagai solusi untuk menyelamatkan industri surat kabar, industri penerbitan, dan bahkan menyelamatkan perkawinan Tiger Woods yang terancam berantakan.”
Komedi ular. Selain peka dan cerdas membingkai berita-berita hip yang hadir meledak-ledak, para komedian utamanya harus pula sensitif terhadap suasana hati rakyat yang sering menggumpal tetapi tidak serta merta muncul ke permukaan. Ketajaman dalam mengolah isu-isu yang menggumpal di benak rakyat itu, lalu menyuarakannya ketika banyak orang lain tidak berani, itulah yang membuat komedian sering disebut, meminjam istilah Jay Sankey (1998), sebagai sosok filsuf yang blak-blakan.
Sisanya, kepekaan komedian dalam menggarap sesuatu isu, sebenarnya juga dapat direncanakan sejak dini. Karena selain isu yang tiba-tiba hadir dan meledak, di kalangan masyarakat senantiasa juga dibeliti oleh isu-isu laten yang setiap rentang waktu akan hadir, atau muncul kembali, secara periodik. Saat hari raya, tahun baru, saat ujian nasional, penerimaan mahasiswa baru, saat tenggat membayar pajak, sampai saat musim kering atau musim hujan misalnya, semua gejolak dan atmosfirnya berpeluang dijadikan bahan lawakan.
Merujuk hal itu, di negara-negara yang industri humornya sudah mapan telah terdapat lembaga kajian lawakan dengan luaran jasa yang unik. Mereka setiap awal bulan selalu menerbitkan “ramalan cuaca humor” sebagai pemandu penciptaan lawakan sehingga isi atau pesannya mampu mencocoki suasana hati masyarakat ketika lawakan tersebut dipanggungkan.
Lembaga peramal cuaca humor semacam itu belum ada di Indonesia. Mungkin itu sebabnya, mengapa pemanggungan perdana acara humor Piala Duniatawa di stasiun televisi swasta TPI, tanggal 2 Mei 2010 yang lalu, memancing tanda tanya. Karena acara yang menurut direktur kreatifnya, yang juga sahabat saya, Harris Cinnamon, digagas mengambil momentum penyelenggaraan kejuaraan akbar sepakbola sejagat, Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, kok tiba-tiba justru tampil dengan kostum, dekor dan suasana berbau Cina.
Padahal, kita tahu, hari raya Imlek sudah lama berlalu. Apalagi dalam tayangan acara itu juga tak ada sentuhan terkait pertandingan sepak bola. Bahkan walau terbalut dekor dan kostum bernuansa Cina yang mewah dan mahal, saya telah menulis sentilan di wall-nya Harris Cinnamon antara lain berbunyi :
“Menurutku, sayang banget, totalitas sajian malam itu nampak tidak dirancang untuk mengeksploitasi kosmologi Cina secara komprehensif. Misalnya dimulai dari ajaran filsafat Cina yang luhur dan kaya, sampai sajian lelucon-lelucon khas Cina yang elegan, tanpa harus terjebak pendekatan berbau rasis atau stereotip yang dangkal.
Kostum dan dekor yang nampak mewah itu bagiku malah seperti membelenggu,memperkerdil para pelaku, juga karena tidak ada unsur-unsur yang dapat diolah secara cerdas sebagai sajian humor visual yang khas Cina pula.
Usul : kalau bisa, intro atau narasi ‘dalang’ oleh Oki dkk jangan sampai berkepanjangan. Mereka harus dibuatkan set (naskah lawakan) yang bernas dan terukur, muncul di saat tepat, membawakan 2-3 lelucon, lalu mundur lagi ke belakang. Jangan mereka dibiarkan ‘liar’ karena, maaf, stok lelucon yang ada di kepala dia nampak sangat-sangat terbatas.”
Pemilihan tema sampai setting dari Piala Duniatawa malam itu, menurut saya meleset terkait atmosfir yang hidup pada benak masyarakat. Ini jelas merupakan kabar buruk. Yang kemudian memicu lahirnya tulisan ini.
Tentu saja, bukan diniatkan sebagai ejekan atau aksi penistaan. Tetapi diajukan dengan harapan semoga mampu menjadi bahan diskusi, syukur-syukur menjadi bahan perenungan di sana-sini.
Komedi Indonesia harus bergerak seperti ular. Ia tak mampu bergerak maju bila berada di permukaan yang licin. Ia akan bergerak bila berada di permukaan yang kasar. Dalam konteks niatan memajukan dunia komedi kita, permukaan yang kasar itu bukan pujian, melainkan kritik.
Sayangnya, kritik seringkali didaulat oleh masyarakat kita sebagai bentuk perlawanan, bukan sebagai suatu bentuk kemitraan. Kita belum mampu menerima kritik secara elegan. Tak ayal, meniru teknik lawakan call back yang terkenal itu, bangsa yang tidak menghargai kritik berpeluang besar dikutuk untuk mengulangi kembali segala kesalahan dan kejahatannya sendiri di masa lampu.
Kabar buruk lagi.
Apakah kita akan menerimanya dengan senang hati ?
Wonogiri, 4-5/5/2010
Selasa, 20 April 2010
Dibalik Lelucon Seks Prof. Sarlito
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
"Cantik-cantik mana, mahasiswi Fakultas Psikologi UI atau Fakultas Sastra UI ?"
Pertanyaan sulit itu diajukan oleh Suprantyo "Yoyok" Jarot. Ia adalah adiknya aktor kawakan Slamet Raharjo Jarot. Juga adik dari seniman/pencipta lagu/aktivis dan politisi Eros Jarot.
Yoyok mengajukannya kepada saya di tengah-tengah syuting film yang dibintangi Frans Tumbuan, di kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun, tahun 1983-an.
Sungguh suatu kejutan bisa ketemu Yoyok di Jakarta ini. Sebelumnya kami ketemu di desa Sawahan Bantul, tahun 1978. Saat itu berlangsung syuting film November 1828-nya Teguh Karya. Ia jadi kru penata artistik, dan saya sekitar 2 minggu ngekos di desa Sawahan semata ingin menonton pembuatan film bersangkutan. Kerennya, ingin belajar sinematografi. Juga banyak ngobrol sama Labbes Widar, dosen film IKJ saat itu.
Tetapi sebelumnya lagi, di tahun 1975, walau saat itu kami belum saling kenal, Yoyok pernah manggung bersama kelompok teater Jakarta di Sasonomulyo, Baluwarti, Solo. Bintangnya antara lain Deddy Mizwar. Dari rombongan Jakarta itu yang saya kenal hanya Sri Husin. Seusai pertunjukan, ditemani pula Victoria Monk, cewek bule yang artistik dan bermata biru asal Australia yang tetangga saya di Baluwarti, Solo, kami mengobrol sampai larut malam.
Pertanyaan Yoyok tadi sulit saya jawab. Sambil nongkrong di kupel Taman Sastra UI , ia saya persilakan cuci mata melihat-lihat kaum "WTS" yang berkeliaran saat itu. Dan saya biarkan ia yang memutuskannya sendiri. Benarkah kaum WTS berkeliaran di kampus UI, pada siang hari ? WTS adalah singkatan dari Wanita Taman Sastra.
Saat itu kalau Yoyok bertanya, lebih lucuan mana dosen Fakultas Sastra atau dosen Fakultas Psikologi, saya mungkin agak sok tahu jawabnya. Saya akan menjawab : dosen Fakultas Psikologi. Namanya : Prof. Sarlito Wirawan Sarwono. Kadang-kadang di sms atau email, saya memanggil dengan sebutan Prof atau julukan populernya yang mencitrakan semangat tetap awet muda : Mas Ito.
Kenangan 2004. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (paling kanan) di Hotel Borobudur, Jakarta (2004) bersama 10 Pemenang Mandom Resolution Award 2004. Beliau sebagai ketua juri, didampingi Maria Hartiningsih (wartawan senior Kompas) dan artis/psikolog Tika Bisono.
Para pemenangnya adalah : Hariyadi (Yogyakarta, nomor 3 dari kiri), Dian Safitri (Jakarta), Bagyo Anggono (Wonogiri), Hisyam Zamroni (Karimunjawa), Dr. Slamet Sudarmadji (Yogyakarta), Deny Wibisono (Blitar), Ilham Prayudi (Jakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri), Soleman Betawai (Jakarta) dan Tarjum Samad (Subang).
Saya saat itu mencita-citakan resolusi meluncurkan 100 blog untuk komunitas epistoholik, kaum pencandu penulisan surat-surat pembaca di Indonesia.
Humor seks. Walau kampus kami jaraknya hanya sepelemparan batu ("kalau melemparnya melenceng bisa mengenai genting gedung FISIP, FH, IKIP Jakarta atau Pusat Bahasa"), saat itu jelas Mas Ito tak mengenal saya. Saya yang mengenal beliau, karena beliau sering menulis di koran-koran, dengan topik hot saat itu. Pendidikan seks. Ia memang dikenal luas sebagai guru besar yang ahli main sex. Maksud saya, ahli main sax. Saxophone.
"Kalau organ seks pria, penampilannya lebih sederhana," begitu tutur Mas Ito. Terdengar seisi aula FSUI tergelak. Bergemuruh. Potongan menggelitik dari ceramah pendidikan seks itu hanya saya dengar melalui kaset, yang saya temukan di Lab Bahasa FSUI.
Saat itu saya sebagai asisten dosen JIP-FSUI melakukan rekaman suara untuk pembuatan program pandang-dengar berupa sound slide untuk promosi perpustakaan. Saya yang menulis skrip, juga pengisi suara, dibantu mahasiswi Sastra Indonesia yang pernah menjadi penyiar radio, Mien Lindim Pongoh. Teman cantiknya, Gustinia Farida, di mana saat itu saya bersama Hartadi Wibowo menjulukinya sebagai "Lady Diana," yang sayang, konon kabarnya ("info dari mBak Yayi") pindah ke Australia.
Ditilik dari kacamata kajian humor, tuturan ilmiah dari Prof. Sarlito itu sebenarnya "tidak bergerigi" dan "tidak menjurus" untuk mengundang tawa. Tetapi mengapa justru mampu mengundang ledakan tawa ?
Gene Perret dalam bukunya Comedy Writing Step-By-Step : How to Write and Sell Your Sense of Humor (1982), menulis bahwa sense of humor itu menyangkut tiga keterampilan. Pertama, to see things as they are, melihat sesuatu apa adanya. Kedua, to recognize things as they are, memahami/mengerti sesuatu apa adanya. Dan ketiga, to accept things as they are, menerima sesuatu apa adanya.
Ujaran Mas Ito tentang konfigurasi organ seks pria di depan mahasiswa- mahasiswi FSUI tadi mencocoki ketiga rumusan Perret tentang sense of humor tersebut. Harap Anda catat bahwa saat itu Mas Ito sedang tidak melucu.
Beliau yang pernah berkuliah di Universitas Edinburgh, Skotlandia, hingga saya curiga berat kegemaran Mas Ito melawak itu gara-gara ketemplokan virus pelawak-pelawak dalam acara tahunan Festival Lawak Antarbangsa di Edinburgh yang terkenal itu, semata-mata mengemukakan suatu realitas. Tetapi karena realitas tersebut dilihat, difahami dan diterima oleh banyak orang, mereka pun serempak meledak dalam tawa.
Prof. Liek Wilardjo dalam artikelnya berjudul "Logika Samin" (Kompas, 20/3/2010 : hal.7) juga mengamini rumusan di atas. Beliau mengambil contoh logika orang Samin yang menurutnya harafiah, denotatif dan apa adanya. Beliau memberi ilustrasi tentang sekelompok orang Samin yang protes kepada pemilik toko yang menimbun pupuk. Tetapi juragan itu ingkar.
Kelompok orang Samin tersebut kemudian ramai-ramai membongkar gudang milik sang juragan. Mengambil pupuk-pupuk yang ada, sambil mereka tidak merasa bersalah. Logika denotatif mereka, sambil merujuk kilah sang juragan yang mengaku tidak menimbun pupuk membuat orang Samin berkesimpulan bahwa pupuk-pupuk di gudang tadi memang bukan milik sang juragan tamak tersebut. Mereka pun lalu bebas mengambilnya.
Sayangnya, fondamen lawakan tersebut belum banyak difahami oleh banyak pelawak-pelawak kita. Lelucon mereka tentang hantu-hantuan, banci-bancian sampai gubrak-gubrakan yang cenderung merendahkan kecerdasan, sekaligus makin menjauh dari premis-premis kebenaran.
Hal konyol itu merupakan bukti ketidakmampuan mereka membuat lawakan yang mampu memiliki kaitan dengan apa yang dilihat, difahami dan diterima oleh banyak orang, atau penonton. Karena lelucon mereka yang semacam itu semata perwujudan sifat egosentris, yang sebenarnya hanya lucu bagi dirinya sendiri belaka.
Dihibur Orang Mati dan Stres. Harian Jawapos (11/4/2010) ketika menulis laporan tentang acara lawak Opera Van Java, menunjukkan bukti menarik. Sebetulnya menyedihkan. Koran itu telah mengutip Bremoro Kunto, asisten produser OVJ, yang mengatakan bahwa para pelaku utama acara itu dengan penilaian : "Kalau saya bilang, mereka bukan kategori orang lucu lagi, melainkan orang stres."
Kalau dalam film-film Indonesia mutakhir yang ramai dengan genre hantu dan pocong, sehingga Ketua LSF Mukhlis PaEni di Kompas (28/3/2010) menyatakan hal itu sebagai "kekonyolan budaya kita karena orang yang hidup sudah tidak bisa memberikan hiburan sehingga hiburan itu diserahkan kepada hantu-hantu," maka dalam komedi hiburan itu kini diserahkan kepada orang-orang yang stres.
Tayangan Piala Duniatawa TPI yang akan meluncur 2 Mei 2010, saya duga kuat ("sori, Momon") hanya akan menambah panjang daftar tayangan lawakan di televisi kita yang semata bermodalkan komedian-komedian yang stres pula.
Staf ahli Mendagri. Lawakan-lawakan stres itu kini kita kuatirkan semakin menular. Memengaruhi psike masyarakat Indonesia dalam pelbagai faset kehidupan. Aksi tindak kekerasan yang meruyak di negeri ini, boleh jadi, juga ikut dipengaruhi oleh tayangan komedi-komedi yang tidak mengajarkan keluhuran itu.
Bisakah insan-insan komedi Indonesia diajak kembali ke khittah, bahwa nilai melawak yang luhur akan muncul bila kita berani menertawai diri sendiri ? Bukan menertawai hantu, kaum banci atau pocongan. Sehingga dengan sikap jujur dan rendah hati itu mungkin mereka akan lebih mudah tergerak menyetrum diri dengan energi-energi kreatif baru yang bukan berlandaskan kekonyolan demi kekonyolan.
Mungkinkah Prof. Sarlito memiliki saran dan kritik sebagai solusi atas dekadensi tayangan komedi Indonesia dewasa ini ? Tentu saja, beliau pasti punya. Dan dipastikan manjur. Tetapi sayang, nampaknya pemangku kepentingan dunia komedi Indonesia tidak memiliki kepekaan sampai kesadaran diri betapa arah langkah mereka kini sudah memasuki ranah kekonyolan dan kebodohan yang luar biasa.
Semoga suatu saat Mas Ito akan ikut memberikan saran. Tetapi saya tak akan memintanya untuk saat ini. Mungkin nanti sesudah permohonan saya agar beliau sudi menulis endorsement untuk buku saya, Komedikus Erektus, paripurna beliau penuhi. Kini penerbit saya berusaha segera mengirimkan dummy buku tersebut kepada beliau. Hari-hari mendatang saya akan rada merasa deg-degan menunggu, karena buru-buru ingin meresapi apa saja yang hendak Mas Ito nanti tuliskan.
Tetapi saya tidak kuatir. Karena, mungkin ia termasuk dalam mazhab psikologi kebahagiaan dengan pentolan Martin Seligman dari Universitas Pennsylvania (AS), maka masukannya senantiasa mencerahkan dan menumbuhkan optimisme. Itu terbukti dalam email terakhir beliau, saat kami mengobrolkan pola kepemimpinan Joko Widodo sebagai walikota Solo yang melakukan pendekatan secara menang-menang, win-win, dalam mengatasi masalah kemasyarakatan di Solo.
Bandingkan dengan pendekatan model gubrak-gubrak atau lose-win dan lose-lose yang meledak dalam aksi tindak kekerasan aparat sehingga jatuh korban tewas dan luka-luka di Tanjung Priuk, Jakarta Utara, baru-baru ini.
Merujuk prestasi walikota Solo itu, beliau rada menyayangkan mengapa Joko Widodo hari ini "hanya" sebagai walikota saja. Kemudian terkait cerita saya bahwa di tahun 1998 saya bersama Mayor Haristanto mendirikan Forum Bisnis Solo/Forbis dan mengadakan seminar dengan mengundang Dr. Sri Mulyani Indrawati, sementara Joko Widodo sebagai sponsor acara, Mas Ito mencita-citakan Joko Widodo sebagai Menteri Dalam Negeri.
Lalu imbuhnya, "Bambang Haryanto kemudian sebagai staf ahlinya."
Memperoleh endorsement seorang maha guru ternama dari Universitas Indonesia itu, langsung saja, impian saya tiba-tiba melambung warna-warni. Terbius keinginan menjadi staf ahli Menteri Dalam Negeri. Tetapi, lupakanlah, karena pada akhir email Mas Ito itu masih ada tambahannya : "ha-ha-ha-ha."
Wonogiri, 20 April 2010
UP-DATE : 24 April 2010 : Artikel ini juga saya pajang di Facebook. Berikut di bawah ini terdapat beberapa komentar dan sambutan dari teman-teman saya, dan juga tanggapan saya terhadap isi komentar mereka. Semoga makin memperkaya obrolan yang ada. Terima kasih.
Hartadi Wibowo : "Ketika dulu saya (pernah) 4 tahun nongkrong di FSUI, saya merasa (dan tentu saja mata saya melihat ), mahasiswi Fak. Psikologi UI lebih cantik-cantik dibanding mahasiswi Sastra. Mungkin karena yang di Sastra sudah sering lihat, sedangkan yang di Psikologi jarang ketemu. Atau berlaku hukum "rumput tetangga lebih hijau" ? Bagaimana Oom BH ?"
Sunu Wasono : Mas, ditunggu lho buku tentang humor itu. Kabari kalau sudah terbit. Omong-omong soal humor, saya jadi teringat pelawak Bagyo. Dia bilang bahwa humor itu serius. Benar kiranya diperlukan kecerdasan untuk menampilkan humor. Moga-moga segera muncul humoris-humoris yang mau dan mampu mentertawakan diri sehingga setiap hari kita tidak disuguhi adegan orang stres melulu. Makasih Mas. Tulisan njenengan memberikan pencerahan.
Bambang Haryanto : @ Hartadi Wibowo : Thanks, Ted. Kayaknya kau sudah menjawab pertanyaanmu itu. Aku setuju bila sindrom rumput di seberang pagar, yang tak hanya rumput hijau tetapi juga rumput hitam, juga sering memengaruhi kita. C’est la vie. Itulah kehidupan
Bambang Haryanto : @Sunu Wasono : Thanks, Mas Sunu. Bila kelar, Anda akan segera memperoleh kabar. Tentang kajian humor secara serius, Sastra Indonesia UI apa tidak ada minat ya ? Suara dari FSUI yang ada dalam kliping saya adalah pendapat (kolega Anda ?), I. Yoedhi Soenarto, tentang Ketoprak Humor di Gatra, Desember 2001 yang lama lewat.
Literatur serius tentang humor justru pertama kali saya pergoki di perpustakaannya mBak Yayi/FSUI, tahun 1982-an. Pada bukunya Arthur Koestler, The Act of Creation (1964). Ia yang idolanya Sting dari The Police itu bilang, bahwa kebudayaan terbagi tiga ranah : agama, ilmu pengetahuan dan humor.
Sayang, saya tak sempat menfotokopi bab tentang humor dari buku ini, yang antara lain bilang : bila komedian terampil mengolah gagasan ia akan mampu mendekati peran sebagai seorang pemikir atau filsuf, tetapi bila terampil mengolah bahasa, maka komedian bersangkutan mampu hadir sebagai seorang penyair. Ini saya kutip dari almarhum George Carlin, komedian solo legendaris AS, tentang bukunya Koestler itu. Salam.
Harris Cinnamon : “....hanya akan menambah panjang daftar tayangan lawakan di televisi kita yang semata bermodalkan komedian-komedian yang stres pula....”
Sangat benar itu, mBang. tapi alhamdulillahnya, kita tim "penggodoknya" yang ada di balik layar, sesungguhnya sangat tidak ingin hal itu terjadi, sampai detik ini, kita sangat berharap bahwa yang akan kita tampilkan sevisi dengan kita. tapi kalau kenyataannya nanti melenceng, walahualam, berarti: kita tetap akan terus belajar, tapi nggak nemu ilmu kanuragarannya humor (kalo gitu) ha ha...tq
Hari Juniar : Seorang teman bertanya kpd saya, mengapa di pantai itu udaranya panas sekali dibandingkan udara di pegunungan yang sejuk... saya hanya menjawab ringan... Tuhan menciptakan pantai dengan udaranya yg panas, penuh sinar matahari, penuh kegembiraan dan keceriaan.. karena Tuhan menciptakan 'BIKINI'.....
Ugh.. alih2 mo melawak.. teman saya men'cap' saya..sebagai melawan 'Tuhan'.. SARA.. dan predikat2 lain yg menenmpatkan saya sebagai orang yg melecehkan' Tuhan'.. finally saya harus jelaskan panjang lebar dimana letak lucunya... dan dia tetap ga tertawa... ha3...
Mungkin itu yg menyebabkan 'lawakan komedian stress' yg 'laku'.. pemirsa nya males mikir.... dan menurut mas BH kan lawakan itu menjadi ngga lucu lagi ketika sebuah 'punch' yg diharapkan langsung meledakkan tawa, tetapi pemirsa nya 'bengong-bengong'... dan komediannya jadi salah tingkah karena punch nya ngga bikin 'gerrr' dan akhirnya dia harus menjelaskan punch nya panjang lebar dan... pemirsanya tetap tidak tertawa... ha3... tetap semangat mas.. smoga selalu bisa berbagi pemikiran... amiin
Bambang Haryanto : @ Harris Cinnamon. Thanks untuk komentarmu. Komedi itu ibarat gedung dengan “lawang sewu,” di mana setiap orang bisa memasukinya dari pintu yang mana saja. Mungkin kau dan kawan-kawan di TPI dalam menggarap Piala Duniatawa masuk dari pintu 600, dan saya dari pintu 346, teman lain dari pintu 875, semuanya sah-sah saja.
Tetapi menurutku tetap harus ada satu pegangan, meminjam kata Gene Perret : “All comedy must be relevant” dan “The best humor is based on truth.” Dalam pemahaman saya, ya kira-kira begitu itulah inti ilmu kanuragan dalam komedi. Artinya, di dalam tayangan komedi itu kita bisa melihat diri-diri kita di sana dan ketika komedi itu semakin mendekati kasunyatan, kebenaran, realitas, atau kejujuran, akan semakin berpeluang jenaka pula sajian komedi bersangkutan. Sukses selalu.
Bambang Haryanto : @ Hari Juniar : komedian itu, menurutku, harus rendah hati. Kalau sesuatu lelucon tidak meledak [bombed], cepat-cepat ganti yang lain, dan jangan sesekali menyalahkan audiens. Kata Mas Jaya Suprana, sesuatu lelucon akan mendapat sambutan memadai [killing], bila antara komedian dan audiens berada dalam “satu gelombang” yang sama. Repotnya, meraba “gelombang” merupakan skill tersendiri, sehingga komedian top di manca negara perlu survei detil dulu tentang calon audiensnya sebelum ia tampil.
Tetapi tetap ada resep dan solusi manjur untuk itu : carilah KEKURANGAN yang menonjol yang ada pada dirimu sendiri, lalu jadikanlah kekurangan itu sebagai bahan lawakan ! Ingat kata wasiat ibu mentor komedian, Judy Carter, tentang misi luhur komedian dalam peradaban :
“Kita para jenakawan sejati itu makhluk yang bener-bener aneh. Kalau sebagian besar orang berusaha sekuat mungkin menyembunyikan cacat dan celanya, tetapi kita para jenakawan sejati sengaja mempertontonkan semua cacat dan cela kita itu ke muka dunia !”
[PS: beranikah para pemuka agama, birokrat dan politisi melakukan hal yang sama ?].
Harris Cinnamon : "Insya Allah, Bang, karena sesungguhnya itulah yang ingin kita tetapkan, kita ingin mendakati realnya. Terima kasih atas segala masukannya, yang sulit tergantikan dengan apapun."
Email : humorliner (at) yahoo.com
"Cantik-cantik mana, mahasiswi Fakultas Psikologi UI atau Fakultas Sastra UI ?"
Pertanyaan sulit itu diajukan oleh Suprantyo "Yoyok" Jarot. Ia adalah adiknya aktor kawakan Slamet Raharjo Jarot. Juga adik dari seniman/pencipta lagu/aktivis dan politisi Eros Jarot.
Yoyok mengajukannya kepada saya di tengah-tengah syuting film yang dibintangi Frans Tumbuan, di kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun, tahun 1983-an.
Sungguh suatu kejutan bisa ketemu Yoyok di Jakarta ini. Sebelumnya kami ketemu di desa Sawahan Bantul, tahun 1978. Saat itu berlangsung syuting film November 1828-nya Teguh Karya. Ia jadi kru penata artistik, dan saya sekitar 2 minggu ngekos di desa Sawahan semata ingin menonton pembuatan film bersangkutan. Kerennya, ingin belajar sinematografi. Juga banyak ngobrol sama Labbes Widar, dosen film IKJ saat itu.
Tetapi sebelumnya lagi, di tahun 1975, walau saat itu kami belum saling kenal, Yoyok pernah manggung bersama kelompok teater Jakarta di Sasonomulyo, Baluwarti, Solo. Bintangnya antara lain Deddy Mizwar. Dari rombongan Jakarta itu yang saya kenal hanya Sri Husin. Seusai pertunjukan, ditemani pula Victoria Monk, cewek bule yang artistik dan bermata biru asal Australia yang tetangga saya di Baluwarti, Solo, kami mengobrol sampai larut malam.
Pertanyaan Yoyok tadi sulit saya jawab. Sambil nongkrong di kupel Taman Sastra UI , ia saya persilakan cuci mata melihat-lihat kaum "WTS" yang berkeliaran saat itu. Dan saya biarkan ia yang memutuskannya sendiri. Benarkah kaum WTS berkeliaran di kampus UI, pada siang hari ? WTS adalah singkatan dari Wanita Taman Sastra.
Saat itu kalau Yoyok bertanya, lebih lucuan mana dosen Fakultas Sastra atau dosen Fakultas Psikologi, saya mungkin agak sok tahu jawabnya. Saya akan menjawab : dosen Fakultas Psikologi. Namanya : Prof. Sarlito Wirawan Sarwono. Kadang-kadang di sms atau email, saya memanggil dengan sebutan Prof atau julukan populernya yang mencitrakan semangat tetap awet muda : Mas Ito.
Kenangan 2004. Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (paling kanan) di Hotel Borobudur, Jakarta (2004) bersama 10 Pemenang Mandom Resolution Award 2004. Beliau sebagai ketua juri, didampingi Maria Hartiningsih (wartawan senior Kompas) dan artis/psikolog Tika Bisono.
Para pemenangnya adalah : Hariyadi (Yogyakarta, nomor 3 dari kiri), Dian Safitri (Jakarta), Bagyo Anggono (Wonogiri), Hisyam Zamroni (Karimunjawa), Dr. Slamet Sudarmadji (Yogyakarta), Deny Wibisono (Blitar), Ilham Prayudi (Jakarta), Bambang Haryanto (Wonogiri), Soleman Betawai (Jakarta) dan Tarjum Samad (Subang).
Saya saat itu mencita-citakan resolusi meluncurkan 100 blog untuk komunitas epistoholik, kaum pencandu penulisan surat-surat pembaca di Indonesia.
Humor seks. Walau kampus kami jaraknya hanya sepelemparan batu ("kalau melemparnya melenceng bisa mengenai genting gedung FISIP, FH, IKIP Jakarta atau Pusat Bahasa"), saat itu jelas Mas Ito tak mengenal saya. Saya yang mengenal beliau, karena beliau sering menulis di koran-koran, dengan topik hot saat itu. Pendidikan seks. Ia memang dikenal luas sebagai guru besar yang ahli main sex. Maksud saya, ahli main sax. Saxophone.
"Kalau organ seks pria, penampilannya lebih sederhana," begitu tutur Mas Ito. Terdengar seisi aula FSUI tergelak. Bergemuruh. Potongan menggelitik dari ceramah pendidikan seks itu hanya saya dengar melalui kaset, yang saya temukan di Lab Bahasa FSUI.
Saat itu saya sebagai asisten dosen JIP-FSUI melakukan rekaman suara untuk pembuatan program pandang-dengar berupa sound slide untuk promosi perpustakaan. Saya yang menulis skrip, juga pengisi suara, dibantu mahasiswi Sastra Indonesia yang pernah menjadi penyiar radio, Mien Lindim Pongoh. Teman cantiknya, Gustinia Farida, di mana saat itu saya bersama Hartadi Wibowo menjulukinya sebagai "Lady Diana," yang sayang, konon kabarnya ("info dari mBak Yayi") pindah ke Australia.
Ditilik dari kacamata kajian humor, tuturan ilmiah dari Prof. Sarlito itu sebenarnya "tidak bergerigi" dan "tidak menjurus" untuk mengundang tawa. Tetapi mengapa justru mampu mengundang ledakan tawa ?
Gene Perret dalam bukunya Comedy Writing Step-By-Step : How to Write and Sell Your Sense of Humor (1982), menulis bahwa sense of humor itu menyangkut tiga keterampilan. Pertama, to see things as they are, melihat sesuatu apa adanya. Kedua, to recognize things as they are, memahami/mengerti sesuatu apa adanya. Dan ketiga, to accept things as they are, menerima sesuatu apa adanya.
Ujaran Mas Ito tentang konfigurasi organ seks pria di depan mahasiswa- mahasiswi FSUI tadi mencocoki ketiga rumusan Perret tentang sense of humor tersebut. Harap Anda catat bahwa saat itu Mas Ito sedang tidak melucu.
Beliau yang pernah berkuliah di Universitas Edinburgh, Skotlandia, hingga saya curiga berat kegemaran Mas Ito melawak itu gara-gara ketemplokan virus pelawak-pelawak dalam acara tahunan Festival Lawak Antarbangsa di Edinburgh yang terkenal itu, semata-mata mengemukakan suatu realitas. Tetapi karena realitas tersebut dilihat, difahami dan diterima oleh banyak orang, mereka pun serempak meledak dalam tawa.
Prof. Liek Wilardjo dalam artikelnya berjudul "Logika Samin" (Kompas, 20/3/2010 : hal.7) juga mengamini rumusan di atas. Beliau mengambil contoh logika orang Samin yang menurutnya harafiah, denotatif dan apa adanya. Beliau memberi ilustrasi tentang sekelompok orang Samin yang protes kepada pemilik toko yang menimbun pupuk. Tetapi juragan itu ingkar.
Kelompok orang Samin tersebut kemudian ramai-ramai membongkar gudang milik sang juragan. Mengambil pupuk-pupuk yang ada, sambil mereka tidak merasa bersalah. Logika denotatif mereka, sambil merujuk kilah sang juragan yang mengaku tidak menimbun pupuk membuat orang Samin berkesimpulan bahwa pupuk-pupuk di gudang tadi memang bukan milik sang juragan tamak tersebut. Mereka pun lalu bebas mengambilnya.
Sayangnya, fondamen lawakan tersebut belum banyak difahami oleh banyak pelawak-pelawak kita. Lelucon mereka tentang hantu-hantuan, banci-bancian sampai gubrak-gubrakan yang cenderung merendahkan kecerdasan, sekaligus makin menjauh dari premis-premis kebenaran.
Hal konyol itu merupakan bukti ketidakmampuan mereka membuat lawakan yang mampu memiliki kaitan dengan apa yang dilihat, difahami dan diterima oleh banyak orang, atau penonton. Karena lelucon mereka yang semacam itu semata perwujudan sifat egosentris, yang sebenarnya hanya lucu bagi dirinya sendiri belaka.
Dihibur Orang Mati dan Stres. Harian Jawapos (11/4/2010) ketika menulis laporan tentang acara lawak Opera Van Java, menunjukkan bukti menarik. Sebetulnya menyedihkan. Koran itu telah mengutip Bremoro Kunto, asisten produser OVJ, yang mengatakan bahwa para pelaku utama acara itu dengan penilaian : "Kalau saya bilang, mereka bukan kategori orang lucu lagi, melainkan orang stres."
Kalau dalam film-film Indonesia mutakhir yang ramai dengan genre hantu dan pocong, sehingga Ketua LSF Mukhlis PaEni di Kompas (28/3/2010) menyatakan hal itu sebagai "kekonyolan budaya kita karena orang yang hidup sudah tidak bisa memberikan hiburan sehingga hiburan itu diserahkan kepada hantu-hantu," maka dalam komedi hiburan itu kini diserahkan kepada orang-orang yang stres.
Tayangan Piala Duniatawa TPI yang akan meluncur 2 Mei 2010, saya duga kuat ("sori, Momon") hanya akan menambah panjang daftar tayangan lawakan di televisi kita yang semata bermodalkan komedian-komedian yang stres pula.
Staf ahli Mendagri. Lawakan-lawakan stres itu kini kita kuatirkan semakin menular. Memengaruhi psike masyarakat Indonesia dalam pelbagai faset kehidupan. Aksi tindak kekerasan yang meruyak di negeri ini, boleh jadi, juga ikut dipengaruhi oleh tayangan komedi-komedi yang tidak mengajarkan keluhuran itu.
Bisakah insan-insan komedi Indonesia diajak kembali ke khittah, bahwa nilai melawak yang luhur akan muncul bila kita berani menertawai diri sendiri ? Bukan menertawai hantu, kaum banci atau pocongan. Sehingga dengan sikap jujur dan rendah hati itu mungkin mereka akan lebih mudah tergerak menyetrum diri dengan energi-energi kreatif baru yang bukan berlandaskan kekonyolan demi kekonyolan.
Mungkinkah Prof. Sarlito memiliki saran dan kritik sebagai solusi atas dekadensi tayangan komedi Indonesia dewasa ini ? Tentu saja, beliau pasti punya. Dan dipastikan manjur. Tetapi sayang, nampaknya pemangku kepentingan dunia komedi Indonesia tidak memiliki kepekaan sampai kesadaran diri betapa arah langkah mereka kini sudah memasuki ranah kekonyolan dan kebodohan yang luar biasa.
Semoga suatu saat Mas Ito akan ikut memberikan saran. Tetapi saya tak akan memintanya untuk saat ini. Mungkin nanti sesudah permohonan saya agar beliau sudi menulis endorsement untuk buku saya, Komedikus Erektus, paripurna beliau penuhi. Kini penerbit saya berusaha segera mengirimkan dummy buku tersebut kepada beliau. Hari-hari mendatang saya akan rada merasa deg-degan menunggu, karena buru-buru ingin meresapi apa saja yang hendak Mas Ito nanti tuliskan.
Tetapi saya tidak kuatir. Karena, mungkin ia termasuk dalam mazhab psikologi kebahagiaan dengan pentolan Martin Seligman dari Universitas Pennsylvania (AS), maka masukannya senantiasa mencerahkan dan menumbuhkan optimisme. Itu terbukti dalam email terakhir beliau, saat kami mengobrolkan pola kepemimpinan Joko Widodo sebagai walikota Solo yang melakukan pendekatan secara menang-menang, win-win, dalam mengatasi masalah kemasyarakatan di Solo.
Bandingkan dengan pendekatan model gubrak-gubrak atau lose-win dan lose-lose yang meledak dalam aksi tindak kekerasan aparat sehingga jatuh korban tewas dan luka-luka di Tanjung Priuk, Jakarta Utara, baru-baru ini.
Merujuk prestasi walikota Solo itu, beliau rada menyayangkan mengapa Joko Widodo hari ini "hanya" sebagai walikota saja. Kemudian terkait cerita saya bahwa di tahun 1998 saya bersama Mayor Haristanto mendirikan Forum Bisnis Solo/Forbis dan mengadakan seminar dengan mengundang Dr. Sri Mulyani Indrawati, sementara Joko Widodo sebagai sponsor acara, Mas Ito mencita-citakan Joko Widodo sebagai Menteri Dalam Negeri.
Lalu imbuhnya, "Bambang Haryanto kemudian sebagai staf ahlinya."
Memperoleh endorsement seorang maha guru ternama dari Universitas Indonesia itu, langsung saja, impian saya tiba-tiba melambung warna-warni. Terbius keinginan menjadi staf ahli Menteri Dalam Negeri. Tetapi, lupakanlah, karena pada akhir email Mas Ito itu masih ada tambahannya : "ha-ha-ha-ha."
Wonogiri, 20 April 2010
UP-DATE : 24 April 2010 : Artikel ini juga saya pajang di Facebook. Berikut di bawah ini terdapat beberapa komentar dan sambutan dari teman-teman saya, dan juga tanggapan saya terhadap isi komentar mereka. Semoga makin memperkaya obrolan yang ada. Terima kasih.
Hartadi Wibowo : "Ketika dulu saya (pernah) 4 tahun nongkrong di FSUI, saya merasa (dan tentu saja mata saya melihat ), mahasiswi Fak. Psikologi UI lebih cantik-cantik dibanding mahasiswi Sastra. Mungkin karena yang di Sastra sudah sering lihat, sedangkan yang di Psikologi jarang ketemu. Atau berlaku hukum "rumput tetangga lebih hijau" ? Bagaimana Oom BH ?"
Sunu Wasono : Mas, ditunggu lho buku tentang humor itu. Kabari kalau sudah terbit. Omong-omong soal humor, saya jadi teringat pelawak Bagyo. Dia bilang bahwa humor itu serius. Benar kiranya diperlukan kecerdasan untuk menampilkan humor. Moga-moga segera muncul humoris-humoris yang mau dan mampu mentertawakan diri sehingga setiap hari kita tidak disuguhi adegan orang stres melulu. Makasih Mas. Tulisan njenengan memberikan pencerahan.
Bambang Haryanto : @ Hartadi Wibowo : Thanks, Ted. Kayaknya kau sudah menjawab pertanyaanmu itu. Aku setuju bila sindrom rumput di seberang pagar, yang tak hanya rumput hijau tetapi juga rumput hitam, juga sering memengaruhi kita. C’est la vie. Itulah kehidupan
Bambang Haryanto : @Sunu Wasono : Thanks, Mas Sunu. Bila kelar, Anda akan segera memperoleh kabar. Tentang kajian humor secara serius, Sastra Indonesia UI apa tidak ada minat ya ? Suara dari FSUI yang ada dalam kliping saya adalah pendapat (kolega Anda ?), I. Yoedhi Soenarto, tentang Ketoprak Humor di Gatra, Desember 2001 yang lama lewat.
Literatur serius tentang humor justru pertama kali saya pergoki di perpustakaannya mBak Yayi/FSUI, tahun 1982-an. Pada bukunya Arthur Koestler, The Act of Creation (1964). Ia yang idolanya Sting dari The Police itu bilang, bahwa kebudayaan terbagi tiga ranah : agama, ilmu pengetahuan dan humor.
Sayang, saya tak sempat menfotokopi bab tentang humor dari buku ini, yang antara lain bilang : bila komedian terampil mengolah gagasan ia akan mampu mendekati peran sebagai seorang pemikir atau filsuf, tetapi bila terampil mengolah bahasa, maka komedian bersangkutan mampu hadir sebagai seorang penyair. Ini saya kutip dari almarhum George Carlin, komedian solo legendaris AS, tentang bukunya Koestler itu. Salam.
Harris Cinnamon : “....hanya akan menambah panjang daftar tayangan lawakan di televisi kita yang semata bermodalkan komedian-komedian yang stres pula....”
Sangat benar itu, mBang. tapi alhamdulillahnya, kita tim "penggodoknya" yang ada di balik layar, sesungguhnya sangat tidak ingin hal itu terjadi, sampai detik ini, kita sangat berharap bahwa yang akan kita tampilkan sevisi dengan kita. tapi kalau kenyataannya nanti melenceng, walahualam, berarti: kita tetap akan terus belajar, tapi nggak nemu ilmu kanuragarannya humor (kalo gitu) ha ha...tq
Hari Juniar : Seorang teman bertanya kpd saya, mengapa di pantai itu udaranya panas sekali dibandingkan udara di pegunungan yang sejuk... saya hanya menjawab ringan... Tuhan menciptakan pantai dengan udaranya yg panas, penuh sinar matahari, penuh kegembiraan dan keceriaan.. karena Tuhan menciptakan 'BIKINI'.....
Ugh.. alih2 mo melawak.. teman saya men'cap' saya..sebagai melawan 'Tuhan'.. SARA.. dan predikat2 lain yg menenmpatkan saya sebagai orang yg melecehkan' Tuhan'.. finally saya harus jelaskan panjang lebar dimana letak lucunya... dan dia tetap ga tertawa... ha3...
Mungkin itu yg menyebabkan 'lawakan komedian stress' yg 'laku'.. pemirsa nya males mikir.... dan menurut mas BH kan lawakan itu menjadi ngga lucu lagi ketika sebuah 'punch' yg diharapkan langsung meledakkan tawa, tetapi pemirsa nya 'bengong-bengong'... dan komediannya jadi salah tingkah karena punch nya ngga bikin 'gerrr' dan akhirnya dia harus menjelaskan punch nya panjang lebar dan... pemirsanya tetap tidak tertawa... ha3... tetap semangat mas.. smoga selalu bisa berbagi pemikiran... amiin
Bambang Haryanto : @ Harris Cinnamon. Thanks untuk komentarmu. Komedi itu ibarat gedung dengan “lawang sewu,” di mana setiap orang bisa memasukinya dari pintu yang mana saja. Mungkin kau dan kawan-kawan di TPI dalam menggarap Piala Duniatawa masuk dari pintu 600, dan saya dari pintu 346, teman lain dari pintu 875, semuanya sah-sah saja.
Tetapi menurutku tetap harus ada satu pegangan, meminjam kata Gene Perret : “All comedy must be relevant” dan “The best humor is based on truth.” Dalam pemahaman saya, ya kira-kira begitu itulah inti ilmu kanuragan dalam komedi. Artinya, di dalam tayangan komedi itu kita bisa melihat diri-diri kita di sana dan ketika komedi itu semakin mendekati kasunyatan, kebenaran, realitas, atau kejujuran, akan semakin berpeluang jenaka pula sajian komedi bersangkutan. Sukses selalu.
Bambang Haryanto : @ Hari Juniar : komedian itu, menurutku, harus rendah hati. Kalau sesuatu lelucon tidak meledak [bombed], cepat-cepat ganti yang lain, dan jangan sesekali menyalahkan audiens. Kata Mas Jaya Suprana, sesuatu lelucon akan mendapat sambutan memadai [killing], bila antara komedian dan audiens berada dalam “satu gelombang” yang sama. Repotnya, meraba “gelombang” merupakan skill tersendiri, sehingga komedian top di manca negara perlu survei detil dulu tentang calon audiensnya sebelum ia tampil.
Tetapi tetap ada resep dan solusi manjur untuk itu : carilah KEKURANGAN yang menonjol yang ada pada dirimu sendiri, lalu jadikanlah kekurangan itu sebagai bahan lawakan ! Ingat kata wasiat ibu mentor komedian, Judy Carter, tentang misi luhur komedian dalam peradaban :
“Kita para jenakawan sejati itu makhluk yang bener-bener aneh. Kalau sebagian besar orang berusaha sekuat mungkin menyembunyikan cacat dan celanya, tetapi kita para jenakawan sejati sengaja mempertontonkan semua cacat dan cela kita itu ke muka dunia !”
[PS: beranikah para pemuka agama, birokrat dan politisi melakukan hal yang sama ?].
Harris Cinnamon : "Insya Allah, Bang, karena sesungguhnya itulah yang ingin kita tetapkan, kita ingin mendakati realnya. Terima kasih atas segala masukannya, yang sulit tergantikan dengan apapun."
Minggu, 11 April 2010
Job Fair, Joker Fair dan Koneksi Sukses Anda
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Buang Surat Lamaran Anda ! Acara Career Days yang pertama kali saya ikuti berlangsung tanggal 14-16 Februari 1989. Tempatnya di Balai Mahasiswa Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Penyelenggaranya, kalau tak salah, Senat Mahasiswa FEUI dan AISEC. Saya datang tidak untuk mencari pekerjaan. Tetapi untuk membuka wawasan. Mencari peluang kerja sama.
Tahun-tahun itu, sebagai infojunkie saya banyak membeli buku-buku, majalah, termasuk majalah bekas terbitan luar negeri, sampai print out pelbagai bank data komersial (belum ada Internet saat itu) di manca negara. Topiknya : strategi berburu pekerjaan.
Minat itu terpicu antara lain oleh sebuah buku koleksi perpustakaan PDII-LIPI. Lembaga ini saya tak tahu apa namanya sekarang, tetapi saat itu bernama PDIN-LIPI. Buku tersebut merupakan karya Warren J. Rosaluk, judulnya Throw Away Your Resume and Get That Job (1983). Buang saja surat-surat lamaran (juga CV Anda) dan dapatkan pekerjaan.
Bagi saya, buku ini revolusioner. Sayangnya, tidak banyak diketahui oleh jutaan pencari kerja kita yang sebagian besar menggantungkan masa depannya dengan cara-cara konvensional dalam berburu pekerjaan. Cara-cara lama ini senyatanya melelahkan, yang mudah menimbulkan rasa putus asa dan perasaan tidak berharga, dan bahkan juga mampu membinasakan dirinya itu pula.
Pengalaman kerja nol. Kembali ke acara di kampus UI tersebut. Pembicaranya antara lain Abdulgani (Bank Duta, “masih ada yang ingat bank satu ini ?”), Hamizar (Bakrie Brothers, “Aburizal Bakrie saat itu belum terkenal”) dan Fahmi Idris (KODEL Group). Pertanyaan yang muncul dari kalangan mahasiswa, yang klasik itu, menyangkut persyaratan pengalaman kerja. “Kami baru saja lulus, kok dimintai informasi seputar pengalaman kerja ?,” kira-kira begitulah protes mereka.
Terkait keluhan tipikal di atas, saya pernah menulis di kolom surat pembaca di Kompas Jawa Tengah, dengan judul “Pengalaman Kerja, Perlakuan Tak Adil ?” (23/11/2004). Saya tuliskan : “Yang dimaksud pengalaman kerja itu sebenarnya bukan hanya terbatas kepada pengalaman kerja yang memperoleh bayaran. Selama kuliah, dengan terjun dalam pelbagai aktivitas kemahasiswaan, baik kesenian, olahraga, sosial atau politik, mahasiswa bersangkutan juga telah memperoleh pengalaman kerja yang berguna.
Merancang isu demo, menggalang barisan peserta, membagi tugas, membuat spanduk baik isi sampai desain, menyebarkan siaran pers sampai melakukan demonya itu sendiri, adalah juga pengalaman kerja.
Problemnya adalah, tidak banyak mahasiswa kita yang selama kuliah sengaja melakukan aktivitas non-kuliah demi memperoleh pengalaman kerja yang kelak ia butuhkan. Tidak banyak pula yang mau terjun bekerja sebagai relawan tanpa bayaran.
Beda misalnya dengan mahasiswa di luar negeri, di mana misalnya pada masa kampanye pemilu mereka ramai-ramai bergabung sebagai relawan dalam tim sukses calon presiden. Mereka menjelajahi beragam pekerjaan yang memang terbuka saat itu guna memperoleh pengalaman, keterampilan, wawasan dan jaringan koneksi.”
Koneksi itu penting. Kalau kata ini terkesan berkonotasi KKN, bisalah Anda ganti dengan networking, menggalang jejaring. Dan itulah yang tidak nampak ketika acara seminar dalam Career Days itu berakhir. Tak ada gerombolan mahasiswa yang antusias datang menyalami para pembicara, bertanya atau berbincang, apalagi sambil bertukar kartu nama. Koneksi pun menjadi terputus. Momen langka dan berharga ini menjadi sia-sia,mubazir, bagi para mahasiswa yang suatu saat kelak akan terjun dalam aktivitas berburu pekerjaan.
Momen mubazir serupa terlihat pula ketika saya mengikuti audisi API-4 (26/1/2008) dan audisi Piala Dunia Tawa (2/4/2010) di Gedung Wanitatama, Yogyakarta. Mungkin karena atmosfirnya sarat persaingan di antara peserta, membuat mereka terkondisikan untuk cenderung “kurang ramah” satu terhadap yang lainnya.
Begitu acara bubar, mereka-mereka itu nyaris tidak dapat dilacak lagi domisili masing-masing. Termasuk potensi yang mereka miliki. Isian dalam formulir pendaftaran memang tidak membuka peluang tersajinya keistimewaan masing-masing peserta audisi. Apalagi TPI, demi alasan bisnis, memang wajar bila nampak berkepentingan hanya dengan peserta yang lolos saja. Sisanya, data yang lebih banyak dari peserta audisi yang gagal itu, mungkin dinilai tak berguna lagi oleh fihak TPI.
Akibatnya, menurut saya, komunitas komedi kita kehilangan direktori yang mampu mengikat simpul-simpul sumber daya kreatif itu. Karena mungkin saja bila mereka memperoleh sentuhan secara berbeda (bukan audisi), dengan diberi bimbingan dan dibukakan wawasannya, boleh jadi akan menunjukkan sisi-sisi cemerlangnya.
“Delapan puluh persen rahasia sukses adalah mejeng,” demikian kata komedian, penulis dan sutradara pemenang Oscar, Woody Allen. Tetapi kalau peserta audisi itu sendiri eksistensinya, misalnya, tidak dapat terdeteksi di Internet, bagaimana bisa membuka peluang dirinya untuk sukses ? Ah, maaf, mungkinkah saya lagi mabuk dan melebih-lebihkan kedigdayaan Internet ?
Yang saya tahu, media Internet itu membuka terjadinya interaksi. Juga diskusi. Alangkah betapa semakin bergunanya Internet itu bila dalam acara semacam job fair, career days, sampai audisi a la TPI yang boleh kita beri label sebagai joker fair atau comedy fair, juga memperoleh pendampingan dengan diluncurkannya situs web atau blog tersendiri. Atau akun Facebook pula. Semuanya tersedia secara gratis, bukan ? Acara memang sudah selesai, tetapi diskusi bisa berjalan terus. Khasanah ilmu pengetahuan tentang komedi juga dapat terakumulasikan dari momen itu, dari waktu ke waktu.
Berdasarkan pola pikir atau mindset serupa, saya telah meluncurkan blog Komedikus Erektus : The Book ini. Blog ini saya luncurkan untuk mendampingi penerbitan buku kumpulan cerita humor dan bimbingan berkomedi, dengan judul yang sama. Insya Allah, Mei 2010 sudah terbit.
Saya berdoa semoga Faried Wijdan dan kawan-kawan di Etera Imania, sehat-sehat dan selalu bersemangat untuk merampungkan proyek kami bersama ini.
Melalui blog tersebut, saya ingin bisa mengobrol dengan sesama pencinta komedi. Menampung kritik dan saran atas buku saya itu. Siapa tahu, lewat diskusi pula, kita bisa meluncurkan acara komedi televisi yang baru ? Buku baru ? Sekolah komedi baru ? Hanya imajinasi saja yang dapat membatasi pelbagai kemungkinan itu.
Anda setuju ?
Wonogiri, 11 April 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Buang Surat Lamaran Anda ! Acara Career Days yang pertama kali saya ikuti berlangsung tanggal 14-16 Februari 1989. Tempatnya di Balai Mahasiswa Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Penyelenggaranya, kalau tak salah, Senat Mahasiswa FEUI dan AISEC. Saya datang tidak untuk mencari pekerjaan. Tetapi untuk membuka wawasan. Mencari peluang kerja sama.
Tahun-tahun itu, sebagai infojunkie saya banyak membeli buku-buku, majalah, termasuk majalah bekas terbitan luar negeri, sampai print out pelbagai bank data komersial (belum ada Internet saat itu) di manca negara. Topiknya : strategi berburu pekerjaan.
Minat itu terpicu antara lain oleh sebuah buku koleksi perpustakaan PDII-LIPI. Lembaga ini saya tak tahu apa namanya sekarang, tetapi saat itu bernama PDIN-LIPI. Buku tersebut merupakan karya Warren J. Rosaluk, judulnya Throw Away Your Resume and Get That Job (1983). Buang saja surat-surat lamaran (juga CV Anda) dan dapatkan pekerjaan.
Bagi saya, buku ini revolusioner. Sayangnya, tidak banyak diketahui oleh jutaan pencari kerja kita yang sebagian besar menggantungkan masa depannya dengan cara-cara konvensional dalam berburu pekerjaan. Cara-cara lama ini senyatanya melelahkan, yang mudah menimbulkan rasa putus asa dan perasaan tidak berharga, dan bahkan juga mampu membinasakan dirinya itu pula.
Pengalaman kerja nol. Kembali ke acara di kampus UI tersebut. Pembicaranya antara lain Abdulgani (Bank Duta, “masih ada yang ingat bank satu ini ?”), Hamizar (Bakrie Brothers, “Aburizal Bakrie saat itu belum terkenal”) dan Fahmi Idris (KODEL Group). Pertanyaan yang muncul dari kalangan mahasiswa, yang klasik itu, menyangkut persyaratan pengalaman kerja. “Kami baru saja lulus, kok dimintai informasi seputar pengalaman kerja ?,” kira-kira begitulah protes mereka.
Terkait keluhan tipikal di atas, saya pernah menulis di kolom surat pembaca di Kompas Jawa Tengah, dengan judul “Pengalaman Kerja, Perlakuan Tak Adil ?” (23/11/2004). Saya tuliskan : “Yang dimaksud pengalaman kerja itu sebenarnya bukan hanya terbatas kepada pengalaman kerja yang memperoleh bayaran. Selama kuliah, dengan terjun dalam pelbagai aktivitas kemahasiswaan, baik kesenian, olahraga, sosial atau politik, mahasiswa bersangkutan juga telah memperoleh pengalaman kerja yang berguna.
Merancang isu demo, menggalang barisan peserta, membagi tugas, membuat spanduk baik isi sampai desain, menyebarkan siaran pers sampai melakukan demonya itu sendiri, adalah juga pengalaman kerja.
Problemnya adalah, tidak banyak mahasiswa kita yang selama kuliah sengaja melakukan aktivitas non-kuliah demi memperoleh pengalaman kerja yang kelak ia butuhkan. Tidak banyak pula yang mau terjun bekerja sebagai relawan tanpa bayaran.
Beda misalnya dengan mahasiswa di luar negeri, di mana misalnya pada masa kampanye pemilu mereka ramai-ramai bergabung sebagai relawan dalam tim sukses calon presiden. Mereka menjelajahi beragam pekerjaan yang memang terbuka saat itu guna memperoleh pengalaman, keterampilan, wawasan dan jaringan koneksi.”
Koneksi itu penting. Kalau kata ini terkesan berkonotasi KKN, bisalah Anda ganti dengan networking, menggalang jejaring. Dan itulah yang tidak nampak ketika acara seminar dalam Career Days itu berakhir. Tak ada gerombolan mahasiswa yang antusias datang menyalami para pembicara, bertanya atau berbincang, apalagi sambil bertukar kartu nama. Koneksi pun menjadi terputus. Momen langka dan berharga ini menjadi sia-sia,mubazir, bagi para mahasiswa yang suatu saat kelak akan terjun dalam aktivitas berburu pekerjaan.
Momen mubazir serupa terlihat pula ketika saya mengikuti audisi API-4 (26/1/2008) dan audisi Piala Dunia Tawa (2/4/2010) di Gedung Wanitatama, Yogyakarta. Mungkin karena atmosfirnya sarat persaingan di antara peserta, membuat mereka terkondisikan untuk cenderung “kurang ramah” satu terhadap yang lainnya.
Begitu acara bubar, mereka-mereka itu nyaris tidak dapat dilacak lagi domisili masing-masing. Termasuk potensi yang mereka miliki. Isian dalam formulir pendaftaran memang tidak membuka peluang tersajinya keistimewaan masing-masing peserta audisi. Apalagi TPI, demi alasan bisnis, memang wajar bila nampak berkepentingan hanya dengan peserta yang lolos saja. Sisanya, data yang lebih banyak dari peserta audisi yang gagal itu, mungkin dinilai tak berguna lagi oleh fihak TPI.
Akibatnya, menurut saya, komunitas komedi kita kehilangan direktori yang mampu mengikat simpul-simpul sumber daya kreatif itu. Karena mungkin saja bila mereka memperoleh sentuhan secara berbeda (bukan audisi), dengan diberi bimbingan dan dibukakan wawasannya, boleh jadi akan menunjukkan sisi-sisi cemerlangnya.
“Delapan puluh persen rahasia sukses adalah mejeng,” demikian kata komedian, penulis dan sutradara pemenang Oscar, Woody Allen. Tetapi kalau peserta audisi itu sendiri eksistensinya, misalnya, tidak dapat terdeteksi di Internet, bagaimana bisa membuka peluang dirinya untuk sukses ? Ah, maaf, mungkinkah saya lagi mabuk dan melebih-lebihkan kedigdayaan Internet ?
Yang saya tahu, media Internet itu membuka terjadinya interaksi. Juga diskusi. Alangkah betapa semakin bergunanya Internet itu bila dalam acara semacam job fair, career days, sampai audisi a la TPI yang boleh kita beri label sebagai joker fair atau comedy fair, juga memperoleh pendampingan dengan diluncurkannya situs web atau blog tersendiri. Atau akun Facebook pula. Semuanya tersedia secara gratis, bukan ? Acara memang sudah selesai, tetapi diskusi bisa berjalan terus. Khasanah ilmu pengetahuan tentang komedi juga dapat terakumulasikan dari momen itu, dari waktu ke waktu.
Berdasarkan pola pikir atau mindset serupa, saya telah meluncurkan blog Komedikus Erektus : The Book ini. Blog ini saya luncurkan untuk mendampingi penerbitan buku kumpulan cerita humor dan bimbingan berkomedi, dengan judul yang sama. Insya Allah, Mei 2010 sudah terbit.
Saya berdoa semoga Faried Wijdan dan kawan-kawan di Etera Imania, sehat-sehat dan selalu bersemangat untuk merampungkan proyek kami bersama ini.
Melalui blog tersebut, saya ingin bisa mengobrol dengan sesama pencinta komedi. Menampung kritik dan saran atas buku saya itu. Siapa tahu, lewat diskusi pula, kita bisa meluncurkan acara komedi televisi yang baru ? Buku baru ? Sekolah komedi baru ? Hanya imajinasi saja yang dapat membatasi pelbagai kemungkinan itu.
Anda setuju ?
Wonogiri, 11 April 2010
Jumat, 09 April 2010
Budaya Literasi dan Dunia Komedi Kita
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Calon pelawak itu kebanyakan orang miskin.
George Burns (1896-1996), contohnya.
“Kami tahu, ayah berasal dari keluarga yang sangat miskin. Dia memiliki saudara lelaki dan perempuan sebanyak sebelas orang, semuanya tidur pada karpet yang sama pada apartemen satu kamar. Tetapi ayah tidak menceritakan semua itu dengan cara biasa. Semua itu tidak menyenangkan. Semua itu tidaklah lucu.”
Sebaliknya, demikian cerita putranya, Ronnie Burns, ayahnya “membuat semua kisah penderitaan itu sebagai cerita-cerita yang lucu. Sebagai tukang cerita ia menyajikan cerita-cerita ringan yang bersumberkan dari realitas hidupnya.”
Sebagaimana dikutip oleh Martin Gottfried dalam buku biografi berjudul George Burns And The Hundred Year Dash (1996), George Burns mengatakan : “Bagi saya, kehidupan nyata adalah bisnis pertunjukan.”
Cerita serupa, atau yang kurang lebih sama, boleh jadi juga akan kita temui pada pelbagai buku biografi untuk pelawak-pelawak kita. Tetapi ketika menerjuni arena audisi Piala Dunia Tawa-nya TPI di Yogyakarta (2/4/2009), dan momen sesudahnya, saya merasakan adanya “kemiskinan” jenis lain pada calon-calon penghibur, termasuk calon pelawak-pelawak kita.
Hal yang sama mungkin sekaligus diderita para pemangku kepentingan terhadap dunia tarik tawa kita selama ini. Tegasnya adalah : kemiskinan dalam budaya literasi.
Bukan pesta intelektual. Stasiun televisi swasta TPI telah menyelenggaraan 5 kali audisi untuk merekrut bibit-bibit baru pelawak Indonesia. Yang bertajuk Audisi Pelawak TPI (API) sudah berlangsung 4 kali (2004, 2005, 2006, 2008) dan yang kelima dengan tajuk Piala Dunia Tawa (2010) sekarang ini.
Kesan yang saya peroleh, semua acara ini kemasannya zakelijk kegiatan audisi semata. Anda datang, mendaftar, melakukan audisi, dan lalu menunggu keputusan tentang lolos atau tidak. Selesai.
Padahal dalam waktu-waktu kosong, baik saat menunggu audisi atau menunggu saat pengumuman, dapat diadakan beragam kegiatan yang bersifat informasional dan edukasional. Katakanlah, pengelola televisi yang membidang dunia lawak-melawak itu membuka isi jeroan-nya kepada masyarakat luas.
Misalnya dengan mengadakan pemutaran film-film pendek komedi, pameran skrip-skrip komedi di televisi, film dokumentasi dibalik layar tentang penyiapan tayangan komedi, pameran bahan-bahan pustaka komedi, sampai pengenalan terhadap situs-situs bimbingan komedi di Internet.
Diramaikan misalnya dengan acara open mic bagi peserta untuk bisa saling mengenalkan diri atau membuang stres, sesi diskusi dengan penulis komedi sampai sutradara acara komedi, sampai arena penjualan pelbagai benda kenangan acara bersangkutan.
Dengan hadirnya beragam kegiatan ini, yang hadir diharapkan bukan hanya para calon-calon komedian, tetapi juga beragam pemangku kepentingan terhadap perkembangan dunia komedi kita. Sebaiknya pada acara pengumuman tentang siapa-siapa saja yang lolos bisa dibuatkan panggung tersendiri, dengan seremoni tertentu pula.
Syukur-syukur pula bila bisa diadakan lomba menulis catatan di Facebook, baik bagi peserta audisi tentang kesan dan pesan mereka, atau pun yang melibatkan audiens, sehingga secara tidak langsung akan menjadi publikasi yang meluas untuk acara bersangkutan.
Merujuk hal-hal di atas, saya agak heran juga : mengapa para penerbit/penulis buku-buku humor dan komedi, sampai buku seputar panduan berkarier sebagai komedian, tidak membuat lapak dalam acara seperti ini ? Bahkan ada lembaga yang berambisi sebagai pusat dokumentasi komedi, tetapi mengapa mereka juga tidak memiliki perhatian terhadap hajatan sebesar ini pula ?
Apakah justru para calon komedian itu bukan dianggap sebagai pasar bagi produk-produk mereka ?
Saya tidak tahu. Kalau saja buku humor/komedi saya Komedikus Erektus saya sudah terbit, saya akan membuka lapak. Kalau di dalam arena tidak boleh atau tidak bisa, di trotoar pun jadi.
Indonesia butuh komedian. Seusai mengikuti audisi Piala Dunia Tawa di Gedung Wanitatama Yogya sore itu, saya memutuskan berjalan kaki sampai Janti. Saya melihat pusat pertokoan, kantor perusahaan swasta dan pemerintah, sampai restoran, kafe dan hotel. Hemat saya, semua lembaga itu memerlukan kehadiran para komedian.
Bahkan di era demokrasi ini, Indonesia sebenarnya semakin banyak membutuhkan jasa komedian. Utamanya komedian yang pemarah a la Lewis Black, untuk garang melucukan, menghardik dan sekaligus melecehkan para pejabat negara dan juga penegak hukum yang melakukan tindak korupsi yang membuat kita terkejut-kejut akhir-akhir ini. Semua tindakan culas sampai sikap munafik mereka itu pantas diberi hukuman secara sosial.Mereka harus menjadi bahan tertawaan. Agar nurani bangsa ini tetaplah waras.
Kata Jay Sankey dalam bukunya Zen and The Art of Stand-Up Comedy (1998), bahwa setiap lelucon yang dahsyat haruslah mampu menimbulkan korban bergelimpangan. Semakin jelas korban yang dimaksud, semakin menggigit pula lawakan bersangkutan.
Tetapi untuk mampu mencapai taraf itu, bukan hal yang mudah. Utamanya bagi pelawak kita. Karena lawakan yang mampu menggigit ulah pejabat-pejabat culas itu, merujuk kaidah piramid komedi dari Steve Ray, merupakan puncak dari pencapaian komedi itu sendiri. Ia telah menggolongkan komedi dalam tujuh tingkat, yaitu komedi fisik, komedi porno, storyline, bahasa, imitasi, kontradiksi karakter dan yang paling puncak adalah satir.
Agar mampu meraih keandalan dalam menyajikan satir, bahkan juga pada enam tingkat komedi di bawahnya, fondamennya kurang lebih tetaplah sama : dibutuhkan topangan budaya literasi, budaya baca-tulis yang kuat. Kevin Kelly, seorang maverick dari majalah gaya hidup digital Wired mengatakan dalam salah satu artikelnya betapa orang yang tumbuh dalam lingkungan teknologi baca dan tulis berfikir dengan cara berbeda.
“Saya tidak bermaksud mengatakakan bahwa orang berfikir berbeda ketika membaca. Membaca dan menulis merupakan sarana kognitif yang begitu kita kuasai akan merubah cara otak dalam mengingat fakta dan mengkonseptualisasikan gagasan, dan pelbagai perubahan tersebut akan merangsang kinerja pemikiran secara abstraks.”
Terima kasih, Kevin.
Sebagai orang yang berusaha menumbuh-numbuhkan embrio lawakan berdasarkan gagasan, idea-driven jokes, pendapat Kevin Kelly itu semakin membuat saya percaya diri. Saya rupanya, mudah-mudahan, telah menempuh arah yang benar.
Belajar dari CSI. Beberapa hari kemudian, saya memperoleh sms. Rupanya dari peserta audisi di Yogya yang gagal, tetapi nampaknya ia ingin mengikuti lagi di Bandung. Semangat yang pantas dihargai.
Ia bertanya apakah saya memiliki konsep lawakan. Maksudnya mungkin set, naskah lawakan. Saya bilang, saya tidak punya. Lalu saya usulkan : silakan baca koran dan lihat TV. Di sana banyak materi untuk bisa dijadikan bahan lawakan. Setiap berita headline berpeluang ditekuk sana-sini menjadi materi komedi !
Sekadar contoh, koran Kompas Minggu (4/4/2010) memajang laporan tentang kisah-kisah di balik pembuatan film seri terkenal, CSI, di Amerika Serikat. Yang menonjol antara lain cerita bahwa, begitu muncul berita tentang tindakan kriminal tertentu, di media massa, para awak kreatif dan penulis naskah dari film seri itu segera mendiskusikannya sebagai bahan cerita serial film itu berikutnya.
Usul saya itu mungkin membuatnya patah hati. Tetapi, itulah realitanya. Jalan untuk menjadi komedian memang seringkali juga bukan jalan yang mudah. Utamanya bagi mereka yang miskin. Tentu saja tidak hanya menyangkut masalah miskin dalam harta, tetapi terutama yang miskin wawasan, miskin semangat untuk teguh dan kukuh, miskin untuk terus dan terus belajar memperkaya isi kepala mereka dengan wawasan-wawasan baru pula.
Pesan singkat yang lain, kemudian juga saya terima. Dari nomor berbeda. Balasan dari sebuah kelompok yang berhasil lolos ke Jakarta, yang sebelumnya saya usulkan agar memiliki akun Facebook dan blog untuk menulis kisahnya di sana. Sebagai sarana promosi mereka sejak dini. Pimpinan kelompok itu hanya menjawab dengan “ha-ha-ha.” Sembari mengaku dirinya sebagai gaptek, apa adanya.
Masih muda kok mistek.Miskin teknologi.
Apa kata dunia ?
Wonogiri, 9/4/2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Calon pelawak itu kebanyakan orang miskin.
George Burns (1896-1996), contohnya.
“Kami tahu, ayah berasal dari keluarga yang sangat miskin. Dia memiliki saudara lelaki dan perempuan sebanyak sebelas orang, semuanya tidur pada karpet yang sama pada apartemen satu kamar. Tetapi ayah tidak menceritakan semua itu dengan cara biasa. Semua itu tidak menyenangkan. Semua itu tidaklah lucu.”
Sebaliknya, demikian cerita putranya, Ronnie Burns, ayahnya “membuat semua kisah penderitaan itu sebagai cerita-cerita yang lucu. Sebagai tukang cerita ia menyajikan cerita-cerita ringan yang bersumberkan dari realitas hidupnya.”
Sebagaimana dikutip oleh Martin Gottfried dalam buku biografi berjudul George Burns And The Hundred Year Dash (1996), George Burns mengatakan : “Bagi saya, kehidupan nyata adalah bisnis pertunjukan.”
Cerita serupa, atau yang kurang lebih sama, boleh jadi juga akan kita temui pada pelbagai buku biografi untuk pelawak-pelawak kita. Tetapi ketika menerjuni arena audisi Piala Dunia Tawa-nya TPI di Yogyakarta (2/4/2009), dan momen sesudahnya, saya merasakan adanya “kemiskinan” jenis lain pada calon-calon penghibur, termasuk calon pelawak-pelawak kita.
Hal yang sama mungkin sekaligus diderita para pemangku kepentingan terhadap dunia tarik tawa kita selama ini. Tegasnya adalah : kemiskinan dalam budaya literasi.
Bukan pesta intelektual. Stasiun televisi swasta TPI telah menyelenggaraan 5 kali audisi untuk merekrut bibit-bibit baru pelawak Indonesia. Yang bertajuk Audisi Pelawak TPI (API) sudah berlangsung 4 kali (2004, 2005, 2006, 2008) dan yang kelima dengan tajuk Piala Dunia Tawa (2010) sekarang ini.
Kesan yang saya peroleh, semua acara ini kemasannya zakelijk kegiatan audisi semata. Anda datang, mendaftar, melakukan audisi, dan lalu menunggu keputusan tentang lolos atau tidak. Selesai.
Padahal dalam waktu-waktu kosong, baik saat menunggu audisi atau menunggu saat pengumuman, dapat diadakan beragam kegiatan yang bersifat informasional dan edukasional. Katakanlah, pengelola televisi yang membidang dunia lawak-melawak itu membuka isi jeroan-nya kepada masyarakat luas.
Misalnya dengan mengadakan pemutaran film-film pendek komedi, pameran skrip-skrip komedi di televisi, film dokumentasi dibalik layar tentang penyiapan tayangan komedi, pameran bahan-bahan pustaka komedi, sampai pengenalan terhadap situs-situs bimbingan komedi di Internet.
Diramaikan misalnya dengan acara open mic bagi peserta untuk bisa saling mengenalkan diri atau membuang stres, sesi diskusi dengan penulis komedi sampai sutradara acara komedi, sampai arena penjualan pelbagai benda kenangan acara bersangkutan.
Dengan hadirnya beragam kegiatan ini, yang hadir diharapkan bukan hanya para calon-calon komedian, tetapi juga beragam pemangku kepentingan terhadap perkembangan dunia komedi kita. Sebaiknya pada acara pengumuman tentang siapa-siapa saja yang lolos bisa dibuatkan panggung tersendiri, dengan seremoni tertentu pula.
Syukur-syukur pula bila bisa diadakan lomba menulis catatan di Facebook, baik bagi peserta audisi tentang kesan dan pesan mereka, atau pun yang melibatkan audiens, sehingga secara tidak langsung akan menjadi publikasi yang meluas untuk acara bersangkutan.
Merujuk hal-hal di atas, saya agak heran juga : mengapa para penerbit/penulis buku-buku humor dan komedi, sampai buku seputar panduan berkarier sebagai komedian, tidak membuat lapak dalam acara seperti ini ? Bahkan ada lembaga yang berambisi sebagai pusat dokumentasi komedi, tetapi mengapa mereka juga tidak memiliki perhatian terhadap hajatan sebesar ini pula ?
Apakah justru para calon komedian itu bukan dianggap sebagai pasar bagi produk-produk mereka ?
Saya tidak tahu. Kalau saja buku humor/komedi saya Komedikus Erektus saya sudah terbit, saya akan membuka lapak. Kalau di dalam arena tidak boleh atau tidak bisa, di trotoar pun jadi.
Indonesia butuh komedian. Seusai mengikuti audisi Piala Dunia Tawa di Gedung Wanitatama Yogya sore itu, saya memutuskan berjalan kaki sampai Janti. Saya melihat pusat pertokoan, kantor perusahaan swasta dan pemerintah, sampai restoran, kafe dan hotel. Hemat saya, semua lembaga itu memerlukan kehadiran para komedian.
Bahkan di era demokrasi ini, Indonesia sebenarnya semakin banyak membutuhkan jasa komedian. Utamanya komedian yang pemarah a la Lewis Black, untuk garang melucukan, menghardik dan sekaligus melecehkan para pejabat negara dan juga penegak hukum yang melakukan tindak korupsi yang membuat kita terkejut-kejut akhir-akhir ini. Semua tindakan culas sampai sikap munafik mereka itu pantas diberi hukuman secara sosial.Mereka harus menjadi bahan tertawaan. Agar nurani bangsa ini tetaplah waras.
Kata Jay Sankey dalam bukunya Zen and The Art of Stand-Up Comedy (1998), bahwa setiap lelucon yang dahsyat haruslah mampu menimbulkan korban bergelimpangan. Semakin jelas korban yang dimaksud, semakin menggigit pula lawakan bersangkutan.
Tetapi untuk mampu mencapai taraf itu, bukan hal yang mudah. Utamanya bagi pelawak kita. Karena lawakan yang mampu menggigit ulah pejabat-pejabat culas itu, merujuk kaidah piramid komedi dari Steve Ray, merupakan puncak dari pencapaian komedi itu sendiri. Ia telah menggolongkan komedi dalam tujuh tingkat, yaitu komedi fisik, komedi porno, storyline, bahasa, imitasi, kontradiksi karakter dan yang paling puncak adalah satir.
Agar mampu meraih keandalan dalam menyajikan satir, bahkan juga pada enam tingkat komedi di bawahnya, fondamennya kurang lebih tetaplah sama : dibutuhkan topangan budaya literasi, budaya baca-tulis yang kuat. Kevin Kelly, seorang maverick dari majalah gaya hidup digital Wired mengatakan dalam salah satu artikelnya betapa orang yang tumbuh dalam lingkungan teknologi baca dan tulis berfikir dengan cara berbeda.
“Saya tidak bermaksud mengatakakan bahwa orang berfikir berbeda ketika membaca. Membaca dan menulis merupakan sarana kognitif yang begitu kita kuasai akan merubah cara otak dalam mengingat fakta dan mengkonseptualisasikan gagasan, dan pelbagai perubahan tersebut akan merangsang kinerja pemikiran secara abstraks.”
Terima kasih, Kevin.
Sebagai orang yang berusaha menumbuh-numbuhkan embrio lawakan berdasarkan gagasan, idea-driven jokes, pendapat Kevin Kelly itu semakin membuat saya percaya diri. Saya rupanya, mudah-mudahan, telah menempuh arah yang benar.
Belajar dari CSI. Beberapa hari kemudian, saya memperoleh sms. Rupanya dari peserta audisi di Yogya yang gagal, tetapi nampaknya ia ingin mengikuti lagi di Bandung. Semangat yang pantas dihargai.
Ia bertanya apakah saya memiliki konsep lawakan. Maksudnya mungkin set, naskah lawakan. Saya bilang, saya tidak punya. Lalu saya usulkan : silakan baca koran dan lihat TV. Di sana banyak materi untuk bisa dijadikan bahan lawakan. Setiap berita headline berpeluang ditekuk sana-sini menjadi materi komedi !
Sekadar contoh, koran Kompas Minggu (4/4/2010) memajang laporan tentang kisah-kisah di balik pembuatan film seri terkenal, CSI, di Amerika Serikat. Yang menonjol antara lain cerita bahwa, begitu muncul berita tentang tindakan kriminal tertentu, di media massa, para awak kreatif dan penulis naskah dari film seri itu segera mendiskusikannya sebagai bahan cerita serial film itu berikutnya.
Usul saya itu mungkin membuatnya patah hati. Tetapi, itulah realitanya. Jalan untuk menjadi komedian memang seringkali juga bukan jalan yang mudah. Utamanya bagi mereka yang miskin. Tentu saja tidak hanya menyangkut masalah miskin dalam harta, tetapi terutama yang miskin wawasan, miskin semangat untuk teguh dan kukuh, miskin untuk terus dan terus belajar memperkaya isi kepala mereka dengan wawasan-wawasan baru pula.
Pesan singkat yang lain, kemudian juga saya terima. Dari nomor berbeda. Balasan dari sebuah kelompok yang berhasil lolos ke Jakarta, yang sebelumnya saya usulkan agar memiliki akun Facebook dan blog untuk menulis kisahnya di sana. Sebagai sarana promosi mereka sejak dini. Pimpinan kelompok itu hanya menjawab dengan “ha-ha-ha.” Sembari mengaku dirinya sebagai gaptek, apa adanya.
Masih muda kok mistek.Miskin teknologi.
Apa kata dunia ?
Wonogiri, 9/4/2010
Selasa, 23 Maret 2010
Robin Williams, Hiperteks dan Komedi
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Ingin belajar mendalami komedi ?
Merintis karier sebagai komedian ?
Belajarlah dari Internet. Memang nasehat klise. Karena di Internet Anda akan mudah menemukan berton-ton bahan lelucon yang siap Anda ceritakan di muka audiens. Tetapi harus Anda ingat, semua bahan itu tidak autentik dengan diri Anda. Bukan pula curahan hati terdalam Anda.
Kalau Anda sekadar pokoknya ingin tampil, selucu mungkin, dan bisa mengundang tawa, bahan-bahan itu semoga dapat menolong Anda.
Seorang Steve Silberberg, pengelola newsgroup komedi di alt.comedy.standup, mempunyai pendapat khas untuk para komedian di atas. Katanya, “If they bought/stole/used someone else's material, they'd be no more than a talking monkey on stage regurgitating other people's thoughts.” Bila mereka membeli/mencuri/menggunakan materi lawakan karya orang lain, maka mereka itu tidak ubahnya sosok kera yang mampu bicara, yang tampil di panggung, sekadar muntah-muntah mengeluarkan karya buah pikir orang lain.
Internet juga menyediakan materi melimpah ruah bagi mereka yang tidak ingin hanya menjadi “monyet” dalam cerita Steve Silberberg di atas. Sekitar 2-3 tahun ini saya mengikuti kursus komedi, dengan setiap minggu harus mengikuti posting-posting terbaru secara serial dari sang guru, John Cantu di Humormall.com. Kini sudah sampai pada materi bertopik marketing what you write, teknik-teknik pemasaran untuk karya-karya kreatif lawakan.
Bagi Anda yang suka komedi dan juga suka memikir-mikir konstruksi bangunan Internet itu sendiri, rumus lawak sebenarnya juga ada di konstruksi Internet pula. Majalah TIME edisi khusus tentang Internet (Mei 1995) telah memajang gambar sampul tentang hal itu. Berupa foto lawang sewu, pintu seribu, tetapi bertumpuk-tumpuk. Membentuk lorong dan labirin.
Itulah gambaran karakteristik hypertext, dokumen di Internet. Bila Anda memasuki sebuah pintu, Anda akan mampu meneruskan ke pintu lain, lainnya lagi dan lainnya lagi. Begitu seterusnya.
Dalam bahasa Internet, fasilitas dalam dokumen elektronik di Internet yang bisa mengarah untuk membuka pintu demi pintu atau akses itu lajim dikenal sebagai hyperlink, tautan. Fasilitas yang mirip fungsinya dalam media berbasis atom, kertas, bisa kita temukan berwujud catatan kaki atau daftar pustaka. Tetapi dalam kecepatan akses [“elektron mampu mengelilingi dunia 11 kali dalam setiap detiknya”], dokumen elektronik jelas jauh lebih unggul. Mutlak.
Tentang hal di atas, Robin Williams, komedian dan aktor pemenang Oscar, punya cerita menarik. Ketika majalah Yahoo Internet Life (2/1997) menanyakan apakah dirinya menggunakan email, jawabannya : “Ya. Email itu mengagumkan. Email membawa kita untuk kembali mengalami seni menulis surat…. Dalam surat kita dapat mengekspresikan diri kita pribadi secara mendalam dan penuh makna. Surat merupakan perpanjangan dari filosofi Anda.”
“Apakah kami yang pertama mengatakan bahwa pikiran Anda bekerja seperti Internet, hyperlinking untuk menuju tempat atau situs yang paling tidak terduga-duga ?,” tanya lanjut David Sheff dari Yahoo Internet Life .
“Itulah realitas diri saya,” jawab Robin Williams. “Itulah pula realitas dunia komedi. Inilah hiperkomedi yang nampaknya persis sama dengan hiperteks. Saya merujuk ke sesuatu hal dan lalu diri saya memuntir, memelintir, mengubahnya untuk menuju ke arah yang baru. Ketika pertama kali saya melihat hiperteks, saya langsung memahaminya. Inilah ujud asosiasi bebas.”
Terima kasih, Robin.
Sayangnya, kedahsyatan dari hyperlink ini sepertinya belum banyak disadari oleh para blogger atau para pengembang isi dalam dunia Internet kita. Bahkan banyak dari mereka yang boleh disebut sebagai para jawara dunia Internet di Indonesia, postingan mereka kebanyakan juga sangat senyap dari kehadiran tautan dan tautan itu pula.
Oleh karenanya, terkait hyperlink dan juga filosofinya, saya pribadi pernah terantuk pengalaman yang membuat saya senyum-senyum. Pengalaman yang pertama, beberapa saat lalu layar televisi kita gencar digerojok iklan tentang sosok tokoh muda yang berambisi menjadi presiden. Saya kemudian mengunjungi situsnya. Saya ingin tahu, apakah strategi Internetnya juga bersemangat muda, berpendekatan mutakhir, atau dengan mindset era dinosaurus.
Ternyata, menurut saya situs itu salah visi dan salah kelola. Lalu saya memberikan komentar, juga menyertakan tautan bahwa saya pernah menulis di harian Kompas (8/4/2004) tentang pemanfaatan Internet sebagai senjata kampanye presiden. hidup.”].
Beberapa hari kemudian, komentar saya tersebut tidak ada bekasnya sama sekali di situs bersangkutan. Saya berpikir, mungkin saya juga dianggap sebagai calon presiden olehnya, sehingga statusnya sebagai saingan yang harus tidak memperoleh tempat nongol di situsnya ?
Kini, peristiwa kedua. Ada seorang penulis buku yang produktif, bahkan hampir setiap bukunya diberi label sebagai buku laris. Ia terakhir menulis tentang buku humor. Data buku itu terpajang pada situsnya. Saya kemudian menulis komentar tentangnya.
Tentu saja, saya memasukkan dulu data nama, email dan URL blog saya. Isi komentar, pertama, saya memberikan apresiasi atas terbitnya buku dia tersebut. Kedua, saya bertanya, apakah saya boleh memintakan endorsement dia bagi calon buku humor saya, Komedikus Erektus. Begitu saya klik, komentar saya muncul di halaman, diimbuhi keterangan bahwa komentar tersebut menunggu dimoderasi.
Beberapa hari kemudian, ketika melihat-lihat situs bersangkutan, ternyata komentar saya tersebut malah hilang sama sekali. Momen yang justru membuat saya senyum-senyum. Saya menduga-duga. Misalnya, admin dari situs itu ngantuk sehingga komentar saya ter-delete secara tak sengaja.
Atau mungkin pengarang bersangkutan kuatir berat, saya ini dianggap sebagai saingan yang berpotensi merebut 1 dari 100.000 pembeli bagi buku larisnya itu ? Atau, ia justru tidak tahu mukjijat dibalik keberadaan sebuah hyperlink, tautan, dalam kehidupan bebrayan agung Internet.
Terhapusnya komentar dan permintaan tadi,membuat saya ingat dua sosok. Wimar Witoelar dan Chris Anderson. Karena pada kejadian beberapa hari sebelumnya, saya telah meminta endorsement dari seorang Wimar Witoelar. Hari itu sudah hampir jam 11 malam. Dalam hitungan menit, saya segera memperoleh jawaban : “Saya akan menulis pada kesempatan pertama.”
Terima kasih, Bang Wimar.
Endorsement dari beliau akan hadir secara bermakna dalam buku saya.
Lalu tentang Chris Anderson ?
Dalam bukunya yang berjudul The Long Tail : Bagaimana Menciptakan Permintaan Tak Terbatas (2006), bersabda : “ Siapa pun yang membaca sesuatu dari Internet namun tidak memperluas wawasan kultural mereka berarti telah menemukan sebuah tempat yang kelewat gersang di dunia blog atau perlu menghadiri kursus penyegaran agar bisa memahami hyperlinks. Karena tak ada apa pun di Web yang memiliki kuasa mutlak, terserah kepada Anda untuk berkonsultasi dengan sumber-sumber yang memadai sehingga Anda dapat membulatkan keputusan Anda sendiri.”
Situs sang calon presiden tadi, juga pengarang buku-buku laris tadi, barangkali memang berambisi ingin hadir sebagai situs dengan kuasa mutlak. Bila benar itu yang mereka arah, bagi saya, inilah materi menarik sebagai bahan lelucon baru. Bukan dari jalur komedi, tetapi dari lorong-lorong tragedi.
Karena cakar otoriter Orde Baru terancam untuk kembali.
Utamanya bila impian calon presiden itu menjadi kenyataan !
Wonogiri, 24/3/2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Ingin belajar mendalami komedi ?
Merintis karier sebagai komedian ?
Belajarlah dari Internet. Memang nasehat klise. Karena di Internet Anda akan mudah menemukan berton-ton bahan lelucon yang siap Anda ceritakan di muka audiens. Tetapi harus Anda ingat, semua bahan itu tidak autentik dengan diri Anda. Bukan pula curahan hati terdalam Anda.
Kalau Anda sekadar pokoknya ingin tampil, selucu mungkin, dan bisa mengundang tawa, bahan-bahan itu semoga dapat menolong Anda.
Seorang Steve Silberberg, pengelola newsgroup komedi di alt.comedy.standup, mempunyai pendapat khas untuk para komedian di atas. Katanya, “If they bought/stole/used someone else's material, they'd be no more than a talking monkey on stage regurgitating other people's thoughts.” Bila mereka membeli/mencuri/menggunakan materi lawakan karya orang lain, maka mereka itu tidak ubahnya sosok kera yang mampu bicara, yang tampil di panggung, sekadar muntah-muntah mengeluarkan karya buah pikir orang lain.
Internet juga menyediakan materi melimpah ruah bagi mereka yang tidak ingin hanya menjadi “monyet” dalam cerita Steve Silberberg di atas. Sekitar 2-3 tahun ini saya mengikuti kursus komedi, dengan setiap minggu harus mengikuti posting-posting terbaru secara serial dari sang guru, John Cantu di Humormall.com. Kini sudah sampai pada materi bertopik marketing what you write, teknik-teknik pemasaran untuk karya-karya kreatif lawakan.
Bagi Anda yang suka komedi dan juga suka memikir-mikir konstruksi bangunan Internet itu sendiri, rumus lawak sebenarnya juga ada di konstruksi Internet pula. Majalah TIME edisi khusus tentang Internet (Mei 1995) telah memajang gambar sampul tentang hal itu. Berupa foto lawang sewu, pintu seribu, tetapi bertumpuk-tumpuk. Membentuk lorong dan labirin.
Itulah gambaran karakteristik hypertext, dokumen di Internet. Bila Anda memasuki sebuah pintu, Anda akan mampu meneruskan ke pintu lain, lainnya lagi dan lainnya lagi. Begitu seterusnya.
Dalam bahasa Internet, fasilitas dalam dokumen elektronik di Internet yang bisa mengarah untuk membuka pintu demi pintu atau akses itu lajim dikenal sebagai hyperlink, tautan. Fasilitas yang mirip fungsinya dalam media berbasis atom, kertas, bisa kita temukan berwujud catatan kaki atau daftar pustaka. Tetapi dalam kecepatan akses [“elektron mampu mengelilingi dunia 11 kali dalam setiap detiknya”], dokumen elektronik jelas jauh lebih unggul. Mutlak.
Tentang hal di atas, Robin Williams, komedian dan aktor pemenang Oscar, punya cerita menarik. Ketika majalah Yahoo Internet Life (2/1997) menanyakan apakah dirinya menggunakan email, jawabannya : “Ya. Email itu mengagumkan. Email membawa kita untuk kembali mengalami seni menulis surat…. Dalam surat kita dapat mengekspresikan diri kita pribadi secara mendalam dan penuh makna. Surat merupakan perpanjangan dari filosofi Anda.”
“Apakah kami yang pertama mengatakan bahwa pikiran Anda bekerja seperti Internet, hyperlinking untuk menuju tempat atau situs yang paling tidak terduga-duga ?,” tanya lanjut David Sheff dari Yahoo Internet Life .
“Itulah realitas diri saya,” jawab Robin Williams. “Itulah pula realitas dunia komedi. Inilah hiperkomedi yang nampaknya persis sama dengan hiperteks. Saya merujuk ke sesuatu hal dan lalu diri saya memuntir, memelintir, mengubahnya untuk menuju ke arah yang baru. Ketika pertama kali saya melihat hiperteks, saya langsung memahaminya. Inilah ujud asosiasi bebas.”
Terima kasih, Robin.
Sayangnya, kedahsyatan dari hyperlink ini sepertinya belum banyak disadari oleh para blogger atau para pengembang isi dalam dunia Internet kita. Bahkan banyak dari mereka yang boleh disebut sebagai para jawara dunia Internet di Indonesia, postingan mereka kebanyakan juga sangat senyap dari kehadiran tautan dan tautan itu pula.
Oleh karenanya, terkait hyperlink dan juga filosofinya, saya pribadi pernah terantuk pengalaman yang membuat saya senyum-senyum. Pengalaman yang pertama, beberapa saat lalu layar televisi kita gencar digerojok iklan tentang sosok tokoh muda yang berambisi menjadi presiden. Saya kemudian mengunjungi situsnya. Saya ingin tahu, apakah strategi Internetnya juga bersemangat muda, berpendekatan mutakhir, atau dengan mindset era dinosaurus.
Ternyata, menurut saya situs itu salah visi dan salah kelola. Lalu saya memberikan komentar, juga menyertakan tautan bahwa saya pernah menulis di harian Kompas (8/4/2004) tentang pemanfaatan Internet sebagai senjata kampanye presiden. hidup.”].
Beberapa hari kemudian, komentar saya tersebut tidak ada bekasnya sama sekali di situs bersangkutan. Saya berpikir, mungkin saya juga dianggap sebagai calon presiden olehnya, sehingga statusnya sebagai saingan yang harus tidak memperoleh tempat nongol di situsnya ?
Kini, peristiwa kedua. Ada seorang penulis buku yang produktif, bahkan hampir setiap bukunya diberi label sebagai buku laris. Ia terakhir menulis tentang buku humor. Data buku itu terpajang pada situsnya. Saya kemudian menulis komentar tentangnya.
Tentu saja, saya memasukkan dulu data nama, email dan URL blog saya. Isi komentar, pertama, saya memberikan apresiasi atas terbitnya buku dia tersebut. Kedua, saya bertanya, apakah saya boleh memintakan endorsement dia bagi calon buku humor saya, Komedikus Erektus. Begitu saya klik, komentar saya muncul di halaman, diimbuhi keterangan bahwa komentar tersebut menunggu dimoderasi.
Beberapa hari kemudian, ketika melihat-lihat situs bersangkutan, ternyata komentar saya tersebut malah hilang sama sekali. Momen yang justru membuat saya senyum-senyum. Saya menduga-duga. Misalnya, admin dari situs itu ngantuk sehingga komentar saya ter-delete secara tak sengaja.
Atau mungkin pengarang bersangkutan kuatir berat, saya ini dianggap sebagai saingan yang berpotensi merebut 1 dari 100.000 pembeli bagi buku larisnya itu ? Atau, ia justru tidak tahu mukjijat dibalik keberadaan sebuah hyperlink, tautan, dalam kehidupan bebrayan agung Internet.
Terhapusnya komentar dan permintaan tadi,membuat saya ingat dua sosok. Wimar Witoelar dan Chris Anderson. Karena pada kejadian beberapa hari sebelumnya, saya telah meminta endorsement dari seorang Wimar Witoelar. Hari itu sudah hampir jam 11 malam. Dalam hitungan menit, saya segera memperoleh jawaban : “Saya akan menulis pada kesempatan pertama.”
Terima kasih, Bang Wimar.
Endorsement dari beliau akan hadir secara bermakna dalam buku saya.
Lalu tentang Chris Anderson ?
Dalam bukunya yang berjudul The Long Tail : Bagaimana Menciptakan Permintaan Tak Terbatas (2006), bersabda : “ Siapa pun yang membaca sesuatu dari Internet namun tidak memperluas wawasan kultural mereka berarti telah menemukan sebuah tempat yang kelewat gersang di dunia blog atau perlu menghadiri kursus penyegaran agar bisa memahami hyperlinks. Karena tak ada apa pun di Web yang memiliki kuasa mutlak, terserah kepada Anda untuk berkonsultasi dengan sumber-sumber yang memadai sehingga Anda dapat membulatkan keputusan Anda sendiri.”
Situs sang calon presiden tadi, juga pengarang buku-buku laris tadi, barangkali memang berambisi ingin hadir sebagai situs dengan kuasa mutlak. Bila benar itu yang mereka arah, bagi saya, inilah materi menarik sebagai bahan lelucon baru. Bukan dari jalur komedi, tetapi dari lorong-lorong tragedi.
Karena cakar otoriter Orde Baru terancam untuk kembali.
Utamanya bila impian calon presiden itu menjadi kenyataan !
Wonogiri, 24/3/2010
Senin, 22 Maret 2010
Google Ora Sare
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Mereka bisa kita temui setiap hari.
A familiar strangers.
Orang-orang asing itu tidak kita kenal, tetapi akrab bagi diri kita.
Saya mengalaminya ketika menjadi commuter, pekerja ulang-alik. Saya tinggal di Bogor tetapi bekerja pada sebuah perusahaan dotcom di Jakarta, tahun 2001. Setiap pagi, kami hampir menaiki bis yang sama. Bahkan hampir nyaris, setiap hari, kami akan menduduki kursi yang sama. Sebuah ritual.
Saya pernah nyerobot kursi saat naik KRL Bogor-Jakarta, ternyata langsung mendapat “hukuman” dari penumpang lain di sekitar saya. Pandangan mereka aneh. Pandangan tak mengenakkan.
Syukurlah, radar saya cukup peka. Saya lalu berdiri, dan kursi itu kemudian diduduki secara “sah” oleh anggota suku komuter dalam satu gerbong yang berangkat bekerja selalu bersama itu, setiap harinya. Ketegangan pun berakhir.
Orang-orang asing yang akrab itu juga saya temui, 1990-1997, di lapangan depan stadion pacuan kuda Pulomas, Jakarta Timur. Di tribunnya, diselingi bunyi ringkik kuda dan teriakan anak-anak bermain sepakbola, di pagi temaram saya menuntaskan bukunya Nicholas Negroponte, Being Digital (1995) yang fenomenal itu. Buku IT yang menanamkan optimisme, yang membuat saya rela menitikkan air mata.
Di depan stadion, benar-benar riuh pada setiap minggu pagi. Ada kelompok besar bersenam pernafasan, ada kelompok lain yang berjingkrak dengan musik disko. Musik yang berbeda,selang-seling membelai gendang telinga.
Saya tidak masuk keduanya.
Melainkan sebagai ronin, soliter, berjalan kaki mengitari kelompok-kelompok senam itu. Kemudian, tentu saja saya berpapasan atau berjalan bareng dengan banyak wajah. Yang saya temui minggu lalu, minggu sebelumnya dan sebelumnya lagi, tetapi kita tetap saja tidak saling mengenal satu sama lain.
Termasuk sosok grasshopper, kode rekaan untuk menggambarkan sosok perempuan dengan kaki belalang yang menawan. Ia selalu datang sendirian. Menaiki sepeda. Kemudian kadang menghilang, tahu-tahu sudah mingle di antara peserta senam.
Ia selalu memakai topi baseball warna turquoise, biru kehijauan. Kuncir ekor kuda menyeruak lubang bagian belakang topinya. Kami merasa saling mengenal, walau tanpa tahu nama masing-masing. Ada feeling saling menyukai tetapi tidak ketemu cara untuk memulai. Kegoblogan yang nikmat, sekaligus menggelisahkan.
”Beautiful girl,” mungkin demikian seorang Jose Mari Chan akan menyebutnya seperti cerita dalam lirik lagunya yang berjudul sama. Mengenai gadis cantik menawan, berkelebat di depan matanya, yang membuatnya jatuh cinta, dan kemudian ia kuatirkan dirinya menghilang selamanya seperti gita di waktu malam.
“I rushed in line only to find,
that you were gone.”
Ia memang menghilang sejak minggu pagi 25 Mei 1997. Sosok a familiar stranger yang spesial itu kemudian tinggal sesekali berenang-renang dalam samudera kenangan.
Anda sebagai media. Di media-media jaringan sosial, seperti Facebook atau Twitter, adakah Anda juga sering memergoki para a familiar strangers itu dalam lingkar pertemanan Anda? Ataukah sirkuit pertemanan Anda hanya berisikan mereka-mereka yang Anda kenal ?
Seorang pesohor dalam bidang IT, Nukman Luthfie, seperti dikutip Femina (23-29/1/2010) berkata, “ketika seseorang hanya benar-benar kenal dengan sedikit dari follower-nya, ia sudah menjelma menjadi media. Artinya, ocehan ‘narsis’ Anda di timeline menjadi sangat powerful. ”
Andakah sosok yang powerful itu ? Kemudian meminjam kata-kata Peter Parker dalam film Spider Man , bahwa kekuatan yang besar selalu dituntut tanggung jawab yang juga besar, adakah hal itu sudah pula dominan tercermin dalam beragam posting Anda selama ini ?
Camkan pendapat ini. “The net is a postocracy, not a democracy,” tutur Thomas Mandel(almarhum) dan Gerald Van der Leun dalam Rules of The Net : On-Line Operating Instructions for Human Beings (2001). Posting Anda, adalah senjata dahsyat Anda. Sekaligus pula harimau Anda. Anda sempat mengikuti kisah seorang Facebooker baru-baru ini di Bali ? Dirinya, mungkin anak muda, yang tidak peka terhadap kebudayaan setempat, lalu mengomong seenaknya tentang adat setempat. Ia menggunakan media sosial yang dahsyat, tetapi dengan cara yang sangat tidak tepat.
Bagaimana menggunakannya secara tepat ? Ah, come on, sebagai orang dewasa Anda sudah tahu hal itu pula. Kurangi porsi yang egosentris. Minimal hadirkan posting dengan porsi 50-50. Separo menguntungkan Anda, separonya berguna bagi pembaca. Facebook adalah media sosial. Kalau di dalamnya Anda tidak berperilaku sosial, lalu apa kata dunia ?
“Internet akan memberi kepada Anda, tetapi sebagai pembayarannya Anda harus bersedia membalas dengan memberikan kembali kepadanya. Bila Anda memiliki informasi yang berguna bagi orang lain, pajanglah. Apabila seseorang bertanya tentang sesuatu, dan Anda tahu jawabnya, pajanglah pula di Internet,” nasehat lanjut Mandel and Van der Leun. Dengan berkontribusi itu, senyatanya Anda sedang membangun net equity Anda pribadi. Secara elegan terpajanglah keistimewaan Anda, keahlian Anda sampai reputasi Anda di persada dunia.
Sayangnya, semua hal-hal hebat itu, mengapa justru sering tidak menjadi fokus kita dalam gaul maya di media-media sosial sehari-hari ? Saya langsung ingat ujaran Robert Frost (1874–1963), penyair AS. Ia pernah menulis guyonan bahwa otak adalah organ hebat manusia yang siap bekerja setiap saat, tetapi langsung mati ketika si pemilik tiba di kantornya. Juga saat tiba di sekolah ? Saat menonton tv ? Organ yang sama juga langsung mati ketika kita membuka akun Facebook kita sendiri ?
Itukah kira-kira penyebabnya, mengapa hal-hal hebat dari diri kita seringkali pula tidak terlihat oleh teman-teman dekat dalam lingkar pergaulan kita ? Yang sering tahu justru para orang-orang asing ? Bahkan dalam beberapa kasus yang saya alami, dengan hadir dan berkontribusi di Internet, reward itu seringkali datang dari orang-orang yang sebelumnya benar-benar tidak saya kenal sama sekali.
Contoh kecil : gara-gara blog Komedikus Erektus, Radio BBC Siaran Indonesia pernah mewawancarai saya, yang tinggal di Wonogiri ini, untuk berbincang masalah komedi. Penerbitan blog yang sama, yang hari-hari ini sedang diproses menjadi buku, juga melewati proses ajaib yang sama.
”Gusti Allah ora sare.”
Demikian frasa yang sering dipakai analis politik Sukardi Rinakit dalam tulisan-tulisannya. Tuhan tidak pernah tidur. Juga tidak akan membiarkan kejahatan menang dan keluhuran dikalahkan.
Dalam konteks Internet saya ingin menirunya, sebagai dorongan agar kita mampu memberikan kontribusi bagi bebrayan agung Internet itu. Yakinlah, semua kebaikan Anda memang tidak akan sia-sia.
Google ora sare.
Wonogiri, 23 Maret 2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Mereka bisa kita temui setiap hari.
A familiar strangers.
Orang-orang asing itu tidak kita kenal, tetapi akrab bagi diri kita.
Saya mengalaminya ketika menjadi commuter, pekerja ulang-alik. Saya tinggal di Bogor tetapi bekerja pada sebuah perusahaan dotcom di Jakarta, tahun 2001. Setiap pagi, kami hampir menaiki bis yang sama. Bahkan hampir nyaris, setiap hari, kami akan menduduki kursi yang sama. Sebuah ritual.
Saya pernah nyerobot kursi saat naik KRL Bogor-Jakarta, ternyata langsung mendapat “hukuman” dari penumpang lain di sekitar saya. Pandangan mereka aneh. Pandangan tak mengenakkan.
Syukurlah, radar saya cukup peka. Saya lalu berdiri, dan kursi itu kemudian diduduki secara “sah” oleh anggota suku komuter dalam satu gerbong yang berangkat bekerja selalu bersama itu, setiap harinya. Ketegangan pun berakhir.
Orang-orang asing yang akrab itu juga saya temui, 1990-1997, di lapangan depan stadion pacuan kuda Pulomas, Jakarta Timur. Di tribunnya, diselingi bunyi ringkik kuda dan teriakan anak-anak bermain sepakbola, di pagi temaram saya menuntaskan bukunya Nicholas Negroponte, Being Digital (1995) yang fenomenal itu. Buku IT yang menanamkan optimisme, yang membuat saya rela menitikkan air mata.
Di depan stadion, benar-benar riuh pada setiap minggu pagi. Ada kelompok besar bersenam pernafasan, ada kelompok lain yang berjingkrak dengan musik disko. Musik yang berbeda,selang-seling membelai gendang telinga.
Saya tidak masuk keduanya.
Melainkan sebagai ronin, soliter, berjalan kaki mengitari kelompok-kelompok senam itu. Kemudian, tentu saja saya berpapasan atau berjalan bareng dengan banyak wajah. Yang saya temui minggu lalu, minggu sebelumnya dan sebelumnya lagi, tetapi kita tetap saja tidak saling mengenal satu sama lain.
Termasuk sosok grasshopper, kode rekaan untuk menggambarkan sosok perempuan dengan kaki belalang yang menawan. Ia selalu datang sendirian. Menaiki sepeda. Kemudian kadang menghilang, tahu-tahu sudah mingle di antara peserta senam.
Ia selalu memakai topi baseball warna turquoise, biru kehijauan. Kuncir ekor kuda menyeruak lubang bagian belakang topinya. Kami merasa saling mengenal, walau tanpa tahu nama masing-masing. Ada feeling saling menyukai tetapi tidak ketemu cara untuk memulai. Kegoblogan yang nikmat, sekaligus menggelisahkan.
”Beautiful girl,” mungkin demikian seorang Jose Mari Chan akan menyebutnya seperti cerita dalam lirik lagunya yang berjudul sama. Mengenai gadis cantik menawan, berkelebat di depan matanya, yang membuatnya jatuh cinta, dan kemudian ia kuatirkan dirinya menghilang selamanya seperti gita di waktu malam.
“I rushed in line only to find,
that you were gone.”
Ia memang menghilang sejak minggu pagi 25 Mei 1997. Sosok a familiar stranger yang spesial itu kemudian tinggal sesekali berenang-renang dalam samudera kenangan.
Anda sebagai media. Di media-media jaringan sosial, seperti Facebook atau Twitter, adakah Anda juga sering memergoki para a familiar strangers itu dalam lingkar pertemanan Anda? Ataukah sirkuit pertemanan Anda hanya berisikan mereka-mereka yang Anda kenal ?
Seorang pesohor dalam bidang IT, Nukman Luthfie, seperti dikutip Femina (23-29/1/2010) berkata, “ketika seseorang hanya benar-benar kenal dengan sedikit dari follower-nya, ia sudah menjelma menjadi media. Artinya, ocehan ‘narsis’ Anda di timeline menjadi sangat powerful. ”
Andakah sosok yang powerful itu ? Kemudian meminjam kata-kata Peter Parker dalam film Spider Man , bahwa kekuatan yang besar selalu dituntut tanggung jawab yang juga besar, adakah hal itu sudah pula dominan tercermin dalam beragam posting Anda selama ini ?
Camkan pendapat ini. “The net is a postocracy, not a democracy,” tutur Thomas Mandel(almarhum) dan Gerald Van der Leun dalam Rules of The Net : On-Line Operating Instructions for Human Beings (2001). Posting Anda, adalah senjata dahsyat Anda. Sekaligus pula harimau Anda. Anda sempat mengikuti kisah seorang Facebooker baru-baru ini di Bali ? Dirinya, mungkin anak muda, yang tidak peka terhadap kebudayaan setempat, lalu mengomong seenaknya tentang adat setempat. Ia menggunakan media sosial yang dahsyat, tetapi dengan cara yang sangat tidak tepat.
Bagaimana menggunakannya secara tepat ? Ah, come on, sebagai orang dewasa Anda sudah tahu hal itu pula. Kurangi porsi yang egosentris. Minimal hadirkan posting dengan porsi 50-50. Separo menguntungkan Anda, separonya berguna bagi pembaca. Facebook adalah media sosial. Kalau di dalamnya Anda tidak berperilaku sosial, lalu apa kata dunia ?
“Internet akan memberi kepada Anda, tetapi sebagai pembayarannya Anda harus bersedia membalas dengan memberikan kembali kepadanya. Bila Anda memiliki informasi yang berguna bagi orang lain, pajanglah. Apabila seseorang bertanya tentang sesuatu, dan Anda tahu jawabnya, pajanglah pula di Internet,” nasehat lanjut Mandel and Van der Leun. Dengan berkontribusi itu, senyatanya Anda sedang membangun net equity Anda pribadi. Secara elegan terpajanglah keistimewaan Anda, keahlian Anda sampai reputasi Anda di persada dunia.
Sayangnya, semua hal-hal hebat itu, mengapa justru sering tidak menjadi fokus kita dalam gaul maya di media-media sosial sehari-hari ? Saya langsung ingat ujaran Robert Frost (1874–1963), penyair AS. Ia pernah menulis guyonan bahwa otak adalah organ hebat manusia yang siap bekerja setiap saat, tetapi langsung mati ketika si pemilik tiba di kantornya. Juga saat tiba di sekolah ? Saat menonton tv ? Organ yang sama juga langsung mati ketika kita membuka akun Facebook kita sendiri ?
Itukah kira-kira penyebabnya, mengapa hal-hal hebat dari diri kita seringkali pula tidak terlihat oleh teman-teman dekat dalam lingkar pergaulan kita ? Yang sering tahu justru para orang-orang asing ? Bahkan dalam beberapa kasus yang saya alami, dengan hadir dan berkontribusi di Internet, reward itu seringkali datang dari orang-orang yang sebelumnya benar-benar tidak saya kenal sama sekali.
Contoh kecil : gara-gara blog Komedikus Erektus, Radio BBC Siaran Indonesia pernah mewawancarai saya, yang tinggal di Wonogiri ini, untuk berbincang masalah komedi. Penerbitan blog yang sama, yang hari-hari ini sedang diproses menjadi buku, juga melewati proses ajaib yang sama.
”Gusti Allah ora sare.”
Demikian frasa yang sering dipakai analis politik Sukardi Rinakit dalam tulisan-tulisannya. Tuhan tidak pernah tidur. Juga tidak akan membiarkan kejahatan menang dan keluhuran dikalahkan.
Dalam konteks Internet saya ingin menirunya, sebagai dorongan agar kita mampu memberikan kontribusi bagi bebrayan agung Internet itu. Yakinlah, semua kebaikan Anda memang tidak akan sia-sia.
Google ora sare.
Wonogiri, 23 Maret 2010
Jumat, 19 Maret 2010
Obama, Jaya Suprana dan Komedikus Erektus
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Komplikasi.
Urusan jadi lebih rumit.
Obama yang menunda kunjungannya ke Indonesia memunculkan banyak komplikasi.
Dikabarkan, semua murid klas VI SDN 01 Menteng di Jalan Besuki 4, Jakarta Pusat, memilih tidak lulus. Mereka lebih memilih tinggal kelas, agar tetap berstatus sebagai murid SD itu. Dengan pilihan itu mereka bisa bertemu seniornya yang kini menjadi presiden Amerika Serikat itu. Secara resmi.
Komplikasi selanjutnya, pemerintahan SBY dibuat repot. Untuk meredam aksi-aksi penolakan sebagian umat terhadap Obama, perlu dilakukan konter dengan strategi kehumasan yang baru. Kabar burung yang beredar,pemerintah RI akan membuatkan patung Obama yang baru.
Kali ini Obama memakai sarung. Untuk menunjukkan dirinya juga pernah disunat di Indonesia. Bahkan akan pula disebarkan dokumen temuan baru, bahwa Obama pernah belajar pula di Ngruki, Solo, Jawa Tengah.
Di Sulawesi Selatan, polisi dan kejaksaan juga ketularan ikut repot. Mereka harus cepat-cepat menuntaskan kasus yang menimpa selebritis dan wakil rakyat, Rieke Dyah Pitaloka. Kita tahu, Rieke tiba-tiba dipeluk dari belakang dan bahkan dicium oleh dokter Rasyidin dari RSUD Labuang Baji, Sulawesi Selatan (8/3/2010). "Saya marah, tapi dia malah bilang Anda kan publik figur," ungkap Rieke.
Bila dokter “berdarah panas” itu sudah masuk penjara, seorang Obama ikut bisa merasa aman. Karena alasan itu pula, sebelum menunda kunjungannya ke Indonesia pada bulan Juni nanti, ia juga membatalkan keikutsertaan istrinya bila kunjungannya di bulan Maret ini terlaksana.
Karena Obama kuatir berat, istrinya yang jelas-jelas seorang public figure akan terancam ramai-ramai dipeluk para dokter Indonesia yang ketularan virus “panas” dari Sulawesi Selatan tadi. Apalagi virus hampir serupa, yaitu aksi gairah mencium punggung kini juga gencar disebar-sebarkan di Indonesia. Lewat televisi-televisi. Oleh Anang terhadap Syahrini.
Mabuk Berita Palsu. Anda dilarang percaya terhadap isi-isi tulisan di atas. Karena semuanya merupakan fake news. Berita palsu. Tetapi, anehnya, di Amerika Serikat acara-acara televisi yang menyiarkan berita-berita palsu itu justru disukai oleh pemirsa. Bahkan menjadi acara unggulan.
Salah satu host tersohor untuk acara fake news itu adalah Jon Stewart. Dahsyatnya lagi, atau gokil-nya lagi, dalam survei oleh majalah TIME (2009) komedian penyebar berita-berita palsu itu justru terpilih sebagai Andy Borowitz itu, juga membuat saya demam. Imbasnya, saya sendiri terus merintis, melanjutkan atau mempersubur daya-daya kreativitas dalam penciptaan berita-berita palsu tadi. Terkait dinamika politik dan ulah politikus Indonesia.
Blog Komedikus Erektus yang saya luncurkan sejak lima tahun lalu telah menjadi saksi hal tersebut. Kini, berkat ditunjang oleh keajaiban Internet, isi yang semula berwujud digital tersebut akan segera menjadi media berbasis atom. Menjadi buku. Judulnya : Komedikus Erektus. Penerbitnya adalah Etera Imania.
Bila telah terbit, ini merupakan buku humor saya yang ketiga. Momen itu membuat saya rada ngeh, ternyata humor memang merupakan salah satu panggilan hidup saya. Sedikit mengilas balik, kiranya percik itu barangkali semakin mulai membesar pada bulan September 1982 di Jakarta.
Ketika itu saya berkenalan dengan humorolog, kelirumolog, musikus, kartunis, pebisnis, asal Semarang : Jaya Suprana. Saat itu saya belum selesai berkuliah di Jakarta. Pertemuannya di Balai Budaya, Jakarta Pusat. Juga bertemu Arwah Setiawan, “Pak Raden” Suyadi, juga kartunis Tris Sakeh. Ditemani teman kuliah saya, Bakhuri Jamaluddin, saya menemui mereka.
Saat itu di Balai Budaya dipamerkan karya kartun anak-anak Wonogiri, termasuk karya Basnendar Heriprilosadoso adik terkecil saya. Mereka tergabung dalam komunitas kartunis cilik Brigade Kelompok Kecil, asuhan adik saya (juga) Mayor Haristanto. Disponsori oleh Mas Jaya Suprana.
Keterangan foto.Dari kanan, Jaya Suprana, Tris Sakeh (kartunis), Suyadi Pak Raden, tak dikenal, Arwah Setiawan dan Bambang Haryanto.
Pameran serupa berlangsung bulan Januari 1983, di Semarang. Dihadiri Soepardjo Roestam, gubernur Jawa Tengah saat itu. Suasana hati agak berbeda, karena ayah saya baru saja meninggal dunia, 9 Desember 1982.
C’est la vie, kata orang Perancis.
Itulah warna-warni kehidupan. Ada tragedi, juga ada komedi. Ketika beberapa hari lalu saya meminta endorsement dari Mas Jaya untuk buku Komedikus Erektus saya, ia membalas dengan cara khas. Bunyi email beliau :
“Mas Bambang yth, terima kasih atas perjuangan gigih Anda menghumorkan bangsa ini ! Kehormatan bagi saya untuk menulis apa yg disebut endorsement itu untuk buku heboh Anda.
Mohon petunjuk, apakah endorsement cukup berupa kalimat komentar untuk melariskan buku dahsyat Anda tersebut. Kalo endorsement saya kepanjangan saya kuatir dampaknya malah sebaliknya yakni, (calon pembaca akan) membatalkan niat membeli buku hebat Anda tersebut. Kami tunggu wahyu Anda ! “
Saya jawab, bahwa saya membebaskan Mas Jaya untuk menulis apa saja. “Saya juga siap bila nanti para calon pembeli buku saya memang membatalkan niat untuk membeli buku tersebut gara-gara membaca endorsement Anda !,” begitu tantang saya.
Beliau kemudian memang berbaik hati menuliskan endorsement tersebut. Saya membacanya dengan penuh komplikasi. Apakah Mas Jaya Suprana (mengaku akunnya di Facebook adalah palsu, karena ia tidak punya akun Facebook sama sekali !)sedang ketularan diri saya yang sedang mabuk suka menulis fake news ? Atau sebaliknya ? Anda dapat menilainya sendiri.
Setelah Anda kelak membaca buku itu, termasuk menikmati endorsement yang tak lajim tetapi menggigit a la Jaya Suprana, semoga Anda bersedia bermurah hati mengirimkan komentar atau pendapat Anda melalui email saya ini : humorliner (at) yahoo.com.
Saya tunggu. Terima kasih.
Dijamin pula tidak akan ada komplikasi.
Wonogiri, 20/3/2010
Email : humorliner (at) yahoo.com
Komplikasi.
Urusan jadi lebih rumit.
Obama yang menunda kunjungannya ke Indonesia memunculkan banyak komplikasi.
Dikabarkan, semua murid klas VI SDN 01 Menteng di Jalan Besuki 4, Jakarta Pusat, memilih tidak lulus. Mereka lebih memilih tinggal kelas, agar tetap berstatus sebagai murid SD itu. Dengan pilihan itu mereka bisa bertemu seniornya yang kini menjadi presiden Amerika Serikat itu. Secara resmi.
Komplikasi selanjutnya, pemerintahan SBY dibuat repot. Untuk meredam aksi-aksi penolakan sebagian umat terhadap Obama, perlu dilakukan konter dengan strategi kehumasan yang baru. Kabar burung yang beredar,pemerintah RI akan membuatkan patung Obama yang baru.
Kali ini Obama memakai sarung. Untuk menunjukkan dirinya juga pernah disunat di Indonesia. Bahkan akan pula disebarkan dokumen temuan baru, bahwa Obama pernah belajar pula di Ngruki, Solo, Jawa Tengah.
Di Sulawesi Selatan, polisi dan kejaksaan juga ketularan ikut repot. Mereka harus cepat-cepat menuntaskan kasus yang menimpa selebritis dan wakil rakyat, Rieke Dyah Pitaloka. Kita tahu, Rieke tiba-tiba dipeluk dari belakang dan bahkan dicium oleh dokter Rasyidin dari RSUD Labuang Baji, Sulawesi Selatan (8/3/2010). "Saya marah, tapi dia malah bilang Anda kan publik figur," ungkap Rieke.
Bila dokter “berdarah panas” itu sudah masuk penjara, seorang Obama ikut bisa merasa aman. Karena alasan itu pula, sebelum menunda kunjungannya ke Indonesia pada bulan Juni nanti, ia juga membatalkan keikutsertaan istrinya bila kunjungannya di bulan Maret ini terlaksana.
Karena Obama kuatir berat, istrinya yang jelas-jelas seorang public figure akan terancam ramai-ramai dipeluk para dokter Indonesia yang ketularan virus “panas” dari Sulawesi Selatan tadi. Apalagi virus hampir serupa, yaitu aksi gairah mencium punggung kini juga gencar disebar-sebarkan di Indonesia. Lewat televisi-televisi. Oleh Anang terhadap Syahrini.
Mabuk Berita Palsu. Anda dilarang percaya terhadap isi-isi tulisan di atas. Karena semuanya merupakan fake news. Berita palsu. Tetapi, anehnya, di Amerika Serikat acara-acara televisi yang menyiarkan berita-berita palsu itu justru disukai oleh pemirsa. Bahkan menjadi acara unggulan.
Salah satu host tersohor untuk acara fake news itu adalah Jon Stewart. Dahsyatnya lagi, atau gokil-nya lagi, dalam survei oleh majalah TIME (2009) komedian penyebar berita-berita palsu itu justru terpilih sebagai Andy Borowitz itu, juga membuat saya demam. Imbasnya, saya sendiri terus merintis, melanjutkan atau mempersubur daya-daya kreativitas dalam penciptaan berita-berita palsu tadi. Terkait dinamika politik dan ulah politikus Indonesia.
Blog Komedikus Erektus yang saya luncurkan sejak lima tahun lalu telah menjadi saksi hal tersebut. Kini, berkat ditunjang oleh keajaiban Internet, isi yang semula berwujud digital tersebut akan segera menjadi media berbasis atom. Menjadi buku. Judulnya : Komedikus Erektus. Penerbitnya adalah Etera Imania.
Bila telah terbit, ini merupakan buku humor saya yang ketiga. Momen itu membuat saya rada ngeh, ternyata humor memang merupakan salah satu panggilan hidup saya. Sedikit mengilas balik, kiranya percik itu barangkali semakin mulai membesar pada bulan September 1982 di Jakarta.
Ketika itu saya berkenalan dengan humorolog, kelirumolog, musikus, kartunis, pebisnis, asal Semarang : Jaya Suprana. Saat itu saya belum selesai berkuliah di Jakarta. Pertemuannya di Balai Budaya, Jakarta Pusat. Juga bertemu Arwah Setiawan, “Pak Raden” Suyadi, juga kartunis Tris Sakeh. Ditemani teman kuliah saya, Bakhuri Jamaluddin, saya menemui mereka.
Saat itu di Balai Budaya dipamerkan karya kartun anak-anak Wonogiri, termasuk karya Basnendar Heriprilosadoso adik terkecil saya. Mereka tergabung dalam komunitas kartunis cilik Brigade Kelompok Kecil, asuhan adik saya (juga) Mayor Haristanto. Disponsori oleh Mas Jaya Suprana.
Keterangan foto.Dari kanan, Jaya Suprana, Tris Sakeh (kartunis), Suyadi Pak Raden, tak dikenal, Arwah Setiawan dan Bambang Haryanto.
Pameran serupa berlangsung bulan Januari 1983, di Semarang. Dihadiri Soepardjo Roestam, gubernur Jawa Tengah saat itu. Suasana hati agak berbeda, karena ayah saya baru saja meninggal dunia, 9 Desember 1982.
C’est la vie, kata orang Perancis.
Itulah warna-warni kehidupan. Ada tragedi, juga ada komedi. Ketika beberapa hari lalu saya meminta endorsement dari Mas Jaya untuk buku Komedikus Erektus saya, ia membalas dengan cara khas. Bunyi email beliau :
“Mas Bambang yth, terima kasih atas perjuangan gigih Anda menghumorkan bangsa ini ! Kehormatan bagi saya untuk menulis apa yg disebut endorsement itu untuk buku heboh Anda.
Mohon petunjuk, apakah endorsement cukup berupa kalimat komentar untuk melariskan buku dahsyat Anda tersebut. Kalo endorsement saya kepanjangan saya kuatir dampaknya malah sebaliknya yakni, (calon pembaca akan) membatalkan niat membeli buku hebat Anda tersebut. Kami tunggu wahyu Anda ! “
Saya jawab, bahwa saya membebaskan Mas Jaya untuk menulis apa saja. “Saya juga siap bila nanti para calon pembeli buku saya memang membatalkan niat untuk membeli buku tersebut gara-gara membaca endorsement Anda !,” begitu tantang saya.
Beliau kemudian memang berbaik hati menuliskan endorsement tersebut. Saya membacanya dengan penuh komplikasi. Apakah Mas Jaya Suprana (mengaku akunnya di Facebook adalah palsu, karena ia tidak punya akun Facebook sama sekali !)sedang ketularan diri saya yang sedang mabuk suka menulis fake news ? Atau sebaliknya ? Anda dapat menilainya sendiri.
Setelah Anda kelak membaca buku itu, termasuk menikmati endorsement yang tak lajim tetapi menggigit a la Jaya Suprana, semoga Anda bersedia bermurah hati mengirimkan komentar atau pendapat Anda melalui email saya ini : humorliner (at) yahoo.com.
Saya tunggu. Terima kasih.
Dijamin pula tidak akan ada komplikasi.
Wonogiri, 20/3/2010
Sabtu, 13 Maret 2010
Diana AV Sasa, Buku dan Saya
Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner (at) yahoo.com
Pacitan dan pemberontakan.
Kaitan antara keduanya hidup dalam benak saya. Terbingkai dalam pigura kenangan, tentang siluet fajar yang mengancam, kala langit mencat dirinya untuk bergegas memerah.
Latar belakang itu menyajikan kontras dengan bukit-bukit menghitam yang ditenggeri barisan sosok-sosok pasukan pemberontak berkuda yang segera turun ke kota. Untuk melakukan penyerangan.
Pagi yang menggelisahkan
Pemberontak itu dipimpin Trunojoyo. Bukitnya, bukit Ngantang. Ia hidup dan memberikan bekas kepada saya berkat buku yang berjudul Babad Pacitan. Buku itu saya temukan di tahun 1964-an, di Kedunggudel, Sukoharjo.
Koleksi itu entah milik kakek saya Martowirono yang seorang bayan atau milik pakde saya, Sutono, yang seorang guru. Saya tidak ingat lagi nama pengarangnya. Apalagi penerbitnya.
Koleksi pustaka itu terhimpun bersama tumpukan majalah Penyebar Semangat dan Sosiawan, majalah Departemen Sosial yang sampulnya bergambar stilisasi sinar matahari dengan memajang slogan tat twam asi, yang bermakna asah, asih, asuh ? Saya tidak pasti.
Tetapi tiap kunjungan dari Wonogiri (rumah saya) ke Kedunggudel, pojok pustaka itu selalu menjadi incaran saya yang utama dan terutama. Termasuk buku Babad Pacitan yang juga bercerita seluk-beluk perdagangan candu di masa itu.
Terpendam selama puluhan tahun, suatu hari cerita tentang buku itu akhirnya, 14 Agustus 2009, bisa saya munculkan dengan salah seorang penduduk Pacitan yang sebenarnya.
Berontak melalui buku. Namanya Pak Nurus Son’ani. Seorang kepala sekolah SD di Pakisbaru, Pacitan. Sosoknya seperti Sean Connery ketika membintangi film Finding Forester (2000).
Pakisbaru merupakan daerah paling tinggi dari kabupaten yang melahirkan tokoh Budi Harjono, Haryono Suyono sampai Susilo Bambang Yudhoyono, presiden kita saat ini. Dinginnya menggigit tulang. Malam biasa turun kabut. Tetapi saya memberanikan diri untuk mandi ketika subuh baru saja tiba.
Sore itu, Pak Son'ani mengantar saya untuk kembali ke Wonogiri. Di tengah perjalanan di mana mobil mengulari jalan yang berkelok tajam, lumayan terjal, bahkan isi perut terpaksa ikut menari (saya diam-diam melakukan senam shiatsu agar tidak mual, muntah, lalu malu mengotori jok mobil) serta sepanjang mata memandang semata terantuk batu, terkepung jajaran pinus dan perdu, hadir obrolan warna-warni.
Selain tentang Babad Pacitan, juga mencuat tentang bagaimana terpuruknya pengajaran literasi di sekolah-sekolah kita. Anak-anak Indonesia yang tidak dibiasakan untuk menulis. Apalagi memiliki kegembiraan dalam berekspresi dengan menulis.
Tetapi di Pacitan saat itu, saya melihat dan mengalami bara pemberontakan untuk meretas kemiskinan budaya literasi itu. Pelopor dan pengompornya adalah Diana AV Sasa (foto di atas), putri dari Pak Son’ani tadi. Berkat keajaiban Internet, dan mungkin karena kosmis menggurat catatan betapa kita terbelenggu oleh obsesi yang sama, yang akhirnya mampu membuat saya bisa sampai di Pakisbaru ini. Atas prakarsa Diana.
Keajaiban yang lain lalu terjadi jadi. Pak Son’ani (berseragam pramuka), Diana AV Sasa dan saya, ternyata bukan sosok yang benar-benar asing sama sekali. Urut punya urut, Diana Amaliyah Verawati Ningsih, begitu nama komplitnya, memiliki SD yang sama dengan saya. SD Wonogiri III. Ia pun pernah tinggal di kampung yang sama pula, Kajen, saat belajar di Wonogiri, dari SD sampai klas 2 SMA.
Pak Son’ani yang memiliki keahlian di bidang radio komunikasi, sehingga dipercaya menjaga dan mengelola menara radio citizen band di Pakisbaru. Menara ini melayani kebutuhan komunikasi warga Orari Wonogiri yang sebagian adalah teman, kenalan dan kerabat saya.
Di Pakisbaru, 14 Agustus 2009 itu, benar-benar terjadi acara kopi darat versi para pejuang literasi. Hadir pula Muhidin M. Dahlan dari Yogyakarta dan Eri Irawan dari Surabaya. Puncak acaranya adalah Gelaranbuku Pakis, meliputi peresmian perpustakaan Pakisbaru, peluncuran buku Kepada Yth : Ibu Negara di Istana Merdeka :151 Suara Hati Dari Anak Puncak Brengos Pacitan. Saya kebagian bercerita kepada audiens mengenai seluk-beluk manfaat menulis surat pembaca.
Kepada anak-anak penulis buku di atas, juga kepada guru, saya anjurkan agar mereka mau menuliskan mimpi-mimpinya. “Tulislah mimpi-mimpimu, cita-citamu, juga cita-cita teman terdekatmu, pada secarik kertas. Tempelkan di dekat meja belajarmu. Tuliskan kemudian ucapan : ’Yes, We Can !’ untuk saling menguatkan.”
Teriakan dari slogan terkenal saat berkampanye untuk menjadi presiden AS dari Barack Obama itu kemudian sering meronai hajatan budaya di Pakisbaru itu. Setiap anak yang menuliskan cita-citanya di buku itu, saya ajak ke panggung. Lalu menceritakan cita-citanya. Sejurus kemudian, seluruh hadirin akan ramai-ramai berseru :
“Yes, He Can !”
“Yes, She Can !”
“Yes, We Can !”
Dalam pengantarnya, sebelum saya tampil, nampak mata Diana AV Sasa berkaca-kaca. Ia menangis. Dalam keharuan. Dalam kebanggaan. Karena impian besarnya tercapai saat itu, sebagai putra daerah yang “menjadi jangkar bagi anak-anak di balik batu Gunung Brengos” seperti yang ia tulis dalam buku karyanya itu.
Juga menjadi inspirasi gerakan mulia yang sama, pendirian perpustakaan dan penyebaran budaya literasi berbasis masyarakat di kota-kota lain. Misalnya yang terbaru terjadi di Kediri. Pejuang buku dari Pakisbaru ini nampak sulit dihentikan. Dan saya bangga bisa mengenalnya.
Sepulang dari Pacitan itu saya memperoleh hadiah lagi darinya. Termasuk disangoni buku-buku hebat, seperti Para Penggila Buku : Seratus Catatan di Balik Buku (2009) yang ia garap bersama Muhidin M Dahlan, buku kumpulan surat anak-anak yang kaya inspirasi dan mengharukan tadi, juga buku-buku karya Muhidin M Dahlan.
Buku Gus Muh yang bagi saya terasa “berat” itu adalah Kabar Buruk Dari Langit (2005, novel), Adam Hawa (2005, novel), tetapi cukup tercekam menyusuri biografi penuh liku dan keperihan dalam Jalan Sunyi Seorang Penulis (2005) itu. Seperti melihat cermin. Mengingatkan humor hitam bahwa keluhan utama seorang penulis ketika ke dokter adalah tidak bisa buang air besar. Karena perutnya memang tidak berisi makanan.
Hadiah lain dari Diana itu adalah profil saya sebagai seorang epistoholik telah ia tulis dalam situs Indonesia Buku, media perjuangan yang ia gelorakan di media maya. Dengan judul, Bambang Haryanto: Membaca dan Menulis Seperti Donor Darah.
Terima kasih, mBak Diana.
Terima kasih, Gus Muh.
Di tengah guncangan mobil yang disopiri seterampil pereli Sebastian Loeb, menjelang memasuki Purwantoro, saya sempat berbicara kepada Pak Son’ani. “Saya juga menyukai buku, tetapi baru sebatas sebagai konsumen. Belum setotal seperti yang dilakoni oleh putri Anda. Sebagai konsumen, juga sebagai produsen.”
Pak Son’ani tidak berkomentar apa-apa saat itu.
Tetapi saya bisa menangkap ada gurat rasa kebanggaan. Mungkin setara dengan rasa bangga saya ketika keinginan saya agar Diana AV Sasa bersedia menulis endorsement untuk buku Komedikus Erektus (Etera Imania, 2010) saya, dan permintaan itu telah ia sanggupi pula. Berkah dan sawab buku dari bukit-bukit Pakisbaru itu rupanya mulai mengalir ke Wonogiri.
Setelah tahun 1987, saya bisa lagi menulis buku kini.
Dalam satu halaman putih dari buku kumpulan surat-surat anak Pakisbaru itu, Diana AV Sasa menulis : “Untuk Pak Bambang Haryanto, Epistoholik Indonesia : Bukankah kita percaya bahwa menulis adalah alat perjuangan ? Never ending writing ! ”
Penulis (“saya lagi tergila-gila rock dan blues, tetapi juga lagi flu itu,” tulisnya dalam sms, 12/3/2010) dan pejuang literasi dari Pakisbaru ini, memang lajunya tidak bakal terhentikan. Menjadikan siluet barisan pemberontak Trunojoyo yang berjajaran di bukit Ngantang, Pacitan, yang selama ini hidup dalam kenangan masa kecil saya, kini saatnya memperoleh aksentuasi baru.
Pemberontak itu harus turun gunung, berbaur dengan sesamanya. Ketika ia dan kawan-kawannya mengangkat anak-anak pinggiran sebagai produser informasi, kita tahu betapa di era ekonomi Google sekarang ini, yang kecil-kecil itu merupakan hal besar yang baru.
Lanskap perjuangan kemanusiaan kini menghadirkan gambar baru. Konteks baru. Tantangan baru. Strategi pemberontakan baru. Senjata baru. Juga tokoh baru.
Saya berbangga bisa mengenalnya, sekaligus ingin terus mencoba mengikuti ledakan-ledakan pemberontakan literasi yang berikutnya.
Wonogiri, 13/3/2010.
Email : humorliner (at) yahoo.com
Pacitan dan pemberontakan.
Kaitan antara keduanya hidup dalam benak saya. Terbingkai dalam pigura kenangan, tentang siluet fajar yang mengancam, kala langit mencat dirinya untuk bergegas memerah.
Latar belakang itu menyajikan kontras dengan bukit-bukit menghitam yang ditenggeri barisan sosok-sosok pasukan pemberontak berkuda yang segera turun ke kota. Untuk melakukan penyerangan.
Pagi yang menggelisahkan
Pemberontak itu dipimpin Trunojoyo. Bukitnya, bukit Ngantang. Ia hidup dan memberikan bekas kepada saya berkat buku yang berjudul Babad Pacitan. Buku itu saya temukan di tahun 1964-an, di Kedunggudel, Sukoharjo.
Koleksi itu entah milik kakek saya Martowirono yang seorang bayan atau milik pakde saya, Sutono, yang seorang guru. Saya tidak ingat lagi nama pengarangnya. Apalagi penerbitnya.
Koleksi pustaka itu terhimpun bersama tumpukan majalah Penyebar Semangat dan Sosiawan, majalah Departemen Sosial yang sampulnya bergambar stilisasi sinar matahari dengan memajang slogan tat twam asi, yang bermakna asah, asih, asuh ? Saya tidak pasti.
Tetapi tiap kunjungan dari Wonogiri (rumah saya) ke Kedunggudel, pojok pustaka itu selalu menjadi incaran saya yang utama dan terutama. Termasuk buku Babad Pacitan yang juga bercerita seluk-beluk perdagangan candu di masa itu.
Terpendam selama puluhan tahun, suatu hari cerita tentang buku itu akhirnya, 14 Agustus 2009, bisa saya munculkan dengan salah seorang penduduk Pacitan yang sebenarnya.
Berontak melalui buku. Namanya Pak Nurus Son’ani. Seorang kepala sekolah SD di Pakisbaru, Pacitan. Sosoknya seperti Sean Connery ketika membintangi film Finding Forester (2000).
Pakisbaru merupakan daerah paling tinggi dari kabupaten yang melahirkan tokoh Budi Harjono, Haryono Suyono sampai Susilo Bambang Yudhoyono, presiden kita saat ini. Dinginnya menggigit tulang. Malam biasa turun kabut. Tetapi saya memberanikan diri untuk mandi ketika subuh baru saja tiba.
Sore itu, Pak Son'ani mengantar saya untuk kembali ke Wonogiri. Di tengah perjalanan di mana mobil mengulari jalan yang berkelok tajam, lumayan terjal, bahkan isi perut terpaksa ikut menari (saya diam-diam melakukan senam shiatsu agar tidak mual, muntah, lalu malu mengotori jok mobil) serta sepanjang mata memandang semata terantuk batu, terkepung jajaran pinus dan perdu, hadir obrolan warna-warni.
Selain tentang Babad Pacitan, juga mencuat tentang bagaimana terpuruknya pengajaran literasi di sekolah-sekolah kita. Anak-anak Indonesia yang tidak dibiasakan untuk menulis. Apalagi memiliki kegembiraan dalam berekspresi dengan menulis.
Tetapi di Pacitan saat itu, saya melihat dan mengalami bara pemberontakan untuk meretas kemiskinan budaya literasi itu. Pelopor dan pengompornya adalah Diana AV Sasa (foto di atas), putri dari Pak Son’ani tadi. Berkat keajaiban Internet, dan mungkin karena kosmis menggurat catatan betapa kita terbelenggu oleh obsesi yang sama, yang akhirnya mampu membuat saya bisa sampai di Pakisbaru ini. Atas prakarsa Diana.
Keajaiban yang lain lalu terjadi jadi. Pak Son’ani (berseragam pramuka), Diana AV Sasa dan saya, ternyata bukan sosok yang benar-benar asing sama sekali. Urut punya urut, Diana Amaliyah Verawati Ningsih, begitu nama komplitnya, memiliki SD yang sama dengan saya. SD Wonogiri III. Ia pun pernah tinggal di kampung yang sama pula, Kajen, saat belajar di Wonogiri, dari SD sampai klas 2 SMA.
Pak Son’ani yang memiliki keahlian di bidang radio komunikasi, sehingga dipercaya menjaga dan mengelola menara radio citizen band di Pakisbaru. Menara ini melayani kebutuhan komunikasi warga Orari Wonogiri yang sebagian adalah teman, kenalan dan kerabat saya.
Di Pakisbaru, 14 Agustus 2009 itu, benar-benar terjadi acara kopi darat versi para pejuang literasi. Hadir pula Muhidin M. Dahlan dari Yogyakarta dan Eri Irawan dari Surabaya. Puncak acaranya adalah Gelaranbuku Pakis, meliputi peresmian perpustakaan Pakisbaru, peluncuran buku Kepada Yth : Ibu Negara di Istana Merdeka :151 Suara Hati Dari Anak Puncak Brengos Pacitan. Saya kebagian bercerita kepada audiens mengenai seluk-beluk manfaat menulis surat pembaca.
Kepada anak-anak penulis buku di atas, juga kepada guru, saya anjurkan agar mereka mau menuliskan mimpi-mimpinya. “Tulislah mimpi-mimpimu, cita-citamu, juga cita-cita teman terdekatmu, pada secarik kertas. Tempelkan di dekat meja belajarmu. Tuliskan kemudian ucapan : ’Yes, We Can !’ untuk saling menguatkan.”
Teriakan dari slogan terkenal saat berkampanye untuk menjadi presiden AS dari Barack Obama itu kemudian sering meronai hajatan budaya di Pakisbaru itu. Setiap anak yang menuliskan cita-citanya di buku itu, saya ajak ke panggung. Lalu menceritakan cita-citanya. Sejurus kemudian, seluruh hadirin akan ramai-ramai berseru :
“Yes, He Can !”
“Yes, She Can !”
“Yes, We Can !”
Dalam pengantarnya, sebelum saya tampil, nampak mata Diana AV Sasa berkaca-kaca. Ia menangis. Dalam keharuan. Dalam kebanggaan. Karena impian besarnya tercapai saat itu, sebagai putra daerah yang “menjadi jangkar bagi anak-anak di balik batu Gunung Brengos” seperti yang ia tulis dalam buku karyanya itu.
Juga menjadi inspirasi gerakan mulia yang sama, pendirian perpustakaan dan penyebaran budaya literasi berbasis masyarakat di kota-kota lain. Misalnya yang terbaru terjadi di Kediri. Pejuang buku dari Pakisbaru ini nampak sulit dihentikan. Dan saya bangga bisa mengenalnya.
Sepulang dari Pacitan itu saya memperoleh hadiah lagi darinya. Termasuk disangoni buku-buku hebat, seperti Para Penggila Buku : Seratus Catatan di Balik Buku (2009) yang ia garap bersama Muhidin M Dahlan, buku kumpulan surat anak-anak yang kaya inspirasi dan mengharukan tadi, juga buku-buku karya Muhidin M Dahlan.
Buku Gus Muh yang bagi saya terasa “berat” itu adalah Kabar Buruk Dari Langit (2005, novel), Adam Hawa (2005, novel), tetapi cukup tercekam menyusuri biografi penuh liku dan keperihan dalam Jalan Sunyi Seorang Penulis (2005) itu. Seperti melihat cermin. Mengingatkan humor hitam bahwa keluhan utama seorang penulis ketika ke dokter adalah tidak bisa buang air besar. Karena perutnya memang tidak berisi makanan.
Hadiah lain dari Diana itu adalah profil saya sebagai seorang epistoholik telah ia tulis dalam situs Indonesia Buku, media perjuangan yang ia gelorakan di media maya. Dengan judul, Bambang Haryanto: Membaca dan Menulis Seperti Donor Darah.
Terima kasih, mBak Diana.
Terima kasih, Gus Muh.
Di tengah guncangan mobil yang disopiri seterampil pereli Sebastian Loeb, menjelang memasuki Purwantoro, saya sempat berbicara kepada Pak Son’ani. “Saya juga menyukai buku, tetapi baru sebatas sebagai konsumen. Belum setotal seperti yang dilakoni oleh putri Anda. Sebagai konsumen, juga sebagai produsen.”
Pak Son’ani tidak berkomentar apa-apa saat itu.
Tetapi saya bisa menangkap ada gurat rasa kebanggaan. Mungkin setara dengan rasa bangga saya ketika keinginan saya agar Diana AV Sasa bersedia menulis endorsement untuk buku Komedikus Erektus (Etera Imania, 2010) saya, dan permintaan itu telah ia sanggupi pula. Berkah dan sawab buku dari bukit-bukit Pakisbaru itu rupanya mulai mengalir ke Wonogiri.
Setelah tahun 1987, saya bisa lagi menulis buku kini.
Dalam satu halaman putih dari buku kumpulan surat-surat anak Pakisbaru itu, Diana AV Sasa menulis : “Untuk Pak Bambang Haryanto, Epistoholik Indonesia : Bukankah kita percaya bahwa menulis adalah alat perjuangan ? Never ending writing ! ”
Penulis (“saya lagi tergila-gila rock dan blues, tetapi juga lagi flu itu,” tulisnya dalam sms, 12/3/2010) dan pejuang literasi dari Pakisbaru ini, memang lajunya tidak bakal terhentikan. Menjadikan siluet barisan pemberontak Trunojoyo yang berjajaran di bukit Ngantang, Pacitan, yang selama ini hidup dalam kenangan masa kecil saya, kini saatnya memperoleh aksentuasi baru.
Pemberontak itu harus turun gunung, berbaur dengan sesamanya. Ketika ia dan kawan-kawannya mengangkat anak-anak pinggiran sebagai produser informasi, kita tahu betapa di era ekonomi Google sekarang ini, yang kecil-kecil itu merupakan hal besar yang baru.
Lanskap perjuangan kemanusiaan kini menghadirkan gambar baru. Konteks baru. Tantangan baru. Strategi pemberontakan baru. Senjata baru. Juga tokoh baru.
Saya berbangga bisa mengenalnya, sekaligus ingin terus mencoba mengikuti ledakan-ledakan pemberontakan literasi yang berikutnya.
Wonogiri, 13/3/2010.
Langganan:
Postingan (Atom)